Agatha Pricilla seorang penyanyi yang terkenal karena bergabung dengan salah satu grup band asal Indonesia. Grup yang beranggotakan lima orang. Setidaknya ada empat album yang mereka keluarkan. Satu film layar lebar yang mereka bintangi sukses membawa nama baik grup. Banyak judul FTV dan empat judul sinetron yang meroketkan nama mereka.
“Agatha, tolong besok jangan terlambat, besok ada rekaman lagu baru,” kata Kak Rania—manajer grup bernama ‘Bintang’.
“Loh kok aku, Kak? Si tukang telat itu Ify tahu,” jawab Agatha yang masih membereskan aksesoris pakaian yang mereka gunakan untuk manggung hari itu.
Ify Alyssa—salah satu anggota grup—pun tertawa renyah seakan mengejek Agatha yang sedang diomeli oleh sang manajer. “Aku mah on time terus, Kak,” teriak Ify sembari menggendong tasnya lalu berjalan keluar dari ruangan untuk pulang bersama ibunya.
Agatha pun pulang bersama Elizhabet ke daerah Cibubur. Mereka menaiki sebuah mobil berwarna hitam yang dulu dibeli oleh ayahnya. Tapi, kini ayahnya telah pergi terlebih dahulu bertemu dengan Tuhan.
“Atha, besok Kak Sandra pulang dari Bali, kamu bisa, kan, temani dia?” tanya Elizha yang membuka pintu rumah berwarna putih. Beliau melenggang masuk ke dalam rumah untuk istirahat.
“Bisa .. tapi, kalau malam. Atha besok ada rekaman sama beberapa take sinetron,” jawab Agatha yang sudah duduk di samping kanan ibunya. “Memang, Kak Sandra kenapa? Kok pulangnya awal,” sambungnya sembari membuka bungkus kopi yang ia beli waktu di perjalanan pulang.
“Ya sudah, besok kamu barengan saja sama Febby dan Mama Anis. Mama tidak bisa mengantarmu karena harus menjemput Kakak di bandara,” kata Elizha yang beranjak ke dapur untuk memasak menu makan malam nanti. Dari kecil sampai sekarang, mereka selalu makan bersama di rumah. Walaupun hanya berdua, tapi mereka merasa bahagia.
“Lusa pergi ke gereja,” kata Elizha sembari mengupas kentang, “Iya, Mama, Atha kan enggak pernah absen kalau masalah ibadah ke gereja,” jawab Agatha yang sedang duduk di bar sembari memainkan ponsel untuk berfoto ria.
Setelah selesai memasak, mereka makam bersama di meja makan pukul tujuh malam. Dengan menu sederhana hasil olahan tangan Elizha, Agatha menikmati selayaknya makan di restoran terkenal seantero Jakarta. “Mam, terima kasih, masakan hari ini begitu lezat,” kata Agatha.
Agatha adalah salah satu anak yang selalu memberikan apresiasi terhadap apa yang orang lain perbuat untuknya. Apalagi, Elizha yang setiap hari menemaninya untuk meraih kariernya dan memasak untuknya. Masakan yang lezat dan bergizi yang menunjang kesehatan Agatha.
Dia selalu menerapkan tiga kata yang menurutnya sangat berarti dalam kehidupan, yaitu tolong, maaf, dan terima kasih. Tiga kata sederhana yang tidak semua orang bisa melakukan. Sejak kecil, Agatha selalu didisiplinkan oleh neneknya untuk mengucapkan tiga kata itu. Nenek dan Elizha yang selalu mengiringi perjalanan hidupnya. Tapi, kini hanya tinggal sosok ibu dan kakak yang selalu mendukungnya dalam segala sesuatu. Termasuk, kegiatannya dalam dunia musik.
“Sama-sama, Sayang,” jawab Elizha yang menaruh gelas setelah digunakan untuk menyeduh air putih kala selesai menyantap makan malam. Setelah selesai, ia mengambil piring-piring kotor itu ke tempat cucian. Beliau merupakan perempuan yang mengutamakan kebersihan dan kerapian. Sebab, dua hal itu adalah elemen utama untuk mencapai titik bernama kenyamanan.
“Mam, Atha masuk ke kamar dulu, ya,” kata Agatha sembari berlarian kecil menaiki satu per satu tangga yang menghubungkan ke kamarnya. Kamar bernuansa putih itu menjadikan tempat terbaik untuk melepas penat dan menyimpan segala rahasianya.
Agatha menyimpan berbagai barang pemberian dari Zakaria di sebuah kotak berwarna hitam yang disimpan laci mejanya. Ia memasukkan kalung berhuruf Z di kotak itu. Bukan karena tidak ingin memakainya, tapi ia tidak ingin dimarahi oleh ibunya karena menjalin kasih dengan seorang laki-laki yang berbeda keyakinan. Agatha masih ragu untuk terbuka dengan ibu dan kakaknya.
Ketika dirinya sedang membuka ponsel, terdapat sebuah pesan dari Filda. Ya, Filda Aulia adalah salah satu fans dan sahabat yang selalu ada di dalam perjalanan karierku sejak pertama kali gabung bareng grup Bintang. Tanpa Filda dan teman-temannya, mungkin Agatha tidak akan sampai di titik saat ini. Penyanyi itu sama halnya dengan pedagang. Hanya saja, mereka menjual sesuatu yang berbeda. Jika Agatha menjual sebuah merchandise dan mencari pendengar agar lagunya laris dipasaran, sedangkan pedagang akan menjual barang dagangannya.
“Tha, tanggal 26 Maret bisa enggak ngadain pertemuan bareng di daerah Bintaro,” kata Filda di dalam pesan yang ia terima sekak satu menit yang lalu.
“Bisa, sih, tapi ... sama anak Bintang enggak? Apa cuman gue sendiri?” jawab Agatha melalui perantara aplikasi berbalas pesan itu.
Agatha berjalan ke arah tempat tidurnya. Ia mengambil pakaian yang memang sudah disiapkan sejak tadi. Ia mengganti pakaiannya menjadi pakaian tidur. Tadi, ia masih memakai baju di mana yang ia gunakan untuk manggung dan menjalankan aktivitas shooting sinetron.
“Oke, nanti bakal ada rapat pembahasan tentang grup anak Agatha’s,” balas Filda yang tidak di balas lagi oleh Agatha.
Agatha mengambil gitar berwarna cokelat yang dibelikan oleh Papa sejak beberapa tahun yang lalu. Ia duduk di lantai beralaskan karpet berwarna abu-abu memojok di dinding kamarnya. Agatha memainkan gitarnya sehingga menimbulkan nada-nada yang indah. Secara mendadak, ia terpikirkan untuk merekam suaranya di ponsel. Bukan tanpa alasan, nada-nada dan notasi yang tercipta, suatu saat pasti akan berguna.
Mengingat, dia telah terjun di dunia musik dan akting, Agatha harus bisa mandiri dan berdiri sendiri, sebab, setelah grup itu nantinya bubar atau selesai kontrak, ia harus tetap berada di dunia musik untuk berkarya dan selalu dikenang oleh banyak orang. Ia bukan haus akan ketenaran, tapi sebaik-baik manusia diciptakan adalah untuk berkarya. Jika seseorang mati, karyalah yang akan terus mengingatkan nama kalian suatu saat nanti. Jadi, berkaryalah dan nikmati prosesnya.
Beberapa notasi telah terekam dengan baik. Saatnya, ia mengambil kertas dan bolpoin untuk menuliskan lirik yang terbesit di dalam pikirannya. Ia menuliskan sepenggal lirik yang menceritakan tentang patah hati.
“Atha, temani Mama,” kata Elizha ketika masuk ke ambang pintu kamar anaknya. Agatha tersenyum lalu menaruh gitar dan alat tulisnya untuk bergegas menemui ibunya. Ibu yang selalu ada untuknya, jadi, sebisa mungkin Agatha akan selalu ada juga untuk ibunya. Sebuah kebersamaan yang akan selalu ia ukir bersama keluarganya.
“Ada apa, Ma?” tanya Agatha ketika sudah duduk di ruang tengah lantai dua. Mereka duduk bersebelahan sembari melihat indahnya kota Jakarta kala malam hari dari balik kaca jendela.
“Atha, Mama ... ingin kamu fokus sama pendidikan,” katanya sembari memegang jemari Agatha yang putih mulus tanpa ada bekas luka terkena pisau.
“Iya, Mam, tapi ... Agatha kan masih terikat kontrak, kecuali kalau memang udah selesai, baru bisa komitmen buat menyelesaikan kuliah dulu,” jawab Agatha sembari melilitkan tangannya ke pinggang ibunya. Ia memeluk ibunya dengan erat.
Keesokannya, Agatha pergi ke kampus karena ada sesuatu yang harus diselesaikan. Agatha selain menjadi penyanyi, ia juga berperan sebagai mahasiswi di alur kehidupannya. Ia akan selalu mengingat pesan dari Papanya agar tetap menyelesaikan pendidikannya sampai yang setinggi-tingginya. Ia bersyukur dengan uang yang dihasilkan dari menyanyinya bisa membawanya untuk menimba ilmu jurusan manajemen.
“Pak, maaf, saya mau meminta satu map soal atau materi untuk saya, karena selama satu minggu ini, saya tidak bisa berangkat ke kampus karena ada kesibukan. Saya akan mengumpulkan tugasnya setiap hari melalui e-mail,” ucap Agatha ketika berhadapan dengan dekan di kampusnya.
“Oh ini, nanti kamu absen kalau sudah mengumpulkan ya, bisa lewat kirim pesan,” sambungnya sembari memberikan map berwarna hijau itu.
Setelah dari kampus, Agatha meminta tolong kepada sopir pribadi ibunya agar diantar ke lokasi di mana grup Bintang melakukan rekaman lagu yang entah ke berapa kalinya.
“Maaf, Kak, telat. Soalnya aku baru dari kampus mengambil tugas,” kata Agatha sembari mengelap keringatnya yang bercucuran karena habis lari-larian masuk ke studio.
“Oke, tidak masalah. Sekarang, kamu bisa mulai untuk masuk dan rekaman yang bagian kamu,” katanya.
Agatha masuk ke ruangan melihat teman-temannya yang lain sedang melakukan rekaman juga. “Atha, ini bagian lo,” kata Febby memberikan tempat agar Agatha bisa melakukan rekaman bagiannya.
Febby berdiri di pinggirnya sembari meminum air mineral karena kehausan. Setelah itu, mreka menyanyikan bersama-sama di bagian reff lagu. Setelah selesai rekaman, mereka bergegas kembali ke lokasi shooting sinetronnya. Benar-benar mereka tidak ada waktu untuk sekadar berleha-leha. Mereka harus mengikuti aturan sesuai apa yang sudah ditanda tangani. Mereka menyelesaikan pekerjaannya sampai pukul setengah sepuluh malam. Agatha kembali ke rumah. Ia membuka buku yang sudah diambil dari kampusnya.
Agatha membaca modul bersampul warna biru muda itu dengan teliti. Ia memahami materinya dengan sungguh-sungguh. Setelah selesai dan merasakan sudah paham, Agatha melanjutkan untuk mengerjakan tugas kuliahnya satu-satu.
“Agatha, di luar ada Zakaria,” ucap Kak Sandra yang sudah pulang sejak tadi siang.
“Oke, wait,” teriak Agatha sembari mengganti pakaiannya. Ia lupa kalau malam ini seharusnya mereka jalan keliling kota, tapi karena kesibukannya hal itu menjadi gagal.
Agatha duduk di samping Zakaria yang sejak tadi sudah duduk bersama kakak dan ibunya. “Loh, Atha, kok pacaran sama Zakaria enggak bilang sama Mama?” tanyanya.
Agatha hanya tersenyum tersipu malu dengan ungkapan ibunya. “E-eh, anu, Ma,” katanya sembari menggaruk telinganya yang tidak gatal.
Mereka mengobrol santai hanya selama lima belas menit di teras rumah. Sebab, Zakaria tidak mau masuk ke rumah karena malam sudah larut. Sebenarnya, ia mampir ke rumah Agatha pun karena kebetulan melintasinya. Ia izin untuk pulang ke rumah. Ia tidak ingin kedatangannya menyebabkan fitnah yang keji.
“Dah ya, balik ke kamar, masih ada tugas yang belum selesai,” kata Agatha sembari melenggang masuk ke rumah dengan riang. Itulah Agatha, sosok wanita yang tangguh dan periang. Mau dalam kondisi apa pun, dia akan tetap bahagia dan selalu tersenyum indah.
Agatha telah kembali ke kamarnya untuk melanjutkan mengerjakan tugas kuliahnya. Tiba-tiba ada pesan dari Febby. “Tha, besok mampir rumah, tolong bawakan baju lo yang berwarna abu-abu, lo ada banyak kan?”
“Enak aja, banyak dari mane, Neng. Gue banyakan warna hitam, abu-abu ada tapi cuman ada dua,” jawab Agatha setelah menyambungkan telepon dengan Febby.
“Ya sudah itu lo bawa, baju abu-abu gue lagi dicuci sama Mama,” jawabnya yang terputus-putus karena jaringan yang kurang stabil.
Agatha mematikan sambungan telepon sekaligus dengan ponselnya. Ia memilih untuk tidur karena besok pagi buta harus sudah jalan ke Senayan untuk mengisi acara musik bersama teman-temannya. Bahkan, saking lelahnya, pesan dari Zakaria saja belum sempat ia baca.
Belum juga merasakan nyenyaknya tidur malam, Elizha telah membangunkannya dengan mencipratkan air putih ke muka. Agatha bangun-bangun lalu sedikit kesal dengan ibunya. “Eits, ini ide dari Kakak,” kata Elizha ketika Agatha marah-marah tidak jelas.
Agatha melirik ke dinding kamarnya, ia melihat jam yang telah menunjukkan pukul setengah lima pagi. Agatha bergegas mengambil handuk yang disampirkan di belakang pintu. Ia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan iler malamnya. Tapi, ponselnya berdering dengan nyaring. “Jangan lupa bajunya. Gue udah nunggu Atha, Sayang,” kata Febby di pesan teks melalui aplikasi.
Agatha tidak membalasnya lalu beranjak ke kamar mandi. Sekitar jam lima seperempat pagi, ia berangkat ke rumah Febby diantar oleh kakaknya. Dari rumah Febby ke Senayan, Agatha bareng dengan Mama Anice dan Febby. Mereka sampai di sana pada pukul setengah enam lebih sepuluh menit. Setelah itu, mereka langsung memakai make up bersama denga Ify dan Sivia yang sudah sejak tadi berada di sana.
“Tha, habis dari acara ini, kita ada acara di salah satu konten kreator,” ucap Ify yang sedang memakai lipstik berwarna orange. Ify berjalan mengambil air minum yang sudah disiapkan oleh tim kreatif. Bahkan, di meja juga sudah ada nasi kotak dan beberapa camilan.
“Buhsyeh, gue capek. Rasanya ingin ... hiatus dari dunia musik,” jawab Agatha asal. Tapi, jujur dia sangat lelah dengan pekerjaan yang hampir setiap hari ada. Bahkan, seperti tidak ada waktu senggang untuk sekadar piknik atau berkumpul dengan keluarga.
“Tha, Zakaria telepon,” kata Febby sembari memakan buah jeruk dan berjalan dari luar karena dia baru ganti baju. “Oke, siap,” jawab Agatha yang tidak juga mengangkatnya malah sibuk membenarkan bentuk alisnya.
“Teh Ipy, tolong dong Uni Ia ambilin satu air minum,” kata Sivia yang juga sedang merapikan rambutnya. “Kita itu, anak grup band atau bukan sih, baju aja yang penting warna sama, mau ngakak, tapi kok gue sendiri juga gabung,” sambungnya.
Mereka tertawa karena apa yang dikatakan Sivia ada benarnya. Setiap kali tampil ke acara-acara musik, kalau tidak disediakan oleh pihak panitia, ya sudah mereka bakal memakai pakaian asalkan warnanya sama satu dengan lainnya. Mereka telah selesai bersiap, dua menit kemudian mereka sudah harus tampil di depan penggemarnya.
Acara telah selesai sejak satu jam yang lalu. Kini, mereka sedang berada di mobil yang sama. Mereka ingin mencari makan siang terlebih dahulu lalu bertemu dengan klien yang lainnya. Rasanya, Agatha ingin menghilang sejenak dari dunia agar bisa beristirahat. Di dalam mobil setelah makan siang, Febby membuka buku dan mempelajarinya. Sedangkan, Agatha dan yang lainnya memilih untuk tidur walaupun hanya sejenak. Memang, anggota yang paling rajin dan fashionable itu ya, Febby.
“Woi bangun-bangun! Sudah sampai ...!” teriak Febby sembari menutup bukunya.
Mereka turun dari mobil dengan keadaan yang sangat berantakan. Mereka melakukan kegiatan shooting tentang berbagi pengalaman dan terbentuknya grup itu sendiri bersama sang pemilik konten.
“Hallo selamat datang, kalau boleh perkenalan dulu dong,” kata Siska—sang pemilik konten kreator.
Mereka memperkenalkan diri masing-masing secara bergantian. Mereka menyebutkan nama lengkap dan nama panggilan.
“Oke, kalau boleh tahu, Agatha, apa yang membuatmu menyukai musik?” tanyanya.
“Woah, apa, ya? Oh ini, karena musik itu bisa mengembalikan mood dan membuat kira bisa relaks,” jawab Agatha sedikit kikuk. Padahal, awalnya terjun ke musik juga karena ibunya.
“Kalau yang lain?”
“Sama, sih,” jawab mereka kompak.
“Nah awal mulanya bisa terbentuk itu bagaimana?”
“Berawal dari audisi internal sih,” jawab Febby mewakili.
Beberapa jam kemudian, mereka telah kembali ke rumah. Agatha menelepon balik Zakaria yang sejak pagi telah berkali-kali menghubunginya. Tapi, ia tidak bisa mengangkatnya karena masih sibuk dengan pekerjaan.
“Hallo, ada apa?” tanya Agatha yang langsung tanpa basa-basi ketika Zakaria menerima sambungan teleponnya.
“Enggak, tadi gimana? Tadi cuman mau tanya udah makan belum, ini aku masih di studio, masih banyak yang harus dikerjakan,” jawabnya ditambah dengan cerita tentang keluhnya. Tapi, hal itu bukan masalah bagi Agatha. Sebab, ia senang jika dalam menjalani sebuah hubungan ada sebuah keterbukaan.
“Memang sekarang sedang apa?” tanya Agatha.
“Masih proses editing, oh, iya itu lagu barunya rilis kapan?”
“Belum tahu, aku lagi ini, sih, apa namanya ... lagi enggak mau mikir tentang itu, capek tau,” kata Agatha sembari merebahkan dirinya ke atas kasur.
Panggilan telah diputuskan oleh Zakaria sejak dua menit yang lalu, karena dia akan salat isya. Gara-gara pekerjaannya yang menumpuk sampai membuatnya terlena akan kewajibannya. Zakaria adalah seorang laki-laki muslim yang taat akan Allah. Dia selalu menjalankan salat lima waktu dan kadang juga menyempatkan untuk menjalankan sunah.
Agatha memilih untuk mengambil ponselnya. Ia bermain di dalam aplikasi favoritnya. Bermain game layaknya seorang kasir yang bekerja di supermarket. Tiba-tiba ada notifikasi dari Filda.
“Tha, ternyata tanggal 26 itu hari Minggu. Mendingan lo pergi ke gereja. Jadi ke tempat pukul sembilan aja ga apa-apa,”
Agatha menghela napasnya. Lelah juga belum hilang dari tubuhnya. Tahu-tahu ada sebuah peringatan untuknya. Tapi, ya, sudah ia akan berangkat untuk jumpa bareng fans. Toh, tanpa mereka Agatha tidak akan pernah sampai di sini.
“Siap, Fil, santai aja. Kamu kan tahu bu bos yang satu ini, kan, taat ibadah,”
“Ah elah, lo mah gitu Tha!”
“Wqwq, Eh, Tha, gimana kalau acaranya agak pagian, terus jam sepuluh selesai. Soalnya Bintang ada acara, masalah ibadah gampang. Bisa jam delapan nanti setengah sembilan aku udah di tempat,”
“Serah aja, terpenting datang. Soalnya udah pada bayar,”
“ASTAGA FILDA! GUE AJA BELUM TAHU ACARANYA ITU DIISI APA! UDAH BAYAR HTM AJA,”
“Sabar, Buk. Lo tinggal ngisi materi sama nyanyi aja,”
“GUE AJAK TEMEN POKOKNYA!”
Agatha memilih untuk lekas tidur daripada harus kena omel dari Elizha atau Kak Sandra. Ah, kepalanya pusing bukan main. Dia benar-benar butuh hiburan, tapi malah ditekan. Seandainya saja dirinya tidak memiliki tanggungan pendidikan, sudah pasti dia akan kabur dari tanggung jawab. Eh, jangan! Seorang Agatha tidak pantas sambat atau mengeluh. Sekarang waktunya untuk bangkit dan berjuang agar tidak merepotkan mama.
Agatha turun dari kamarnya. Ia turut bergabung dengan kakak dan ibunya. Mereka berkumpul di ruang tamu rumahnya. Pintu depan dibiarkan terbuka dan anjing-anjing dibiarkan berkeliaran di sekitarnya. Sembari melihat suasana depan rumah yang ramai oleh pengguna jalan.
“Berapa lama, Dik, pacaran sama Zakaria?” tanya Kak Sandra yang sedang meminum air es.
“Baru kok,” jawab Agatha sembari mengambil satu butir kue kacang dari plastik.
“Atha, Sandra, Mama minta sama kalian agar bisa akur selamanya,” ucap Elizha sembari menatap kedua putrinya bergantian. Selama ini, ia hanya bisa mengandalkan kedua buah putrinya yang sudah dewasa. Bahkan, sudah siap untuk menikah. Tapi, jodoh yang belum terlihat hilalnya.
“Santai, Mam. Selama Kak Sandra baik hati dan selalu mendukungku, Atha, mah, akan selalu berpihak juga sama Kakak,” jawab Agatha dengan lantang.
“Kamu itu, Dik, setelah lulus kuliah nanti, mau kerja di luar atau tetap berkarya di dunia musik?”
“Maybe, berkarya. Tapi, tidak bisa dipungkiri juga kalau bakal bekerja sama orang,” jawabnya sembari memakan kue kacang lagi.
“Mama, kenapa dulu mengarahkan Agatha ke musik, sedangkan aku malah dididik untuk jadi pemimpin?” tanya Kak Sandra sembari memeluk ibunya.
“Dulu, Atha itu cerewetnya minta ampun, deh, mana dikit-dikit teriak. Tapi, Kakak masih ingat kan? Waktu Atha di masukkan ke sebuah tempat les balet? Ga betah jinjit katanya. Terus malah gantian mulutnya yang super aktif, jadilah di masukkan ke les vokal, deh. Kalau Kakak mah pendiam, beda sama Atha,” jawab Elizha yang mengusap punggung tangan kedua anaknya.
Mereka melihat suasana luar dan menikmati semilir angin malam. Memberi makan anjing-anjing milik mereka sembari bermain bersama. Mereka bersenda gurau dengan asyik dan tidak membosankan. Keluarga adalah salah satu yang membuat Agatha menghilangkan rasa penat ketika lelah menjalani pekerjaannya sebagai penyanyi dan aktris.
Beberapa jam kemudian, Elizha beranjak ke dapur untuk membuat puding rasa mangga kesukaan Agatha dan Sandra. Akhirnya, mereka malah saling membantu untuk membuat makanan itu. Sesuatu yang biasa, tapi menjadi luar biasa ketika dijalankan bersama keluarga. Hal-hal kecil seperti ini yang membuat Agatha merasa rindu dengan sosok ayahnya. Sosok pahlawan dalam hidupnya yang selalu menjaga dan melindunginya dari segala macam bahaya.
“Kok jadi kangen sama Papa,” kata Agatha sembari mengusap air matanya yang secara tidak sengaja keluar dari kelopak mata.
“Sama, Dik. Besok kita datang ke makam, ya,” kata Kak Sandra mengusap air mata Agatha.
Agatha memeluk erat kakaknya berharap mendapatkan rasa tenang. Agatha dan Sandra sejak kecil telah diajarkan untuk saling menyayangi. Agatha sendiri selaku diajari oleh ayah ataupun ibunya tentang bagaimana cara menghormati orang tua dan kakaknya. Oleh karena itu, jiwa toleransi yang ada dalam jiwanya selalu melekat. Dia juga tumbuh menjadi anal yang ramah kepada siapa pun, bahkan kepada para fans dan sahabatnya.
Hari telah semakin larut, Agatha masuk ke kamarnya. Elizha mengunci pintu utama rumahnya beserta jendela. Setelah itu, mereka kembali ke kamarnya masing-masing untuk meraih mimpinya. Mimpi ketika tidur juga bisa jadi kenyataan. Jadi, sebelum tidur wajib berdoa agar diberi mimpi yang menyenangkan dan membahagiakan.
Pada saat dirinya sedang ingin tidur, tiba-tiba gorden jendela kamar Agatha bergerak sendiri tanpa ada tangan yang menyentuh. Bahkan, angin pun tidak ada sama sekali. Lalu, siapa yang menggoyangkan gorden setebal itu?
“Heh, siapa sih yang mainin gorden!” teriak Agatha yang bulu kuduknya sudah merinding sejak tadi.