Wind

1418 Words
Suara yang begitu keras telah terdengar dekat di indra pendengaran Agatha. Gelas kaca yang dipakai Elizha terjatuh akibat tersenggol lengannya. Agatha melihat ke arah bawah sebelah kanan, di sana ada Elizha yang tengah memegang jari telunjuk tangan kirinya. Darah segar itu keluar sedikit di sana. Melihat hal itu, Agatha bergegas lari mengambil air hangat dan kotak P3K. “Mama hati-hati, dong.” Agatha meraih jemari ibunya untuk membersihkan darah dan memberikan obat merah. Kemudian, membalutnya dengan sebuah plester. “Mama lanjut makan, biar Agatha yang membereskannya.” Agatha mengambil sapu dan alat pel. Tangan yang selama ini tidak pernah menyentuh alat kebersihan, malam ini dia memegang, bahkan menggunakannya. Agatha mengumpulkan serpihan-serpihan kaca kemudian di masukkan ke dalam tong sampah. Setelah tidak ada serpihan kaca, Agatha mengepel lantai yang basah akibat air jus mangga milik Elizha. “Tha, dasar anak perempuan yang terlampau cerdas,” ucap Elizha yang sejak tadi mengamati gerak-gerik putrinya. Duduk di kursi dengan memegang sendok berisi nasi dan lauk untuk satu kali suapan. “Itu cara mengepel lantai bukan seperti itu. Kalau kaya gitu, Tha,” sambungnya. Pintar, Agatha memang pintar. Tapi, dalam urusan rumah dia akan kalah. Dalam sejarah hidupnya, baru sekali menggunakan alat kebersihan yang ada di rumahnya. Bahkan, saking cerdasnya—seperti yang dikatakan Elizha—dia menggunakan alat pel saja tidak bisa. Seharusnya, orang mengepel lantai itu membersihkan kotoran terlebih dahulu, baru membuang sisa-sisa airnya. Tapi, tidak dengan Agatha. Jus mangga yang masih kental di lantai diseret ke arahnya menggunakan alat pel. Bukankah akan menimbulkan kotoran baru? Agatha tertawa kecil. Kemudian, alat pel yang masih terpegang di tangannya telah beralih ke Elizha. Elizha turun dari kursi lalu menyuruh Agatha untuk mencuci alat pel dan mengambil plastik. Setelah itu, Elizha mengambil air jus mangga untuk di masukkan ke dalam plastik menggunakan sendok ikut terjatuh bersama gelas tadi. “Nah, sekarang baru dipel.” Elizha menggunakan alat pel untuk m3mbersihka  lantai dari sisa-sisa air jus. “Nih kaya gini, kalau kamu tadi, bisa-bisa kakimu banyak kotoran,” sambungnya. Agatha menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal sembari tersenyum dengan manjanya. Setelah selesai membersihkan kotoran di lantai, mereka melanjutkan untuk menyantap makanannya. Sekitar pukul tujuh lebih lima menit, Agatha kembali ke kamarnya. Mengambil kitab suci Injil untuk membacanya. Setiap ajaran yang ada dalam sana, Agatha akan berusaha agar bisa mengamalkannya. Setiap agama pasti memiliki satu tujuan yang sama. Sama-sama mengajarkan untuk menyembah Tuhan dan berbuat baik kepada sesama. Ajaran-ajaran yang baik akan selalu Agatha lakukan, tanpa terkecuali dan tanpa membedakan agama. Selama kima belas menit, Agatha membaca dan menelaah dari beberapa ayat yang ada. Mempelajari dan memaknai apa yang sebenarnya Tuhan sampaikan untuk umatnya. Mencoba untuk merealisasikan apa yang Tuhan ajarkan dalam nilai kebaikan untuk kehidupan. Sebaik-baiknya manusia adalah orang yang mau mempelajari, meyakini, dan menjunjung tinggi nilai-nilai