Rencana Berpisah

1003 Words
[Nao, usahakan untuk segera mengumpulkan bukti agar kita bisa ajukan gugatan perceraianmu ke pengadilan!] Naomi tersadar sudah mengulurkan waktu. Gara-gara perdebatan dengan Sakhi membuat dia harus menata hati, menyingkirkan perasaannya yang sudah hancur lebur dan menggunakan logika untuk berpikir untuk mengembalikan keadaan. Rasa ingin membalas perlakuan Sakhi, Bu Rosa dan Dea tetap ada, tapi untuk saat ini yang terpenting adalah melepaskan diri. Ikatan pernikahan ini bagaikan rantai yang membelenggu dirinya. Suara pintu yang terbuka membuat dia kejut dan segera menghapus pesan dari pengacaranya. Dia tidak ingin seorangpun curiga dengan langkah yang dia ambil. Takutnya malah membuat rencana dia untuk mengambil bukti dari ponsel Sakhi menjadi sia-sia. "Kenapa ke sini?" tanya Naomi sedikit gugup melihat suaminya semakin mendekat. "Mas minta maaf karena sudah menamparmu. Mas harap kita gak perlu berdebat lagi. Terimalah takdirmu, Nao. Mas cinta sama kamu." Sorotan mata boleh terlihat sungguh-sungguh, tapi Naomi sangat jijik mendengar semua ucapan yang keluar dari mulut Sakhi. Ingin dia melontarkan kata kasar, tapi untuk sekarang dia harus bertahan sejenak, demi misi yang akan dijalankan. Alhasil Naomi terpaksa tersenyum dan menganggukkan kepala. "Terima kasih, Sayang." Sakhi merengkuh tubuh Naomi dengan hangat dan mengecup pucuk kepalanya. "Malam ini Mas akan melamar Dea. Kamu ikut ya!" Naomi membisu. Tidak menyangka hari yang paling menyakitkan untuk dirinya sudah mendekat. Setelah lamaran, pasti mereka benar-benar akan menikah. "Iya." Naomi tersenyum kecut seraya menganggukkan kepala. "Berdandanlah yang cantik agar orang-orang tau kamu bahagia atas pernikahan keduaku," seru Sakhi tersenyum bahagia. Kamu bahagia, aku menderita. Tapi, sebentar lagi, aku akan mengembalikan semuanya pada kalian. Aku akan meminjamkan tangan orang-orang untuk membalas penghinaan yang kamu lakukan. Tunggulah saatnya tiba! Batin Naomi sudah bertekad untuk memberikan kejutan yang besar untuk orang-orang yang telah menyakitinya. "Mas, gak ingin mandi?" "Kenapa? Mas bau ya?" "Enggak, cuma kurang wangi," jawab Naomi seperti biasanya ketika bercanda dengan sang suami. "Artinya bau. Ok, Mas mandi dulu." Sakhi membuka jam tangan, lalu mengeluarkan semua barang dari sakunya, baru setelah itu dia pergi ke kamar mandi. Sementara itu, Naomi yang sedari tadi mengincar ponsel Sakhi, kini sudah ada di tangannya, dan lagi-lagi dia membutuhkan sidik jari Sakhi untuk membuka benda pipih di tangannya. "Ck! Gimana caranya aku bisa tembus ke hp mas Sakhi?" gerutu Naomi berdecak sebal. Padahal ini momen yang pas untuk dia mengambil bukti di dalam ponsel karena Sakhi mandinya sudah pasti lama. "Ya Allah, bantu aku!" lirih Naomi menggigit kuku jari. Dia meletakkan ponsel Sakhi kembali pada tempat semula, kemudian duduk di tepi ranjang seraya memikirkan langkah apa yang harus dia ambil agar ponsel suaminya dapat terbuka tanpa meminta izin pada Sakhi, karena bisa ketahuan. "Nao." "I—iya." Saking asik melamun, Naomi sampai terperanjat saat dipanggil oleh Sakhi. "Kenapa?" tanya Sakhi bingung. "Gak kenapa-napa. Mau aku ambilkan baju?" "Sepertinya kamu stres. Pergilah jalan-jalan sama temanmu!" "Boleh, Mas?" tanya Naomi berbinar. "Kapan Mas pernah melarangmu pergi? Asalkan pulang lebih cepat daripada Mas. Jangan bikin ibu kesal!" "Iya." Naomi tersenyum mengangguk kepala. "Kalau begitu aku pergi dulu ya!" "Ke mana?" "Jalan-jalan, ke mall." "Mas antar saja. Kebetulan Mas ingin bertemu sama Dea." "Gak usah, Mas. Aku pergi sama Ayu. Mas langsung ketemu sama Dea aja." Sakhi mengerut alisnya. Tatapannya terus menelisik perempuan berkerudung hitam di depannya. "Kamu gak marah lagi?" "Enggak dong, Mas. Mas, kan kamu nikah sama Dea. Otomatis Dea akan jadi adik maduku. Jadi aku harus berusaha ikhlas menerima dia." Jelas ucapan itu adalah dusta. Jangan sebut Naomi jika dia tidak bisa berakting dengan baik, menyembunyikan kepiluannya dengan senyuman. Menganggap semua baik, padahal bencana. Naomi pernah hidup 2 tahun di dunia industri musik, pernah membintangi beberapa iklan, bahkan menjadi artis video klip dari lagunya sendiri. Hanya saja, popularitas dia meredup usai memutuskan untuk meninggalkan dunia entertainment, juga media sosial. Suka pergi ke majelis hingga terbentuk circle baru—pemuda-pemudi pencari Tuhan. "Baiklah. Hati-hati di jalan!" Sakhi percaya dengan apa yang dikatakan istrinya. Dia mengulurkan tangan yang segera ditangkap Naomi, kemudian dicium punggung tangan yang pernah menampar pipinya. Naomi mengambil tas dan ponselnya lalu pergi. Hatinya sudah diselimuti awan bahagia karena dengan dia keluar dari rumah itu, dia bisa menjalankan rencana yang tersusun di dalam kepalanya. "Mau ke mana kamu?" tanya Bu Rosa dengan nada ketus. "Pergi, Bu. Mas Sakhi juga sudah mengizinkan." “Pergi terus. Bukannya duduk di rumah, beberes, malah asik keluyuran. Dasar perempuan mandul, tidak tahu diri, hobi menghabiskan duit suami.” Naomi menarik napas dengan berat. Dia bukan tidak punya perasaan, tapi ucapan pahit itu sudah sering di dengar. Bahkan dia sudah tidak pernah dianggap sebagai mantu sejak dua tahun yang lalu. Lantas Naomi enggan menggubris. Dia harus pergi sekarang juga, meskipun suara makian mertuanya masih terdengar jelas tapi tidak membuat langkah Naomi terhenti. Dia langsung saja masuk ke dalam mobil taksi yang sudah menunggunya sedari tadi. "Sebelum ke mall, kita singgah ke apotik sebentar ya, Pak!" "Baik, Bu." Naomi sudah tidak sabaran, begitu tiba di apotik, dia gegas keluar dan menemui apoteker. "Mbak, saya ingin beli obat tidur." "Ada resep dokter, Bu?" "Gak ada. Tapi saya butuh obat tidur. Tolong jual pada saya!" pinta Naomi memohon. "Maaf, Bu. Kami hanya menjual obat berdasarkan resep dokter." Sekalipun Naomi memasang wajah sedih, tetap saja apoteker itu menjaga kode etik untuk tidak menjual obat sembarangan, kecuali Naomi pergi menemui dokter terlebih dahulu. Alhasil Naomi balik ke dalam mobil dengan wajah murung. "Ada apa, Bu?" "Mereka gak mau menjual obat ke saya gara-gara gak ada resep dokter." "Kita pergi ke toko obat biasa saja, Bu." "Ada toko obat yang menjual obat tanpa resep dokter?" "Banyak, Bu. Mari saya antar." Naomi jarang sakit karena selalu menjaga kesehatannya, sehingga dia tidak tahu cara membeli obat di apotik, dan biasanya dia ke apotik hanya untuk membeli test pack saja. Setiba di toko obat lainnya, Naomi turun dan meminta obat yang sama, untungnya toko obat kali ini menjual obat tidur yang diminta olehnya. Senyum merekah tak pernah absen setiap detik dari bibir Naomi. Dia senang sekali sudah mendapatkan obat tidur, dan tinggal menunggu waktu yang tepat agar rencananya bisa di jalankan. Aku akan menggunakan ini untuk memudahkan jalanku menemui bukti perselingkuhanmu, Mas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD