BAB 5 - BYAN

1069 Words
BYAN POV. Saat ini gue berada di sebuah restoran bintang lima bersama ketiga orang kesayangan gue, beberapa hidangan lezat dan minuman sudah nangkring manis di atas meja, menunggu untuk disantap oleh tuannya. Tapi gue merasa seakan menjadi tersangka yang akan di eksekusi mati malam ini, karena sedari tadi Oma hanya menatap gue dengan raut wajah serius tanpa berbicara barang sepatah kata pun. Hening ..., "Byantara, pokoknya Oma mau kamu menurut saja kali ini!" ujarnya membuka suara setelah lama menatap gue dengan mata elangnya itu. Gue menghela nafas pelan. "Oma, tolonglah kalau mau jodohin Byan jangan sama anak kecil. Okelah Byan terima dijodohkan asal jangan sama anak kecil. Hm?" Oma lantas tertawa dengan lantang, spontan membuat gue kaget. Ralat, semua yang ada di ruangan ini juga ikut kaget. "Anak kecil kamu bilang? Coba nanti kamu nikahin, kalau dia hamil apa bisa disebut anak kecil?" Parah sih! sahutan Oma sarkas banget, gue jadi ragu ini Oma gue apa bukan. "Oma! Dia baru sembilan belas tahun, ditambah dia mahasiswa nya Byan." "Tambah bagus kalau begitu," sahut Oma percaya diri. "Berarti kamu sudah tahu yang mana Luna, kan? Gimana menurut kamu? Cantik bukan?" lanjutnya lagi. Gue menarik nafas sedalam mungkin, mencoba mengendalikan emosi yang sedari tadi hendak keluar. Kenapa Oma gue bersikeras sekali dengan perjodohan ini, kenapa? "Ya sudahlah Oma. Byan terima, Byan akan nikahi Luna. Sekarang Oma puas?" Sekali lagi Oma tertawa lantang."Belum, sampai Oma menggendong cicit dari kamu. Hahahaha." Astaga! Gue gak habis pikir bisa-bisanya ini orangtua ngomong begituan di tempat seperti ini. Jangan tanya apa yang dilakukan kedua orangtua gue itu di sini, mereka sangat menikmati hidangan yang disediakan tanpa peduli perasaan anaknya ini. Mereka berdua juga sangat mendukung pasal perjodohan gue dengan Luna. "Malam ini Byan gak tidur di rumah Oma, Byan mau tidur di rumah Byan. Sudah lama nggak pulang ke sana." Gue membuka suara lagi. Oma dan orangtua gue mengangguk bersamaan. "Oke," sahut mereka. *** Setelah menempuh perjalan hampir tiga puluh menit, akhirnya gue sampai di rumah. Sebenarnya gue sudah punya rumah sendiri, gue beli rumah ini setelah bercerai dengan Leony. Tapi gue sering disuruh tidur di rumah Oma, karena katanya daripada sendirian di rumah yang besar ini. Gue mendudukkan diri di atas sofa, sudah lama gue nggak merasakan momen sunyi seperti ini. Karena akhir-akhir ini yang gue sering dengar adalah ocehan Oma tentang perjodohan. Berkali-kali gue mengusap wajah tampan yang gue miliki. Narsis? enggak, memang begitu faktanya. Hehe. Kemudian gue beranjak dari sofa dan berdiri di depan lemari kaca yang ada di samping. "Gue ? Nikah sama anak kecil?" Gue bermonolog sendiri. *** Hari ini gue mengajar kelas pagi, seperti yang biasa gue lakukan selama ini kalau gue sudah berada dalam kelas gue akan mengunci pintu, yang artinya gue nggak akan menerima mahasiswa yang telat masuk apapun alasannya. Sesaat gue akan menutup pintu, dari jauh gue melihat Luna yang berlari menuju arah kelas, namun prinsip tetaplah prinsip, gue langsung menutup dan mengunci pintu kelas. Pikiran gue masih terganggu hari ini, jadi gue merasa menyampaikan materi pun nggak begitu fokus. "Kelas pagi ini sampai di sini saja, saya minta maaf untuk satu jam ke depan tidak bisa memberikan materi karena ada urusan mendadak," ucap gue mengakhiri kelas. "Tolong tugas yang saya berikan kemarin kumpulkan terlebih dahulu." Dan para mahasiswa satu persatu mengumpulkan tugasnya masing-masing di atas meja. --- Sekali lagi, gue melamun. Menatap kosong layar laptop di hadapan gue. Tok! Tok! Tok! "Permisi, Pak." sapa seseorang. Gue memandang ke arah sumber suara, ternyata Luna. "Maaf Pak, saya mau menyerahkan tugas yang Bapak berikan kemarin," ucapnya lagi. Gue sengaja mengabaikan Luna, karena gue lagi nggak mood, juga karena malas berurusan dengan siapapun. "Pak?" panggilnya lagi. "Letakkan saja di sana," sahut gue singkat. Luna langsung meletakkan tugasnya ke atas meja, lalu berbalik keluar ruangan. "Luna...." Gila ini mulut kali ya, main panggil-panggil aja. "I..iya, Pak?" sahut Luna. "Kelas kamu selesai jam berapa?" Wah emang bener-benar sudah gila nih mulut. Awas aja nanti gue tonjok lo! Nggak deng bercanda, gini juga 'kan mulut gue sendiri. "Jam dua, Pak." "Nanti pulang sama saya, hm?" Astaga Byantara apa yang sedang coba kau lakukan. "H..hah? M..maksudnya Pak?" sahut Luna gelagapan, mungkin dia kaget. Sama gue juga kaget. "Nanti kamu pulang sama saya, saya antar." Sumpah dah gue nggak bisa kendalikan nih mulut. "Nggak usah repot-repot Pak, saya bisa pulang sendiri." Tolak Luna. "Pokoknya saya tunggu nanti di parkiran, kamu tahu 'kan mobil saya yang mana?" "Iya Pak," sahut Luna kemudian pergi Brak! Gue pukul meja yang nggak bersalah sama sekali, berulang kali gue mengusap-usap wajah gue yang terasa sangat panas, sebenarnya gue ini kenapa? Kembali gue mencoba mengatur nafas yang sedari tadi tidak beraturan, menariknya dalam kemudian menghembuskan. Gue lakukan itu berulang kali. "Oke, Byantara ... keep calm." Drrttt... Sebuah panggilan masuk dari Oma. "Halo, ada apa Oma?" tanya gue to the point. "Byan, nanti sore pastikan jangan pulang telat hm? Kita ke rumah Luna." "Hm, iya iya Oma." Tut Tut .... Panggilan singkat yang menambah rasa pening di kepala gue. *** Hampir sepuluh menit gue menunggu Luna di mobil, awas saja kalau dia sengaja nggak datang. Gue sudah malu-maluin diri sendiri karena menawarkan diri untuk mengantarnya pulang, kalau dia nggak datang mau dikemanakan muka gue yang ganteng. Dari jauh gue melihat Luna yang tengok sana sini, gelagatnya seperti orang yang sedang main petak umpet. Ck, dasar bocah! "Huh, aman," ujarnya saat masuk ke dalam mobil. Gue mengerutkan kening heran. "Kamu kenapa?" tanya gue, serius ini bukan basa-basi karena gue beneran penasaran. Luna menggeleng."Nggak apa-apa, Pak," ujarnya tersenyum. "Gila, cantik juga kalau dia senyum." batin gue. Tunggu, tunggu! Gue bilang apa tadi? Luna cantik? Lah emang beneran dia cantik kok, serius gue. Gue langsung tancap gas meninggalkan kampus, suasana di sini canggung banget. Tuh bocah diem-diem aja dari tadi. Gue sendiri pun bingung harus ngomong apaan. Hening ..., "Luna Emalia Jasmin, jadi istri saya hm?" ucap gue tiba-tiba. Sebenarnya ucapan gue ini hanya ingin mencairkan suasana saja biar nggak canggung amat. Seperkian menit masih belum ada jawaban dari cewek di samping gue ini, langsung dah gue menoleh ke samping kali aja dia pingsan karena tiba-tiba gue minta dia jadi Istri gue. Dan ekspresinya membuat gue pengin ketawa, kali ini bukan ekspresi salah tingkah melainkan syok. "Pak, bercandanya nggak lucu." Jawaban macam apa ini? "Saya serius, Luna. Saya ingin kamu jadi Istri saya," sahut gue lagi. Dan lagi ekspresi wajah Luna menggelitik perut gue, wajahnya seketika menjadi merah padam hampir mirip udang rebus, hahaha.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD