“Apakah kamu akan berangkat sekarang?” tanya Weni pada Danius yang sedang bersiap-siap. Ia tahu kalau putranya diundang untuk datang ke pesta ulang tahun salah satu putri di negeri Etanio. Dari yang Danius katakan, perempuan yang masih sempat mengadakan pesta ulang tahun padahal sudah dewasa, sangat dekat dengan Lisa. Maka, Danius sendiri tidak bisa mengalahkan apalagi ia pernah mengenal dekat sosok Finia tanpa sepengetahuannya. Ia justru memaklumi saja karena putranya memang ramah, jadi mudah berteman dengan siapa saja.
Danius menoleh kemudian mengangguk. “Aku akan berangkat setelah membungkus hadiah. Aku tidak tahu apakah Finia akan menyukainya atau tidak tetapi atas saran ayah, aku bisa memberikan itu untuknya.” Danius sempat bimbang untuk menentukan hadiah ulang tahun dan kebetulan tidak sengaja ayahnya ingin mengetahui keresahan yang ia alami. Maka, ia pun menceritakan tentang Finia yang mengadakan pesta lalu sang ayah memberikan saran untuk hadiah ulang tahun. Tidak terlalu buruk atau mewah, setidaknya pantas untuk digunakan oleh perempuan yang masih muda.
Saking penasaran dengan hadiah yang dipikirkan oleh sang suami agar bisa putranya bawa untuk seseorang bernama Finia itu, Weni mendekati ranjang karena hadiahnya memang ditaruh di sana. Ia seketika membelalakkan mata, ia tidak tahu apa yang ada di pikiran suaminya tetapi ini jelas berlebihan. “Kamu akan memberikan dia satu set perhiasan? Ini sangat keterlaluan! Kamu bisa memberikan buku atau apa pun tetapi tidak perhiasan. Aku tidak setuju!” Weni mengambil satu set perhiasan yang sangat tidak cocok untuk diberikan kepada Finia yang hanya rakyat biasa. “Jika Lisa yang ulang tahun dan kamu ingin memberikan, tentu tidak masalah. Jangan lupakan Gabriel, aku juga berhutang banyak pada orang tuanya sehingga kamu bisa memberikan perhiasan.”
Tidak menyangka kalau tanggapan ibunya akan seperti itu, Danius mendekati sang ibu dan memegang kedua bahunya. “Aku harus datang tepat waktu, Ibu. Aku tidak sempat untuk menyiapkan hadiah yang lain, jadi izinkan aku membawa satu set perhiasan ini untuk dijadikan hadiah ulang tahun.” Danius memohon pada ibunya agar ia tidak datang telat. “Aku tahu Ibu tidak mengenal Finia sebaik Gabriel dan Lisa tetapi aku ingin Ibu mempercayaiku. Finia memang rakyat biasa, tetapi bukan berarti kita harus memperlakukannya dengan buruk, bukan?”
Putranya seperti masih tidak mengerti dengan apa yang Weni katakan. Ia melepaskan tangan Danius dari kedua bahunya karena tidak seharusnya Danius melakukan hal semacam itu. “Aku memang tidak mengenal Finia dengan baik sepertimu. Akan tetapi, kamu harus bisa menempatkan dirimu berada di posisi yang mana. Hari ini, kamu bisa memberikan Finia satu set perhiasan, tahun depan apa yang akan kamu berikan apabila dia mengadakan pesta lagi? Apakah gaun? Kamu harus memulai dari sesuatu yang kecil dan dibutuhkan. Aku akan menyiapkan hadiah untukmu, jadi kamu lanjutkan saja merias dirimu. Hadiahnya akan aku taruh di meja dekat pintu.” Tanpa berharap putranya akan menjawab, Weni sudah lebih dulu melangkah meninggalkan kamar Danius.
Jika Weni sudah membuat keputusan, tidak ada yang bisa Danius lakukan lagi. Ia menatap kepergian ibunya dengan napas lelah. Ia sebaiknya kembali merias diri agar tampil dengan baik menuju pesta ulang tahun Finia. Ia memandangi pantulan dirinya di cermin kemudian menyisir rambutnya dengan rapi sebelum mengenakan jas. Untuk datang ke pesta ulang tahun Finia, Danius menyempatkan waktu tiga puluh menit untuk memilih pakaian karena ia akan datang tanpa kemewahan. Untung saja, ia masih menyimpan pakaian sederhana sehingga ketika sampai di pesta, kehadirannya tidak mencolok. Ia melangkah keluar kamar untuk menemui ibunya, ia takut Weni menyalakan hadiah yang diluar dugaannya. Ia mendengar samar-samar suara orang tuanya saat mendekati ruangan singgasana.
“Kenapa kamu sangat marah padaku? Aku hanya memberikan saran pada Danius dan aku pikir satu set perhiasan yang diberikan, tidak akan memengaruhi apa pun. Danius bilang, dia sudah berteman lama dengan Finia, jadi biarkan saja.” Rados menatap istrinya yang sudah mengamuk sedari tadi. Ia tidak tahu kalau tanggapan Weni akan hadiah satu set perhiasan menjadi tidak terkendali bahkan mengomelinya tadi. Ia menatap pada Danius yang baru memasuki ruangan, putranya terlihat sangat tampan dan berwibawa.
Weni menoleh dan ikut memandang ke arah yang sama dengan Rados tetapi ia tidak peduli dengan kehadiran putra semata wayang mereka. “Sudah, pokoknya aku tidak setuju. Aku tidak rela Danius membawa hadiah satu set perhiasan. Aku akan menyiapkan hadiah sendiri dan tentu akan lebih baik daripada saran hadiah darimu.” Langkah Weni terhenti karena sang suami menarik lengannya dan membuatnya duduk di pangkuan Rados. Ia memutar bola mata malas karena tahu kalau suaminya akan membujuk ia agar setuju.
“Kamu lihat, Danius sudah rapi dan siap untuk berangkat.” Rados menyuruh Weni untuk memerhatikan putra mereka yang tampan. “Jika kamu mencari hadiah sekarang, itu akan memakan waktu yang lama dan dia bisa datang telat. Kamu harus tahu, meskipun negeri Etanio bersebelahan dengan Terate, perjalanannya tidak bisa dibilang dekat. Sebaiknya, kamu memberikan hadiah itu untuk dibungkus sendiri oleh Danius. Berikan saja, harta kita tidak akan berkurang.” Rados memekik karena Weni mencubit pahanya lalu bangun dari pangkuan.
“Sekali aku mengatakan tidak setuju, aku tidak akan pernah membiarkan Danius membawa hadiah ini,” ujar Weni dengan tegas lalu menatap putranya yang berdiri memerhatikan. “Aku memahami kalau kamu sudah berteman dengan Finia dari dulu tetapi aku bahkan tidak mengenalnya dengan baik sehingga aku tidak mengizinkan kamu menegakkan hadiah yang berharga ini. Memang, harta tidak akan habis tetapi aku tetap tidak mau kamu memberikan satu set perhiasan kepada perempuan yang tidak aku kenal keluarganya. Aku akan membungkus hadiah untukmu, tidak akan lama.”
Rados mengangkat bahu sambil menatap Danius. “Aku tidak tahu apa yang akan ibumu berikan pada Finia tetapi pasti hadiahnya akan biasa saja. Ibumu agak sulit untuk dibujuk jika dia memang tidak ingin memberikan padahal satu set perhiasan sangat berharga bagi perempuan dan juga hubunganmu dengan Finia bisa semakin akrab sehingga dia bisa membantu apabila pernikahanmu dan Lisa akan dilangsungkan. Ibumu tidak berpikir sampai sana. Baginya, rakyat biasa harus diberikan hadiah yang biasa juga kecuali mengenal dekat.” Meski sudah menjalin rumah tangga puluhan tahun, Rados masih tidak bisa mengubah sikap istrinya yang seperti itu.
Danius tersenyum. “Aku tidak masalah apabila ibu memang tidak setuju dengan hadiahnya tetapi yang aku takutkan, dia akan memberikan hadiah yang diluar dugaanku. Aku tidak ingin ibu menyiapkan hadiah yang bagiku itu sangat buruk.” Danius memang tidak pernah menceritakan pertemanannya dengan Finia, mungkin ini salahnya sehingga sang ibu bersikap agar ia memperlakukan dengan biasa saja. Ia sendiri juga sudah punya calon istri tetapi pertemanan memang harus diperjuangkan kadang-kadang selama tidak ada pengkhianatan.
“Kamu tidak usah khawatir mengenai hal itu. Walaupun ibumu tidak ingin memberikan hadiah satu set perhiasan, pasti dia akan memberikan hadiah yang terbaik. Dia tahu kalau kamu pangeran dari istana jadi tidak mungkin menyiapkan sesuatu yang buruk. Sebaiknya kamu menyusul ibumu agar kamu tahu hadiah apa yang telah dia siapkan.” Rados mengenal istrinya dengan baik, jadi ia yakin sekali Weni akan memberikan hadiah yang bagus. Hanya saja, ia tidak bisa menebak hadiah apa yang mungkin akan istrinya berikan.
“Baiklah, kalau begitu.” Danius meninggalkan Rados sendirian di ruangan singgasana. Sementara ia berjalan menuju kamar orang tuanya karena pasti sang ibu akan membungkus di sana tetapi ia langkahnya berhenti saat Weni datang dari arah yang berbeda dengan membawa hadiah yang sangat kecil. Ia menatap hadiah yang ibunya berikan dengan senyuman. Ia tidak tahu ibunya memberikan hadiah apa pada Finia. Ia tidak yakin kalau ini hadiah yang bagus.
Menyadari kalau putranya kebingungan dengan hadiah yang berukuran kecil, Weni menggelengkan kepala. “Kamu jangan menilai kotak dari besaran bentuknya. Kotak ini berharga dan aku yakin sekali kalau temanmu akan menyukainya. Jadi, kamu sebaiknya berangkat sekarang.” Weni menarik tangan Danius kemudian mendorong tubuhnya untuk keluar dari istana. Ia sudah menyiapkan hadiah yang pasti tidak akan Danius sesali saat memberikan dan ketika dibuka pun akan menjadi kejutan yang luar biasa. Ia melambaikan tangan pada Danius yang sudah menuruni anak tangga sebelum melangkahkan kaki masuk.
Masih menatap hadiah kecil yang dibawanya, Danius mungkin harus mempercayai ibunya. Ia pun memasukkan hadiah kecil itu ke tas tali tarik yang terpasang di kuda. “Terima kasih, aku akan berangkat sekarang.” Danius membicarakan prajurit menunduk kemudian kembali mengerjakan tugasnya, ia memang biasa hanya menyuruh untuk mengeluarkan kuda apabila ia ingin bepergian. Ia menaiki kuda dengan mudahnya kemudian langsung mengendarainya dengan kecepatan sedang meninggalkan istana yang megah.
Suasanya malam hari yang sepi dengan jalanan yang licin akibat hujan deras, menguat Danius harus ekstra berhati-hati. Ia menyalakan lampu kecil yang dibawa untuk penentangan karena ketika ia sudah melewati wilayah Terate maka dibutuhkan cahaya untuk bisa menuju negeri Etanio karena akan memasuki jalanan yang dipenuhi dengan pohon rindang yang gelap. Ia melajukan kudanya dengan cepat ketika tahu jalakan yang dilewati tidak licin, ini juga agar ia bisa sampai ke rumah Finia. Ia membelokkan kudanya karena sudah sampai di wilayah Etanio dan menunduk pada prajurit yang berjaga. Masih mengendarai kuda dengan kecepatan cepat, ia berhasil sampai di rumah Finia yang sudah dihias dengan cantik. Ia turun dari kuda, mengambil hadiah sebelum ada seseorang yang membantu untuk memarkirkan kudanya.
Tanpa ragu, Danius masuk ke pesta yang meriah karena sudah ada banyak orang yang berdatangan. Ia tidak cukup mengenal orang-orang yang ada di sekitarnya sehingga mencari keberadaan Lisa dan Gabriel tetapi tidak ditentukan. Ia tidak sengaja menyenggol seseorang, jadi ia pun menunduk minta maaf meskipun orang itu sepertinya tidak mempermasalahkan. Ia berjalan semakin memasuki ruangan pesta dan menoleh saat ada tangan yang menepuk pundaknya. “Finia?” Danius mengikuti langkah Finia yang menggenggam tangannya. Ia tidak tahu Finia akan membawanya ke mana tetapi ia sendiri tahu kalau mereka menjauhi ruangan pesta dan keluar dari pintu samping.
“Ada yang ingin aku bicarakan padamu,” kata Finia tanpa ragu. Ia sedari tadi memang mencari keberadaan Danius karena ia sangat berharap putra negeri Terate akan datang ke pesta ulang tahunnya sehingga ia bisa membicarakan hal yang seharusnya Danius tahu tentang dirinya. Sebelum pesta dimulai, ia ingin Danius menyadari apa yang ia rasakan selama ini. Ia tidak bisa menahan untuk tetap menyembunyikan sebab sampai kapan pun ia tidak akan menentukan jawaban tanpa bicara dengan jujur. Ia menatap Danius dengan lekat karena begitu mengagumi wajahnya yang rupawan.
Danius mengerutkan kening heran karena biasanya Finia akan langsung bicara. “Katakan saja, tetapi aku ingin memberikan hadiah ini padamu. Aku tidak tahu kamu akan menyukainya atau tidak, itu pilihan dari ibuku.” Danius memberikan hadiah kecil pada Finia dan tak menyangka kalau Finia akan membukanya sekarang. Maka, ia harap-harap cemas tetapi bernapas lega karena ternyata ibunya memberikan jepit rambut yang sangat manis. Pasti cocok sekali apabila dipakai oleh Finia, ia tidak tahu sang ibu bisa mendapatkan ide dari mana. Ia merasa hadiah yang dibawanya tidak buruk karena Finia seperti menyukainya dan memakainya saat itu juga.
“Sangat cantik. Terima kasih.” Finia menyadari kalau Danius memang sangat baik dan meskipun hadiah ini dipilihkan oleh ibunya, sudah pasti ada campur tangan Danius, jadi ia akan menyebut jepit rambut warna hijau berbentuk daun merupakan pemberian putra negeri Terate. “Kalau begitu, aku akan mengatakannya padamu.” Finia menggenggam tangan Danius karena ingin agar Danius merasakan apa yang dirasakannya. “Aku menyukaimu dari dulu dan aku ingin kamu menjalin hubungan denganku. Jika kamu menerima perasaanku, aku akan memberi tahu pada tamu undangan kalau kamu sekarang kekasihku. Apakah kamu mau?” ucap Finia dengan lantang.
Tidak menduga kalau Finia akan mengutarakan perasaan padanya, Danius melepaskan genggaman tangan Finia dan beralih memegang kedua bahunya. “Aku menghargai perasaanmu padaku tetapi aku sudah punya calon istri sehingga aku tidak bisa menerima perasaanmu. Aku harap kamu mengerti.” Danius sebenarnya tidak tega pada Finia tetapi ia tidak punya pilihan selain menolaknya. “Sebaiknya kamu melangsungkan pesta agar ...,” ucapan Danius terhenti karena Finia memeluk tubuhnya. “Maafkan aku, Finia.”