“Apa lagi, Ma?” tanya Agatha dari garansi.
Elizha telah kembali ke depan dengan membawa dua tas. “Tha, bedaknya hilang.”
“Gampang, bisa minta ke Febby atau yang lain.”
Mereka telah masuk ke dalam mobil berwarna hitam. Tentu saja bersama sopir pribadi yang telah bekerja bersama keluarganya selama beberapa tahun terakhir. Mobil yang mereka tumpangi tidak lama kemudian telah berhenti di depan gedung. Sebuah gedung yang biasa disebut dapur rekaman. Bukan dapur yang digunakan untuk rekaman. Melainkan sebuah gedung yang difungsikan untuk studio rekaman oleh seorang musisi.
Hari ini Agatha bersama dengan grupnya ada jadwal untuk rekaman lagu terbaru. Sebuah lagu yang harus segera diproses guna kepentingan bersama. Sebuah lagu bertema cinta yang akan dinyanyikan oleh kelima anggota. Tentu saja, dengan pembagian yang tepat akan menghasilkan harmonisasi suara yang pas. Setiap bagian lagu telah diatur dan dibagi kepada setiap anggota berdasarkan tipe suara masing-masing.
“Tha, gila! Sudah terlambat,” kata salah satu tim yang mengurusi rekaman hari ini.
“Memang Ify sudah sampai di sini?” tanya Agatha sembari menerima kertas dari salah satu anggota tim yang lainnya. Sebuah kertas yang berisi pembagian part lagu.
“Sudah dari tadi. Sekarang sudah di dalam semua,” jawabnya.
“Kak, salahkan Mamaku, ya. Itu orangnya yang pakai baju putih.” Agatha berjalan untuk masuk ke ruangan. Sedangkan, lawan bicaranya—Kak Daniel—sedang melihat seorang wanita paruh baya duduk di kursi bersama dengan yang lainnya.
“Sial, Agatha ngerjain gue. Ternyata Cuma mau mencari celah biar bisa menghindari omelan gue,” batinnya sembari berbalik badan lalu masuk ke ruangan rekaman.
Kelima anggota grup Bintang telah siap dengan satu rangkaian rekaman hari ini. Akan tetapi, ada sesuatu yang mengganjal. Sebuah selingan atau improvisasi belum dibahas sebelumnya. Akhirnya, kelima perempuan itu melepas headphone. Mereka keluar dari ruangan menuju ruang sebelah untuk membahas beberapa hal.
“Baik, karena Agatha yang terlambat membuat saya lupa dengan sesuatu. Di sini saya minta kepada Sivia dan Ify untuk melakukan improvisasi di bagian ini,” kata Kak Daniel sembari menunjukkan part lagu yang tertulis di kertas itu. Sebuah kertas yang telah diberikan kepada kelima personil.
“Kak, maaf, kan yang lupa Kakak, kenapa yang disalahkan aku? Oke, Kak apa boleh latihan beberapa kali terlebih dahulu?” jawab Agatha yang sedang duduk di bangku plastik berwarna merah.
“Agatha ... Enak ya duduk? Saya saja berdiri, loh,” sindirnya.
Agatha bergegas berdiri. Di ujung bibirnya tersirat sebuah senyuman. Senyuman yang khas olehnya. Begitu candu bagi penikmatnya. Andaikan sebuah kopi, senyum Agatha adalah kafeinnya. Kedua tangannya diletakkan di belakang. Kepalanya menunduk meminta maaf.
“Boleh, sekarang kalian bicarakan mengenai lagu ini. Kalian cari posisi yang nyaman untuk melakukan improvisasi dalam lagu ini dan saya memberi waktu selama satu jam.”
Kak Daniel berjalan pergi meninggalkan kelima gadis itu. Agatha pergi sebentar karena ada pesan yang masuk dari kakaknya. Sebab, ponsel miliknya berada di tas yang dibawa oleh Elizha. Entah, Agatha bisa melupakan jika Sandra sedang di rumah.
“Agatha, ke mana? Kok rumah sepi?” tanyanya melalui pesan.
“Gue sama Mama di studio. Kakak kalau mau sarapan, goreng telur saja, ya. Maaf, masakan Mama sudah gue habisin. Maaf, lupa kalau kakak tercinta pulang ke Jakarta.”
“Agatha, ayo latihan,” ajak gadis yang memakai pakaian berwarna abu-abu.
“Sebentar, Tha, bajunya lo bawa, kan?”
“Eh, Feb, sorry, lupa gak dibawa.”
Febby berjalan ke arah keluar. Dia menemui ibunya untuk meminta tolong agar membelikannya sebuah baju berwarna abu-abu di super market terdekat. Tidak lama kemudian, ibu Febby pergi untuk memenuhi permintaan putrinya.
“Tha, bagian interlude enaknya diisi atau biarkan saja?” tanya Ify meminta saran.
“Arti dari interlude apa, Fy?” jawab Agatha. “Interlude kan selingan, jadi ya biarkan saja. Kita tambahkan gerakan saja nantinya.”
“Gerakan? Lu yang buat?” timpal Shilla.
Agatha mengangguk walaupun tidak tahu apa yang akan dibuat. Dia berjalan menghampiri kursi plastik berwarna merah untuk mendudukkan dirinya. Bukan malas, tapi kakinya terasa lelah berdiri sejak tadi. Mereka latihan sesuai dengan bagian masing-masing.
“Tha, kalau percintaan lu ada interlude-nya enggak?”
“Gak usah, berbahaya kalau dikasih selingan. Takutnya, nanti malah selingannya orang ketiga. Kalau selingannya hanya game online mah enggak apa.”
Mereka tertawa untuk mencairkan suasana agar tidak tegang. Walaupun, bukan hal pertama kali, tapi rasanya rekaman sangat menegangkan. Apalagi, kalau ada beberapa kesalahan harus mengulang lagi. Recording membutuhkan konsentrasi dan kefokusan tinggi agar hasil maksimal.
“Oke waktu sudah cukup untuk latihan. Sekarang kita langsung recording saja, ya. Kalian, kan harus syuting juga nanti. Jadi, biar lebih cepat dan waktu lebih efisien.” Kak Daniel datang dengan membawa mikrofon.
Mereka berjalan mengikuti langkah kaki Kak Daniel yang memasuki ruangan. Mereka memasang headphone kembali dan berdiri berjejer rapi di depan mikrofon. Alunan musik yang telah selesai dibuat terlebih dahulu kini telah menggema di telinga. Mereka mengikuti irama musik untuk menyesuaikan syair dan nada. Secara bergantian sesuai dengan bagiannya, mereka telah menyelesaikan dalam mengisi suara untuk lagu baru. Setelah selesai rekaman, mereka pergi ke lokasi syuting bersama.
Mereka berangkat menggunakan mobil milik Febby. Sedangkan, para ibu berangkat dengan kendaraan masing-masing. Jarak lokasi syuting yang lumayan jauh membuat sopir mengemudikan mobilnya dengan kecepatan di atas biasanya. Jauh lebih cepat dari biasanya.
Beberapa waktu kemudian, mereka telah sampai di lokasi. Di sana, telah ada Zakaria yang duduk di kursi berwarna hitam menunggu Agatha. “Tha, sebentar. Aku mau ngomong,” katanya sembari memegang kedua tangan Agatha. Matanya tak lepas dari wajah putih sang kekasih.
“Oke, mau ngomong apa?” jawabnya. Tangan kanannya melepas genggaman Zakaria untuk membersihkan debu yang menempel di pipi kanan Zakaria.
“Selama seminggu aku pergi ke Yogyakarta. Ada syuting video musik milik salah satu penyanyi yang ikut label aku.”
“Iya, gak apa. Asalkan hati-hati, ya.”
Zakaria berjalan satu langkah ke depan. Hal itu membuat napas Agatha semakin memburu. Detak jantungnya serasa dipompa berkali-kali kecepatan. Denyut nadinya seakan terhenti. Matanya terpejam. Pikirannya melayang sampai pada langit ke tujuh. “Ehm, tunggu!” lirih Agatha sembari meraih lengan Zakaria yang telah mencapai pundaknya.
“Jangan terlalu percaya diri. Aku tidak mau merusakmu. Sebab, kamu bukan barang. Aku hanya mau membenarkan posisi jepitan rambutmu. Lagi pula, ada kutu di rambutmu.” Zakaria tersenyum manis di hadapan Agatha.
“Enak saja, mana ada aku punya kutu.” Agatha mundur satu langkah untuk menenangkan perasaan dalam hatinya yang tengah melompat tiada kira.
“Ha ha, canda. Kamu pasti mikir kalau aku bakal menciummu, kan?” goda Zakaria.
Agatha menunduk. “Sudahlah, aku masuk dulu. Nanti kena omel yang lain. Kamu hati-hati di jalan,” kata Agatha menyimpan pipi merahnya karena malu sekaligus terpesona dengan kata-kata sang kekasih.
Zakaria menatap punggung gadis itu yang memakai pakaian berwarna abu-abu. Tidak lama kemudian, dia pergi dengan mengendarai mobilnya. Dia melaju berangkat ke Yogyakarta untuk pekerjaannya.
“Agatha, tolong bilang ke teman-teman kalau lima menit lagi sudah harus dimulai,” kata salah satu tim kreatif televisi.
Setelah selesai rekaman, mereka memiliki jadwal untuk syuting salah satu acara musik yang diselenggarakan oleh salah satu televisi swasta. Acara yang ditayangkan secara tidak langsung, mengharuskan mereka untuk melakukan kegiatan syuting terlebih dahulu.
Mereka menyanyikan tiga buah lagu untuk mengisi acara itu. Setelah tiga jam berada di studio milik televisi, akhirnya kegiatan telah berakhir. Mereka memutuskan untuk mencari hiburan di salah satu restoran. Sekaligus untuk makan malam. Sebab, mereka keluar dari studio telah menunjukkan pukul setengah tujuh malam.
“Gila, Feb!” teriak Agatha yang duduk di depan Febby.