dari isi kitab suci. “Terima kasih, Tuhan. Engkau telah memberiku banyak rasa bahagia.” Agatha menutup kitab suci Injil kemudian mengembalikannya ke laci mejanya. Kedua tangannya menangkup wajah untuk menghilangkan rasa penat, kemudian melangkahkan kakinya menuju ranjang. Merebahkan diri di atas kasur untuk memanjakan tubuhnya. Meletakkan bantal di beberapa titik tubuhnya. Satu bantal untuk kepala dan dua bantal lainnya untuk bagian pinggang dan kaki. Posisi tidur ternyaman baginya di saat merasakan lelah. Dia melakukan posisi tersebut sampai merasa tubuh yang jauh lebih nyaman. “Tha, sudah sembahyang?” tanya Zakaria dari sambungan video-call “Sudah, baru saja selesai. Kamu sudah salar isya?” jawab Agatha dengan lembut. “Sudahlah. Oh iya, sekarang kamu mau bagaimana? Kalau mau solo karier, gabung saja sama aku. Aku bakal produser-in kamu.” “Ha ha, kamu salah tanya kaya begitu ke orang yang punya otak seperti otak-otak lima ratusan. Aku belum mau ke solo karier. Aku mau fokus dulu sama kuliah, entah kalau nanti setelah masa kuliah selesai.” “Mengakui, ya, besok jalan mau enggak? Ke pasar pagi beli otak-otak,” katanya dengan tertawa menyindir. “Hmm, ngajak jalan itu ke bioskop atau ke mana gitu, ini diajak ke pasar,” jawab Agatha bercanda. “Tapi, separuh nyawaku itu musik. Kalau aku berhenti dari musik, lantas bagaimana dengan keresahan-keresahan yang aku rasakan?” sambung Agatha. “Tha, kalau separuh nyawamu itu musik, aku tidak ada artinya? Kalau begitu, ya, sudah aku mundur alon-alon.” “Ya enggak begitu, kamu itu ibarat kata seperti angin. Pemberi separuh nafasku. Artinya, aku tidak akan bisa untuk kehilangan kamu atau aku akan terluka jika kamu hilang dari dekatku. Eh, kok bisa menggombal,” kata Agatha yang tertawa. Terdengar dengan samar, Zakaria tengah tertawa di sana. “Baiklah, dan kita akan terbang tinggi ke langit dalam satu pelukan hangat serta mengambang di awan. Di temani angin yang bersahabat untuk melengkapi kebahagiaan kita.” Agatha mendudukkan diri untuk mencari posisi ternyaman dalam bergurau dengan Zakaria. Walau hanya melalui sambungan telepon, itu sudah lebih dari cukup. Mengingat kesibukan mereka yang mengakibatkan susahnya untuk mencari jadwal temu. Raga mereka mungkin belum bisa untuk saling menatap kembali, tapi hati mereka akan selalu bertaut. “Sudah aku tidak akan mendengar kata-kata manismu, nyatanya pahit karena tak pernah temu,” katanya. “Kenapa kamu jarang memanggilku dengan kata-kata manis?” tanyanya. “Kenapa, Tha? Itu hanya sebuah kata-kata. Terpenting, tindakanku selalu nyata buka  hanya janji belaka.” Zakaria tertawa melihat ekspresi Agatha yang begitu menggemaskan. Bibirnya yang mengerucut seperti nasi tumpeng. “Bibirnya bikin lapar,” kata Zakaria dengan lembut. “Zaki! Awas khilaf,” jawab Agatha lesu campur terpesona. Buru-buru mengubah bibirnya senatural mungkin. Zakaria tertawa melihat tingkah kekasihnya. Rasanya, ingin segera melamarnya. Tapi, dirinya saja masih belum mapan secara materi dan masih harus menyelesaikan perkuliahannya. “Tha, canda. Kalau boleh tahu, apa yang membuat Bintang bubar?” “Biasa. Kesibukan masing-masing. Kita kan berempat juga kuliah, apalagi tugas-tugas yang banyak membuat kita susah untuk bertemu.” “Memang sih. Mungkin memang sudah jalannya kaya begitu. Tha, gimana mau gak?” tanya Zakaria. “Apa? Awas kalau aneh-aneh. Aku tahu kamu laki-laki normal, tapi laki-laki yang baik tidak akan merusak perempuannya. Karena, laki-laki yang baik, tahu bahwa seorang perempuan memiliki nilai yang sangat berharga. Perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk sebelah kiri agar supaya di .... “ “Aku paham, Tha. Perempuan itu patut disayangi dan cintai serta dihormati. Sebab, kita tidak akan pernah lahir di dunia tanpa seorang wanita.” Zakaria tersenyum. “Dah malam, tidur. Aku ngantuk,” jawab Agatha. Zakaria mematikan sambungan teleponnya. Sedangkan, di saat yang bersamaan, Agatha melempar ponselnya ke kasur. Hatinya benar-benar selalu dibawa terbang bersama angin olehnya. Setiap kali terjadi percakapan di antaranya, selalu ada sesuatu yang mampu membuat hati Agatha bergejolak bahagia. Agatha memejamkan matanya sesekali. Berusaha untuk menetralkan hati dan pikirannya. Rasanya, kupu-kupu yang hinggap di dalam hatinya sedang terbang mengeliling sampai menghasilkan suara yang bergemuruh. Detak nadinya masih berdenyut dengan keras. Pikirannya masih terbayang wajah Zakaria yang meneduhkan. “Entah, aku harus mengucapkan kata terima kasih sebanyak apa dalam satu hari, Tuhan. Engkau begitu baik kepadaku,” lirih Agatha sebelum benar-benar terlelap. Keesokan harinya, Agatha terbangun pukul lima pagi. Kakinya beranjak untuk membuka gorden kamarnya. Menatap ke arah keluar kamar, terdapat kupu-kupu berwarna biru menghinggapi sepucuk daun di sana. Begitu nyaman. Seperti dirinya yang selalu nyaman ketika bersama Zakaria. Dia melangkahkan kaki untuk masuk ke kamar mandi. Selesai mandi, Agatha telah siap dengan pakaian hitamnya. Sebuah warna yang disukainya. Mengambil tas putih yang ada di atas meja rias, lalu berlari menuruni tangga. Duduk di ruang makan untuk sarapan bersama Elizha. “Tha, Kakak enggak telepon sama kamu?” tanya Elizha sembari menuang air putih ke gelas. “Kak Sandra kalau sudah di Bali, ya, sibuk, Ma.”Agatha mengambil satu roti tawar berselai strawberry. “Tha, kamu mau ke mana?” tanyanya dengan sedikit heran. Pasalnya, tidak ada buku satu pun yang dibawa turun dari kamarnya. “Mau berangkat kerja, Ma. Ada jadwal hari ini di salah satu televisi. Dadakan Ify kasih tahunya baru subuh tadi,” balasnya. Elizha tertawa terbahak-bahak. “ Kamu itu kena prank atau kamu memang lupa? Kan kemarin Bintang sudah meresmikan bubar,” jawab Elizha. Agatha tersedak rotinya. “Eh, dasar Ify! Manfaatkan kekuranganku.” Agatha kembali ke atas. Mengambil buku kuliah yang menjadi jadwal hari ini. Beruntung, Elizha mengingatkan, jika tidak, ya, sudah. Agatha akan kelimpungan di jalan tanpa tahu arah tujuan. Padahal, Ify saja sama sekali tidak memberi tahu alamatnya. Tapi, kenapa Agatha bisa saja terjebak prank dari Ify? Sudahlah, namanya juga sudah terlanjur nyaman. Benar, Agatha sudah merasakan nyaman bergabung bersama Bintang. Lingkungan yang nyaman dan ramah. “Ma, berangkat kampus, sudah hampir terlambat,” katanya sembari mencium telapak tangan ibunya.              
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD