Tak Akan Utuh Kembali

1354 Words
Dua tahun kemudian, Agatha sedang duduk di bangku taman depan rumahnya. Dia menunggu seseorang yang akan berjumpa dengannya. Ada sebuah janji dengan salah satu temannya yang berciri khas dengan kacamata cokelatnya. Tidak lama kemudian, seseorang yang ditunggunya sudah hadir. “Sorry, Tha, lama. Oh iya, hari ini lu ada acara?” tanya Filda yang pagi ini memakai kerudung berwarna hitam dan memakai tunik berwarna merah hati. Tidak lupa, bibirnya yang lumayan tebal itu dipoles dengan lipstik merahnya. Menambah kesan menawan dalam dirinya. “Santai, Filda. Fil, masuk ke rumah, ya. Ada Mama, gue harus buru-buru ke lokasi. Nanti kalau mau pulang, bilang sama Mama.” Agatha mengikat rambut sepanjang pinggangnya. “Oke gue masuk ke dalam temui Mama, tapi sebentar doang.” Filda membenarkan posisi kacamatanya yang menurun sampai hidung. “Oke, gak pa-pa. Ini barangnya,” kata Agatha sembari menyulurkan sebuah paper bag kepada Filda. Sebuah barang yang diberikan sebagai kado hari spesialnya. “Panjang umur, Fil. Sering-sering berterima kasih sama Ibu yang sudah melahirkan dan membesarkanmu. Jangan minta kado, tapi lu yang harus ngasih kado.” Agatha pergi meninggalkan Filda yang masih berdiri di tempat. Kakinya melangkah masuk ke dalam mobil yang sudah siap mengantarkannya ke lokasi. Sebuah tempat yang hari ini sebagai tempat kerjanya. Menjadi seorang publik figur tidak mudah. Selain tempat kerja yang berpindah-pindah, juga banyak sesuatu yang melukai hati. Seperti, cacian para pengikut yang tertunda. Mobilnya melaju dengan kecepatan rata-rata. Dia sampai di tujuan dengan selamat dan tanpa hambatan sedikit pun. Tidak lama kemudian, dia mendengar suara khas Febby yang serak-serak merdu memanggil namanya. Agatha menoleh ke belakang sembari membalas lambaian tangan Febby dengan senyuman. “Tha, hari ini penampilan terakhir .... “ Febby menunduk. Mulutnya tak mampu melanjutkan kata-katanya. Air matanya mengalir membasahi wajahnya. Seakan sengatan aliran listrik, isak tangisnya menyalur kepada Agatha. Mereka saling mengingat kejadian-kejadian yang pernah dialami bersama. Selama beberapa tahun bersama kemudian harus terpisah karena jalan hidup masing-masing. “Percayalah Feb, setelah ini akan tetap ada pelangi di depan sana. Hubungan kita berempat akan terus berjalan walau tidak bersama. Selamanya, kita akan menjadi teman berbagi, teman jalan, dan lainnya. Sudah, jangan jadi wanita cengeng. Apalagi, lu yang terkenal tangguh, tidak cocok menangis.” Mereka melanjutkan jalan ke studio. Hari ini mereka akan menampilkan sesuatu yang berbeda. Sebuah penampilan terakhir yang akan membekas di hati para penggemarnya. Mereka tahu, keputusan yang telah dibuat akan melukai para penggemarnya. Mereka tahu, penggemarnya tidak hanya puluhan orang, melainkan puluhan juta orang di dunia. Tapi, kesibukan masing-masing membuat terbenturnya temu. Setahun belakangan ini, setiap kali mendapatkan jadwal tampil dalam beberapa acara televisi, pasti di antara mereka ada yang tidak bisa gabung. Apalagi, saat ini Agatha telah menempuh kuliahnya di salah satu universitas. Terkadang, kesibukan-kesibukan personal yang membuat sulitnya untuk bertemu. Jangankan untuk tampil dalam sebuah acara, sekadar bertemu untuk latihan saja jarang. “Baik, hari ini apa yang ingin kalian tampilkan?” tanya pembawa acara yang bertubuh tinggi dan kekar. “Kami akan menampilkan sebuah lagu kami, tapi dengan versi yang berbeda. Mungkin, penampilan ini tidak seperti yang kalian harapkan, akan tetapi kami ingin memberikan sesuatu yang terbaik untuk kalian semua. Sebuah lagu dengan versi akapela.” Ify menggandeng tangan Agatha agar segera membentuk formasi. Mereka menyanyikan sebuah lagu berjudul ‘Sendiri Lagi’ yang diciptakan oleh Andi dan Alosh Beage. Tanpa menggunakan instrumen musik apa pun, mereka tetap membawakannya dengan menarik dan merdu. Paduan suara yang seimbang dan beberapa improvisasi yang dilakukan membuat penampilan mereka terdengar lebih sempurna. “Agatha, hubunganmu dengan Zaki jangan sampai terisi dengan sebuah akapela. Bisa gawat,” katanya untuk menyelingi acara agar tidak terlihat kaku. “Sebentar maksudnya bagaimana? Maaf, otak saya sedang susah loading,” jawab Agatha sembari tertawa kecil. “Kisah kalian jangan sampai kehilangan pengiring. Jangan sampai memudar rasa cinta yang selama ini kalian bangun. Jangan sampai pula menghilang kesetiaan dan perhatian satu dengan lain.” Seisi ruangan tertawa dengan perkataan itu. “Mungkin, dengan penampilan versi akapela ini, sebagai tanda bahwa Bintang tak akan bersinar lagi. Akan ada konfirmasi secara jelas melalui akun i********: kita siang nanti pukul dua belas.” Ify menegaskan di akhir acara. Beberapa jam kemudian. Tepatnya pukul dua belas siang. Pihak manajer dari Bintang mengunggah satu foto mereka yang diambil beberapa bulan yang lalu. Di bagian caption dijelaskan atas bubarnya grup itu. Grup yang telah meraih berbagai penghargaan, grup yang telah memiliki puluhan lagu dan beberapa album, serta telah memiliki beberapa judul sinetron dan FTV, kini harus bubar. Banyak komentar dan pesan masuk ke akun sosial media mereka masing-masing. Pesan dengan inti yang sama, menanyakan alasan bubarnya grup yang tengah naik daun. Agatha menundukkan kepala. Dalam benaknya teringat kembali masa-masa itu. Tapi, setiap pertemuan akan ada kata perpisahan. Agatha hanya membalas beberapa komentar dengan emoji tersenyum. “Tha, sekarang kamu mau bagaimana?” tanya Elizha yang sedang duduk di depan televisi. Ditemanu secangkir kopi luwak panas di atas meja. Sebuah minuman yang tidak hanya menghangatkan tubuhnya, tapi juga mengingatkan dengan kebersamaan keluarganya. “Fokus kuliah, Ma. Nanti setelah selesai, ya, enggak tahu mau lanjut nyanyi atau kerja di luar,” jawabnya sembari mengambil cangkir kopi milik ibunya. “Kamu ini suka asal minum punya Mama. Sekarang mandi sana, Mama siapkan makan buat kamu,” katanya sembari beranjak untuk ke dapur. Tapi, langkah kakinya terhenti oleh suara khas anaknya. “Mama duduk saja, Agatha nanti masak sendiri,” kata Agatha sembari berlari ke tangga untuk menuju kamarnya. Kamar yang bernuansa hitam putih seperti impiannya sejak kecil. Dia menyukai sesuatu yang berbau monokrom. Beberapa menit kemudian, Agatha telah selesai mandi. Sekitar pukul empat sore, Agatha meracik bumbu dasar untuk memasak. Tiga siung bawang putih dan tiga siung bawang merah, serta tiga biji cabai rawit yang telah merah. Diiris-iris kemudian ditumis. Sebuah langkah dasar dalam memasak. Setelah bumbu tercium aromanya, Agatha memasukkan potongan-potongan kacang panjang. Setelah itu, memasukkan segelas kecil air putih ke dalam wajan. Ditambah garam, bumbu penyedap, dan gula sesuai selera. Tunggu sampai masak, baru disajikan. “Siapa yang mengajarimu memasak?” tanya Elizha yang memegang sendok. Siap mengambil sejimpit masakan Agatha untuk merasakan cita rasa hasil tangan putrinya. “Enak, loh,” pujinya. “Belajar dari Febby,” jawabnya jujur. Agatha mengambil satu piring untuk menyajikan masakannya. Kemudian ditaruh di atas meja bersama nasi yang masih berada di rice cooker. “Tha, enggak ada lauknya?” tanya Elizha terheran dengan menu yang dibuat oleh Agatha. “Tenang ... Ini ada abon rasa sapi,” katanya sembari mengambil satu bungkus abon dari dalam kulkas. “Itu andalan kamu. Oh iya, Mama sedih, kalian terpisah kaya gini. Padahal, pertemanan kalian sudah lama sekali.” “Ma yang bubar kan grup Bintang, kalau kita ya masih temenan. Enggak akan saling melupakan, tetap akan selalu mendukung atas apa yang dikerjakan masing-masing.” Agatha menyantap makan sorenya. Acara diet hanya sebatas rencananya saja. Tapi, kenyataannya pukul dua belas malam, dia akan menyantap satu porsi nasi lagi. Benar-benar pola hidup yang kurang sehat. Terlebih, Agatha jarang melakukan olahraga. “Bersyukur kamu punya teman yang baik. Mereka memiliki toleransi yang tinggi sama kamu.” “Iya, sih, Ma .... “ Ada sebuah pesan masuk ke ponselnya. Siapa lagi kalau bukan dari Zakaria? Ya, jelas saja ada. Dari keluarga, sahabat, atau yang lainnya. Isi pesan yang masuk di ponselnya paling banyak dari Zakaria. Tapi, masih banyak lagi dari operator untuk saat ini. Semakin bertambah usia, semakin tambah dewasa. Pikiran mereka tidak hanya untuk sekadar menebar kemesraan, tapi juga masa depan. Zakaria telah berhasil membawa sejumlah penyanyi dan musisi papan atas yang bergabung dalam label musiknya. “Tha, turut sedih atas bubarnya grup Bintang. Tapi, aku percaya persahabatan kalian sangat kuat. Aku hanya bisa mendukung apa yang sudah kamu rencanakan. Semoga ke depannya semakin baik untuk aku, kamu, ataupun mereka. Semangat terus, ya, Sayang.” Isi pesan dari Zakaria yang telah dibaca oleh Agatha. Kata-kata yang keluar darinya selalu sederhana, tapi mampu mengobrak-abrik perasannya. Serasa dibawa terbang ke langit paling tinggi. “Jangan lupa untuk membaca kitab suci dan berdoa, Luv,” sambungnya melalui pesan teks itu. “Kamu juga jangan lupa salat magrib. Sebentar lagi sudah azan,” balas Agatha menggunakan pesan suara. Sebab, jemarinya masih rapat untuk segera memegang gagang sendok. Prang!                          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD