BAB 15 - BYAN

1232 Words
BYAN POV. Gue sama sekali nggak menyangka jika tamu undangan akan sebanyak ini. Gue pikir karena resepsi ini berlangsung secara privat, maka tamu undangan akan terbatas. Satu pun dari tamu undangan ini nggak ada temen-temen gue. Hanya beberapa kerabat yang gue kenal, sisanya adalah rekan bisnis Oma dan tamu dari keluarga Luna. Pernikahan gue sama Luna nggak pakai panggung dekorasi, karena kita yang akan nyamperin tamu satu persatu di meja mereka. Pernikahan kita juga berlangsung di ruang terbuka dan di pinggir laut pastinya. Sebenarnya gue capek karena harus nyamperin mereka satu per satu, belum lagi gue harus ngucapin terima kasih dan menjawab ucapan dari mereka, rasanya mulut gue pegal banget. Pernikahan gue yang kedua ini terbilang sangat mengesankan. Karena acara ini di dalangi oleh Oma dan orangtua gue. Mereka mengatur segitu epic-nya, dari gaun yang dikenakan Luna, iringan musik akustik yang suara vocalisnya aduhai banget, sampai tanah lapang yang disulap dengan dekorasi penuh bunga, berasa jadi taman bunga dah ini tempat. Sedari tadi yang gue dengar hanyalah pujian dari tamu yang mengatakan Luna sangat cantik. Gue akui Luna memang cantik, cantik banget malah. Senyumnya juga bikin adem, tulus gitu. Tapi sejauh ini dia enggak pernah senyum setulus itu sama gue. "Mas, kaki Luna sakit." Rengeknya dengan wajah memelas sambil Luna langsung mengambil posisi untuk duduk. Luna melepas sepatu hak tingginya lalu mengecek kakinya, ternyata kakinya melepuh. Pantas saja dia kesakitan. "Jangan dipakai lagi. Nanti kaki kamu tambah luka." Usul gue. Luna menggeleng pelan. "Kalau dilepas nanti Luna kelihatan pendek banget," sahutnya pelan. Sontak gue tertawa mendengar hal itu, benar juga apa yang dia katakan. Perbedaan tinggi kami lumayan jauh, Luna yang hanya memiliki tinggi badan 150 cm jika dibandingkan dengan gue yang 180 cm ini dia bakalan kelihatan kayak anak kecil. "Dasar jahat." dengkusnya dengan bibir manyun. "Loh? Kok jahat?" Tanya gue heran. Gue kagak ngapa-ngapain lo bocah! Main ngatain gue jahat aja. "Udah lah. Bete Luna sama Mas Byan," sahutnya kemudian beranjak tanpa alas kaki. Dia nyeker kayak bebek, hahaha. "Sayang. Tungguin Mas!" Gue sengaja teriak dan manggil dia sayang, biar dia tambah kesal. Dan benar, dia langsung berhenti kemudian membalikkan badan dengan wajah kesal lalu kembali berbalik meninggalkan gue. Benar-benar mirip bebek dia sekarang, hahaha. Gue terkekeh karena sukses mengerjai itu bocah. "Kenapa Mas? Ada yang lucu ya?" Tanya Varo yang tiba-tiba ada di samping gue dengan wajah kebingungan. "Itu si Luna. Dia kesal sama Mas karena Mas panggil dia sayang," sahut gue dengan sedikit kekehan. "Emang dasar tu bocah. Maklum lah Mas, Luna kagak pernah pacaran sekali pun. Mungkin dia malu dipanggil begitu," sahut Varo ikut terkekeh. Di tempat gue berdiri bersama Varo, gue memperhatikan Luna yang menghampiri para tamu dengan senyum paling manisnya. Entah sudah yang ke berapa kali gue mengakui kalau sebenarnya dia itu cantik, mata gue nggak bosan-bosannya memandangi muka Luna. "Mas Byan." suara Varo tiba-tiba menginterupsi gue. Dan gue langsung salah tingkah sendiri. "Mas mau nyamperin Luna dulu ya." pamit gue lalu membuka langkah menyusul Luna. Sepanjang langkah gue merutuki diri gue sendiri, bisa-bisanya gue memandang kagum Luna kayak orang bego dihadapan abangnya sendiri. Mau taruh dimana muka gue kalau Varo ngasih tahu Luna tentang itu. Sial! Sesampainya gue di samping Luna yang berdiri di hadapan para tamu, gue lihat muka tuh bocah keringetan banget. Mungkin karena faktor hari yang sudah mulai terik, tapi nggak keringetan segitunya juga kali. Kayak orang habis senam poco-poco aja. "Mas." panggil Luna lirih. Gawat nih dari suaranya aja udah lesu gitu, jangan bilang lo mau pingsan bocah! Dengan sigap gue langsung mendekap Luna, mengiringnya untuk duduk di tempat teduh. "Kamu kenapa lagi?" tanya gue sembari berjongkok di hadapannya. "Pusing," sahutnya dengan mata tertutup dan tangannya memijit kening dengan pelan. Gue raih tangannya sambil tangan kiri gue mengusap lembut pipinya, gue nggak tahu apa yang gue pikirkan sekarang karena melakukan itu. Yang jelas gue kasihan sama Luna karena akhir-akhir ini sistem imunnya nggak bagus. "Mau makan? Atau minum? Biar Mas ambilkan." "Luna mau air mineral. Sama makan juga." Dasar pecinta air mineral, maunya minum air mineral mulu. Di saat kayak gini aja air mineral juga yang di cari. Lama-lama gue panggil ratu air mineral juga nih bocah. "Two minutes, ok? Tunggu di sini jangan kemana-mana." Gue pun langsung beranjak menuju meja prasmanan. Sesampainya gue di meja prasmanan, di sana tersedia berbagai macam lauk pauk dan kawan-kawannya, gue bingung Luna suka makan apa diantara semua menu yang tersedia. Dan gue memutuskan pilih jalan terakhir yaitu mengambil setiap menu yang ada. Hasilnya piring yang gue bawa penuh dengan makanan macam porsi makan kuli yang kelaparan habis kerja. "Astaga Byantara, sejak kapan kamu makan banyak sekali?" tanya Bunda yang langsung menghampiri karena gue mengambil makanan segitu banyak. "Bukan Byan yang makan. Tapi Luna," sahut gue. Mendengar jawaban gue, Bunda langsung mengangkat kedua alisnya sambil bola matanya terbuka sempurna. "Istri kamu makannya banyak juga ya." bisik Bunda sembari mencubit pelan lengan gue. Apa-apaan dah main cubit aja. "Ya sudah, Bun. Byan nyamperin Luna dulu. Ntar dia nangis." "Kok nangis?" tanya Bunda dengan wajah polos padahal kan gue cuman bercanda. "Nangis karena kelaparan," sahut gue tertawa. --- "ASTAGA! INI SEMUA SIAPA YANG MAKAN NANTI?" teriak Luna histeris melihat piring yang gue bawa. "Ya kamu, lah. Siapa lagi?" sahut gue. "Luna makan nggak sebanyak itu! Ambil secukupnya aja kan bisa?" ujarnya sembari tangannya meraih piring yang ada di tangan gue. "Bantu Luna habisin ini. Mas Byan juga belum makan 'kan?" lanjutnya lagi. Jangan bilang dia mau kita makan sepiring berdua? "Nih ...." Luna menyodorkan sendok. Kan bener apa kata gue, dia mau kita makan sepiring berdua mana disuapin lagi. Berasa anak TK gue makan pakai disuapin segala. Dan parahnya gue mau-mau aja disuapin sama Luna. Emang dah akhir-akhir ini gue aneh banget. Hati sama tindakan gue bertolak belakang banget. "WADAW! Jomblo menangis melihat ini." suara itu lagi. Siapa lagi kalau bukan Varo. Nih anak udah kayak Jailangkung aja dari tadi. Selalu muncul tiba-tiba. Luna memandang remeh Varo sambil tangannya tetap menyuapi gue makanan, "Makanya pergi dari sini, ntar lo kejang-kejang melihat keuwuan gue sama Mas Byan. Dan cari pacar makanya. Jomblo kok di pelihara!" Wah bener-bener dah bini gue, pedes banget ngomongnya. Tuh mulut ada kebun cabe satu hektar kali ya jadi sepedas itu kalau ngomong. Dan gue hanya diam sambil mengunyah makanan mendengar kedua kakak-beradik ini beradu panco. Ralat, adu mulut maksud gue. "Mentang-mentang udah kawin ya lo sekarang. Jadi berani sama gue. Awas ya lo!" "Mentang-mentang udah kawin ya lo sekarang jadi berani sama gue." cibir Luna mengikuti ucapan Varo. ASTAGA! Gak habis pikir gue sama mereka, apalagi sama Luna. "Males lah gue sama lo. Mending gue pergi dari sini." "Mas, Varo ke sana dulu. Enek liat muka Istri Mas." lanjutnya lagi kemudian berlalu. "Mirip Tom and Jerry ya kalian berdua kalau ketemu," ucap gue. Luna menghela nafasnya kasar, "Bang Varo tuh emang suka gitu. Di rumah Luna sering jadi babu nya dia," sahutnya cemberut. Luna cemberut aja cantik, jadi pengin cium bibirnya lagi. Astaga! Kayaknya gue udah addicted sama nih anak. "Udah cukup. Mas udah kenyang." perut gue berasa mau meledak, gue tipikal orang yang kagak banyak makan. Tapi Luna dari tadi nyuapin mulu dan gue mangap-mangap aja. "Makanannya masih banyak, Mas. Kebuang nanti. Kan sayang mubazir." "Kalo gitu kamu yang makan." "Sama. Luna juga udah kenyang." "Oh iya, Mas lupa kasih tahu. Nanti malam kita dinner berdua. Sebentar lagi acara berakhir, kamu langsung istirahat aja jangan kemana-mana lagi," ucap gue kemudian beranjak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD