Berdebat

1271 Words
“Astagfirullah, ini anak sama ibu sama-sama gila. Kenapa tidak dikasih racun saja biar mati. Benar-benar tidak bisa terima takdir.” Langkah kaki Samudra terhenti mendengar serapah ibunya. Dia menoleh ke arah sang ibu yang sedang duduk di ruang TV, tiba-tiba dia memalingkan wajah saat seorang putri kecil memanggil dirinya seraya berlari. “Daddy.” “Princes Daddy.” Samudra tersenyum mengepakkan tangannya seraya berjongkok—menyambut pelukan hangat putri semata wayangnya. “Awa lindu Daddy,” celoteh Zahwa dengan cadel nan menggemaskan. “Daddy juga.” Samudra mengecup pipinya. “Bajumu masih basah, kenapa langsung memeluk Zahwa?” omel Bu Widia membuat Samudra tersadar bahwa bajunya yang dia kenakan basah oleh air hujan. Padahal dia tidak main hujan, hanya berlari setelah menyerahkan payung pada seorang perempuan yang ditemuinya di pinggir jalan tadi. “Oma, jangan malahin Daddy!” tegur gadis kecil itu membela ayahnya. “Haish, kalian ini. Ayah dan anak.” Bu Widia memijat pelipisnya. Di rumah ini tidak ada yang bisa memarahi Samudra karena Zahwa akan menjadi benteng terbesar yang akan melindungi ayahnya. “Thanks, Princess, sudah bela Daddy. Sekarang kamu sama Sus Rini ya! Daddy mau bicara dulu sama Oma.” “Ok, Daddy.” Zahwa langsung berlari menghampiri Sus Rini, sementara itu Samudra menghampiri ibunya dengan membawa tensi meter. “Kita harus cek tekanan darah dulu! Mama dari tadi mengoceh terus.” “Bagaimana Mama tidak mengoceh, kamu lihat sendiri ini!” Bu Widia menyerahkan ponselnya pada Samudra. “Video yang dikirim Jeng Sari.” Samudra mengambil dan memperhatikan video yang membuat ibunya marah-marah. Seketika alisnya berkerut melihat seorang perempuan muslimah yang sedang mengajukan pertanyaan pada ustadz dengan suara bergetar dan linangan air mata yang tidak sanggup untuk ditahan. “Ini bukannya perempuan yang tadi kutemui?” gumam Samudra mengingat jelas wajah perempuan yang ditemuinya di pinggir jalan. Meskipun di bawah hujan, basah kuyup, tapi Samudra masih hafal wajah itu. “Hei, kamu bilang apa?” tanya Bu Widia tidak begitu jelas mendengar ucapan Samudra. “Aku melihat perempuan ini di jalan saat pulang, Ma. Dia terlihat sedih sekali. Baru tau kalau ini permasalahan yang dia hadapi.” “Dia perempuan versi kamu.” Samudra tersentak. “Sudah 4 tahun, tidak ada yang perlu dibahas lagi.” Bu Widia mengangguk pelan. “Bagaimana omset kamu bulan ini?” “Alhamdulillah, naik pesat. Dunia e-commerce membuat produk kita selalu sold out. Kita juga butuh beberapa BA lagi untuk mempromosikan produk kita,” ujar Samudra seraya memeriksa tekanan darah ibunya. “Gimana kalau kamu ajak perempuan ini jadi BA kamu?” “Gak bisa, Ma. Kita butuh artis papan atas. Bila perlu artis Kpop, karena popularitas mereka tidak diragukan lagi.” “Perempuan ini juga akan terkenal. Percaya sama Mama!” Bu Widia tetap kukuh pada pendiriannya. Matanya sangat tajam dalam menilai, meskipun dia tidak tahu latar belakang perempuan yang ada di video itu. “Sudahlah, Ma! Jangan mulai meramal!” “Tapi analisa Mama selama ini benar, kan?” “Hanya sebuah kebetulan … tekanan darah Mama sedikit lebih tinggi dari kemarin, tolong hindari tontonan yang memacu emosi!” pungkas Samudra langsung beranjak pergi. Satu sisi dia akui bahwa ibunya pandai dalam mengamati algoritma media sosial, tapi Samudra sama sekali tidak ingin melibatkan perempuan yang sedang ada dalam masalah ke dalam ranah bisnisnya. Sementara itu, perempuan yang diberi payung kini sudah tiba di depan rumah dalam keadaan basah kuyup. Iya, meskipun dia mendapati payung, tapi tubuhnya sudah terlanjur basah. “Istri macam apa, pulang terlambat, selalu keduluan suami?” sindiran keras dari ruang TV tidak membuat langkah Naomi berhenti. Dia terus menyeret langkahnya menaiki anak tangga. “Apa kamu tuli?” “Nao lagi gak ingin berdebat, Bu,” jawab Naomi singkat, sama sekali tidak ada niatan untuk berhenti, bahkan menoleh pun enggan, meskipun ada suaminya bersama dengan mertua. “Lihat, istrimu! Sudah mulai kurang ajar.” Bu Rosa langsung protes pada putranya. Menunjukkan ekspresi ketidaksukaan pada menantu pilihan Sakhi. “Sudahlah, Bu! Biarkan saja. Kita fokus saja sama pernikahan keduaku.” Sakhi malah enggan menanggapi sikap Naomi yang berubah. Baginya wajar jika Naomi bersikap dingin, karena butuh waktu juga untuk menerima keadaan. “Baiklah. Katakan sama Dea, kalau kita akan datang ke rumahnya besok lusa untuk melamar!” “Besok lusa? Apa gak terlalu cepat, Bu?” “Lebih cepat lebih baik. Ibu takut dia nanti hamil. Lagipula kenapa kamu bermain sampai sejauh itu?” Bu Rosa memijat pelipisnya. Kepalanya selalu terasa berat saat mengingat putranya telah melakukan perbuatan terlarang. “Khilaf, Bu.” “Haish, jawabanmu selalu saja simpel.” “Kalau begitu Sakhi ke dalam dulu ya! Mau istirahat. Capek,” pamit Sakhi beranjak pergi ke kamarnya yang ada di lantai dua. Masih kamar yang sama dengan Naomi, karena meskipun keadaan rumahtangganya sedang tidak baik-baik saja, tetap saja Sakhi egois untuk tidak akan memberikan kesempatan pada Naomi tinggal pisah dengannya. “Besok lusa ibu mengatakan akan melamar Dea. Bagaimana menurutmu?” Naomi tersentak dengan pertanyaan sang suami. Baru masuk kamar saja sudah membuat hatinya tercabik-cabik. Tidak ada balasan apapun dari Naomi, dia memilih masuk ke dalam kamar mandi untuk membasuh tubuhnya. Dalam guyuran air shower, lagi-lagi kepiluan melanda dirinya. Lama dia menangis, sampai pada akhirnya ucapan ustadz dan pengacara membuat matanya terbuka lebar. “Aku gak boleh terus seperti ini. Aku harus kuat. Aku harus keluar dari masalah ini.” Naomi terus berbicara pada diri sendiri dengan menatap wajahnya di depan cermin. Menghilangkan rasa cinta yang sudah terbalut pengkhianatan, Naomi pun akhirnya keluar dari kamar mandi dan menemui suaminya yang sedang duduk bersandar di kepala ranjang. “Mas, aku ingin bicara.” Sakhi mengangkat wajahnya, melihat istrinya dengan balutan bathrobe dan handuk kecil yang dililit di kepala, membuat Sakhi dengan cepat bangun dan menyentuh pipi Naomi, tapi buru-buru ditepis. “Aku ingin kita cerai.” Sakhi terkejut, menatap tajam sang istri. “Apa katamu?” “Aku ingin kita cerai. Aku gak akan menghalangimu menikahi Dea.” “Gak bisa. Selamanya Mas gak akan menceraikanmu.” “Jangan egois, Mas! Kamu gak akan mungkin dapat dua sekaligus. Lebih baik kamu memilih, aku apa dia.” “Aku menginginkan kalian berdua tetap di sisiku,” tegas Sakhi membuat Naomi meradang. “Gak bisa. Aku gak mau di poligami. Lebih baik kamu talak aku sekarang juga, biarkan aku pergi dari sini! Aku bisa hidup tanpa kamu.” Sakhi mengepal tangannya, tarikan napas terasa berat dan tatapan pun berubah tajam. “Kamu lupa kamu itu siapa? Kamu itu gak punya siapa-siapa di sini, selain aku. Tetap di sisiku! Terima semua keputusanku!” “Gak akan pernah.” Naomi dengan tegas menantangnya. “Oke, kamu sekarang sedang emosi. Lebih baik kamu tidur atau shopping!” Sakhi menurunkan sedikit emosi demi membuat Naomi tetap nyaman dengannya. “Aku gak butuh itu, Mas. Yang aku butuhkan itu cerai darimu.” “Sayang, cukup! Kamu itu akan tetap jadi istri yang paling aku cintai. Ketika Mas punya anak dari Dea, kamu akan menjadi orang pertama yang dia panggil ibu.” Naomi menganga. Matanya tak berkedip menatap suaminya yang dianggap sama sekali tidak berperasaan. “Kalian ini teman. Apa salahnya berbagi suami,” imbuhnya lagi membuat Naomi menggertakkan giginya dan spontan melayangkan tamparan di pipi Sakhi. “Dengar ya, Mas! Aku sama dia bukan lagi teman sejak pengkhianatan ini terjadi. Jika kamu gak mau menceraikanku, maka aku yang akan menceraikanmu.” Sakhi bukan malah takut dengan ancaman Naomi, tapi malah tertawa meledekinya. “Sudahlah, Sayang, sudahi mimpimu! Mari kita hidup rukun dengan madumu! Lupakan soal perceraian karena kamu gak akan pernah bisa bercerai dariku.” Naomi tersenyum sinis. “Kita lihat saja nanti. Jangan lupa, siapa Naomi Maylafashia di jaman dulu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD