LUNA POV.
Kata-kata Pak Byan ngajakin gue nikah terus berputar di kepala gue. Gue nggak habis pikir sama itu Dosen, bisa-bisanya dia sembarangan ngajak orang nikah, apalagi gue kan mahasiswa dia.
"Arghhh, mending gue tidur aja deh."
Dalam hitungan detik gue langsung terlelap, kok cepet amat? Iyalah, kan gue udah capek lahir dan batin.
"Luna ! Bangun sayang."
"Lunaaaaaaa, magrib-magrib jangan tidur!"
Suara teriakan itu berhasil menginterupsi tidur gue yang baru saja dimulai, jangan tanya itu teriakan dari siapa. Sudah jelas itu suara Ibu gue.
"Bu, bisa nggak sih jangan teriak? Luna nggak budeg, Bu," rengek gue.
"Ya habisnya kamu dibangunkan pelan, nggak bangun-bangun."
Gue beranjak dari tempat tidur ternyaman ini, meninggalkan Ibu yang duduk di ujung kasur.
"Mau ke mana? Ibu mau bicara sebentar."
"Mau pipis, Bu. Udah kebelet." Gue tetap berlalu meninggalkan Ibu, daripada gue pipis di celana, kan gak elit banget.
Gue berjalan keluar kamar, sayup-sayup gue mendengar suara ramai banget di ruang tamu. Tapi bodoh amat, gue udah kebelet banget. Gue pun berlari kecil menuju kamar mandi. Dan ...,
'Bruk!'
"Aduh!" Gue menjerit karena sekarang kepala gue rasanya sakit banget akibat membentur badan di depan gue saat ini.
"Loh, Pak Byan? Bapak ngapain di rumah saya?"
"Tunggu, tunggu Pak. Saya sudah kebelet banget." lanjut gue dan langsung berlalu masuk ke dalam kamar mandi.
Setelah selesai dengan urusan kamar mandi, gue langsung berjalan menuju ruang tengah untuk mencari Pak Byan. Di sana ada Abang gue yang lagi asyik duduk di sofa sambil main game.
"Bang, lihat Dosen gue nggak? Dia pakai kemeja hitam dan celana bahan warna cream tadi."
"Itu dosen lo?" tanya abang gue dengan wajah yang masih menatap layar handphonenya.
"Hmm, kenapa? Lo tau dia di mana?"
"Mampus lo, Luna. Hahaha."
Apaan dah nggak jelas banget ini Abang gue. Untung ganteng lo.
"Bang serius, gue tanya dia di mana? Gue bingung kok dia bisa di sini."
Geram banget gue sama Abang gue ini, tinggal jawab aja di mana kan gampang Ferguso!
"Di ruang tamu," sahut Bang Varo akhirnya menjawab.
Gue langsung bergegas menuju ruang tamu. Tapi tunggu dulu, kenapa ada banyak orang? Dan ... Nenek? Jangan bilang hari ini adalah hari pertemuan dua keluarga yang katanya besok. Kenapa ada Pak Byan?
"Luna, mari duduk sini," ujar Nenek menyuruh gue duduk di samping beliau.
"Kamu sudah tahu 'kan tentang perjodohan kamu dengan Byantara?" Nenek membuka suara.
Gue hampir pingsan di tempat saat mendengar gue akan dijodohkan dengan siapa.
"H..hah! Pak Byan?" ucap gue dengan mulut terbuka lebar.
"Luna nggak mau dijodohkan, Nek!" gue langsung berlari meninggalkan mereka semua dan menuju kamar.
Di dalam kamar gue menangis sejadi-jadinya. Mendengar akan dijodohkan saja gue sudah nggak sanggup ditambah pula calonnya adalah dosen gue sendiri, Byantara Adhitama Wijaya. Nenek nggak mikir apa jodohin gue sama duda? dan sekalipun nggak duda gue juga nggak mau dijodohkan.
'Brak!'
Seseorang membuka pintu dengan kasar.
"Luna, Nenek kumat! Sekarang mau dibawa ke rumah sakit!" teriak Bang Varo di daun pintu.
Gue langsung mengusap air mata yang mengalir di pipi dan berlari keluar kamar. Nenek gue digendong oleh Ayah menuju mobil. Semuanya terlihat sangat panik tidak terkecuali gue sendiri.
"Bu, Nenek gimana?" Tanya gue sambil menangis.
"Kamu tenang ya, tunggu di rumah. Ibu ke rumah sakit dulu."
"Bu, Luna mau ikut!" Namun Ibu sudah masuk ke dalam mobil dan mobil melaju dengan kencang.
"Kamu dan Abang kamu bisa ikut di mobil saya." Pak Byan menawarkan. Dan gue pun langsung menyetujui.
Sepanjang jalan menuju rumah sakit gue hanya menangis dengan sesegukan. Yang tadinya gue nangis karena mau dijodohkan sekarang berganti nangis karena khawatir sama Nenek gue. Gimana pun juga, gue sayang banget sama beliau.
"Bang, Nenek nggak kenapa-napa, kan?" tanya gue pada Bang Varo yang duduk di samping Pak Byan.
"Lo tenang aja, ya. Nenek pasti akan baik-baik aja. Sekarang lo berhenti menangis. Oke?" sahut Bang Varo seraya menatap ke belakang, ke arah gue.
---
Sesampainya di rumah sakit, gue melihat Nenek yang terbaring lesu di sana, juga beberapa pasang alat yang terpasang di tubuh kurusnya. Semua orang di ruangan ini memasang raut wajah cemas, sedih, dan takut. Jangan tanya perasaan gue gimana? Kalau sampai Nenek kenapa-napa seumur hidup gue akan menyalahkan diri sendiri. Karena sudah menolak perjodohan yang di inginkan oleh nenek.
Gue menarik napas dalam-dalam dan perlahan gue hembuskan. Kemudian gue berjalan ke samping Ibu yang berada di sebelah Ayah.
"Bu, Luna menerima untuk dijodohkan dengan Pak Byan."
"Pak, saya bersedia menjadi Istri bapak." Gue menatap Pak Byan yang berdiri di samping Bang Varo.