BYAN POV.
Di umur gue yang sudah berkepala tiga ini, gue nggak mengerti sama jalan pikiran Oma. Kenapa dia bersikeras ingin menjodohkan gue dengan cucu sahabatnya? Ditambah dari yang gue tahu, cucu sahabatnya itu baru berusia 19 tahun.
"Oma, Byan ini sudah dewasa. Byan rasa Oma tidak perlu menjodoh-jodoh kan Byan." Gue membuka suara.
"Dulu Oma pernah meminta kamu untuk menikah dengan cucu sahabat Oma, bukan? Tapi kamu malah menikah dengan Leony. Dan sekarang hubungan kamu dengan wanita itu sudah berakhir. Maka sampai hari ini permintaan Oma masih berlaku," sahut Oma dengan lembut.
"Tapi Oma, masalahnya dia baru 19 tahun. Perbandingan usia kami terpaut jauh." Gue meyakinkan Oma bahwa gue serius tidak ingin menerima permintaannya itu.
"Byantara, Oma ini seorang pebisnis dan seorang pebisnis harus bisa memegang kata-katanya. Kamu mau Oma menjatuhkan harga diri Oma sendiri karena tidak bisa memegang apa yang Oma putuskan?" Kali ini Oma mengeluarkan kartu Joker nya.
"Dan usia bukan hal penting itu hanya angka belaka, Byan. Tidak ada batasan dalam cinta, memangnya kenapa kalau perbedaan usia kalian terpaut jauh? Yang penting dia wanita baik-baik."
Wanita baik-baik? Ucapan Oma seakan membuat hati gue tertusuk panah dengan nyala api.
"Oma nyindir Leony?" tanya gue.
Oma hanya mengangkat bahunya, tidak ada jawaban pasti yang keluar.
"Setahu Oma, dia kuliah di Universitas tempat kamu mengajar." lanjut Oma lagi, mengalihkan topik sebelumnya.
"Oh ya? Siapa namanya? Barangkali Byan tahu."
Nyatanya, gue basa-basi doang, menghargai Oma yang terlihat senang dari matanya saat menyebutkan gadis itu kuliah di Universitas yang sama dengan tempat gue mengajar.
"Namanya, Luna Emalia Jasmin."
Nama gadis itu sudah terekam di otak gue, sebenarnya gue juga penasaran bagaimana rupa gadis yang membuat Oma gue begitu teguh ingin menjodohkan cucunya ini.
"Byan ke kamar dulu ya, capek pengin istirahat."
Gue berjalan menuju kamar meninggalkan Oma juga orangtua gue yang tengah duduk di ruang utama. Kepala gue rasanya pusing banget sesudah mendengar pasal perjodohan itu ditambah Oma yang terus-terusan menyindir Leony.
Di kamar yang sangat nyaman ini, gue mencoba memahami jalan pikiran Oma. Bahtera rumah tangga gue dengan Leony berakhir hampir lima tahun yang lalu. Saat itu gue nggak dapat restu dari keluarga ini, mungkin itu salah satu penyebab rumah tangga yang gue dan Leony bina pada akhirnya diterpa perceraian juga.
"Jika pernikahan gue sebelumnya gagal karena gak dapat restu dari keluarga ini, maka gue mau lihat apakah pernikahan kali ini akan berhasil jika mendapat dukungan sepenuhnya dari mereka." gue bermonolog dan mengangguk-angguk sendiri.
Jika menikah dengan Leony yang sepantaran dengan gue aja gagal, bagaimana ceritanya dengan menikahi anak kecil? Dan bagaimana bisa mereka sangat yakin dengan anak kecil itu? Seperti itulah pikiran gue saat ini.
"Kacau emang Oma. Arghhhhh!"
***
Tet tet tet....
Suara alarm yang begitu nyaring berhasil membangunkan gue dari tidur nyaman ini, rasanya gue masih ingin bermanja mesra dengan kasur empuk yang saat ini menopang tubuh gue di atasnya. Tapi kenyataan harus dihadapi, gue ada kelas pagi hari ini.
Bahkan kelopak mata gue seperti ada lem super yang membuatnya begitu berat untuk dibuka, akhir-akhir ini juga gue nggak ada waktu buat olahraga tubuh gue rasanya kurang fit.
Selesai mandi dan berpakaian rapi, gue turun ke lantai bawah untuk langsung ke kampus, gue sengaja gak sarapan karena gue lagi demo sama Oma. Usia gue emang kepala tiga, tapi di mata Oma gue masih Byantara kecilnya.
---
Gue menancap gas mobil dengan kecepatan sedang.
"Mimpi apa gue semalam? Atau dosa apa yang sudah gue lakukan hingga menerima hal semacam ini?" Dramatis banget dah hidup gue.
Sesampainya di kampus, seperti biasa gue selalu disapa oleh para mahasiswa penghuni Universitas ini. Maaf-maaf saja meskipun status gue duda, gue ini termasuk dosen most wanted di sini. Kepopuleran gue bahkan mengalahkan rekan gue yang masih perjaka. Hehe.
Saat ini gue sudah berada di dalam kelas untuk menjalankan kewajiban memberikan materi ke mahasiswa gue. Meskipun masih pagi, ternyata banyak juga yang hadir.
Sesaat melihat daftar nama absensi, gue melihat nama gadis itu tertera di sana. Gue sengaja mengabsen mereka satu persatu kali ini, karena biasanya gue cuma menyuruh mereka langsung tanda tangan saja. Tujuan gue hanya satu, untuk mengetahui siapa pemilik nama tersebut.
Satu persatu nama dalam daftar itu gue panggil, hingga akhirnya nama gadis itu giliran berikutnya.
"Luna Emalia Jasmin ...."
"Hadir, Pak!"
Ternyata gadis itu duduk tepat di depan gue. Lumayan lah untuk seukuran anak kecil. Wajahnya cantik, kulitnya putih, rambut panjang, dan gue berani bertaruh kalau dia pendek. Jika di bandingkan dengan gue yang tinggi 180 cm ini mungkin dia hanya sejajar dengan daada gue.
Dibeberapa kesempatan gue menatap Luna secara terang-terangan. Rasanya gue pengin tertawa selantang mungkin melihat wajahnya yang salah tingkah.
Dan kalau dilihat-lihat selama materi yang gue sampaikan berlangsung, dia sangat serius dalam mendengarkan setiap materi yang gue jelaskan. Tidak seperti teman-temannya bahkan ada yang menahan kantuk padahal masih pagi dan ada juga yang terlihat bosan.
Selama dua jam gue mengajar di kelas ini, gue enjoy lah karena bisa mengerjai Luna dengan membuatnya salah tingkah karena gue tatap mulu.
Meskipun saat gue menatap Luna ada beberapa mahasiswa yang menyadarinya, bodoh amat lah gue sama mereka yang penting gue senang, hahaha.
***
"Bro!" suara Raska menginterupsi lamunan gue. "Kenapa lo? Tumben-tumbenan ngelamun?" lanjutnya lagi.
Gue menghela napas kasar, gak mungkin gue menceritakan apa yang mengganggu pikiran gue sama Raska, yang ada gue jadi bahan bully dia. "Ini gue sedikit pusing aja, biasa lah kerjaan kantor Oma." Gue bohong pastinya dan Raska percaya-percaya aja.
"Lo kenapa sih, mau-maunya ngajar? Mending lo urus tuh perusahaan raksasa," tanya Raska.
Gue menggaruk tekuk gue yang beneran gatal, "Gue juga nggak tahu, Ka. Rasanya ngajar itu passion gue. Gue suka melihat mereka yang belajar."
Drrttt...
Sebuah panggilan masuk dari Bunda.
Sebenarnya gue lagi malas banget ngomong sama bunda, gue masih kesel aja sama beliau karena setuju atas perjodohan gue ini. Tapi kalau nggak di angkat, siapa tahu penting.
"Halo, Bun?"
"Nak, kamu hari ini pulang jam berapa?" tanya Bunda di seberang telepon.
"Sore Bun, kenapa?"
Sebenarnya pukul 14 gue sudah selesai mengajar, tapi gue bilang aja sore karena gue lagi malas pulang cepat.
"Oma ngajak dinner malam ini, pastikan kamu jangan pulang terlalu sore, hm?"
"Iya Bun," sahut gue lesu kemudian mengakhiri panggilan.
Firasat gue udah nggak enak aja, Oma ngajak dinner pasti ada apa-apanya. Soalnya mendadak begini, biasanya juga direncanakan dulu jauh-jauh hari.
"Kalau gitu, gue cabut ya. Masih ada kelas," ujar Raska sambil berlalu.
Dan gue sendiri juga masih ada kelas lima belas menit lagi.