01: LISA CASSIOPETTE
Jendela kayu terbuka lebar, menampilkan sosok wanita berambut panjang hitam legam dengan senyum yang merekah. Wanita itu bernama Lisa Cassiopette, ia terlihat menatap ke arah bawah, mengamati tanaman bunga anggrek yang sudah ia rawat selama bertahun-tahun. Ia kemudian memutar tubuh sambil mendekati lemari pakaian yang terletak di ujung ruangan. Tangan lembutnya perlahan memegang kenop pintu dan membukanya. Ia menatap puluhan gaun yang ada di dalam sana, memilahnya dan mencoba menentukan gaun apa yang cocok untuk ia pakai hari ini.
Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka lebar, dua orang wanita dengan pakaian pelayan warna merah muda masuk. Wanita yang memakai pita ungu, Favia, menaruh nampan berisi roti, s**u, dan potongan buah apel ke meja. Sedangkan, pelayan yang biasa dipanggil Agil membereskan selimut dan bantal agar rapi seperti sedia kala.
“Apa kamu sudah menentukan gaunnya?” tanya seorang wanita yang baru saja datang, ia memakai pewarna bibir semerah darah, dia adalah Savana.
“Belum. Aku masih menentukannya. Menurutmu, aku lebih cocok memakai gaun ini atau ini?” tanya Lisa yang kini memegang dua gaun. Satu gaun berwarna biru tua dengan motif bunga mawar dan satu lagi berwarna hijau muda polos dengan pita di pinggangnya.
“Aku pikir kamu lebih cocok memakai yang warna hijau muda. Itu menurutku,” kata Savana yang sedang mempersiapkan peralatan untuk mendandani wanita yang kini sibuk melihat pantulan dirinya di cermin.
Mendengar nada semangat dari Lisa setelah mencocokkan gaun dan dirinya sendiri, Savana menggelengkan kepala lalu mendekati Lisa untuk segera duduk di kursi. Ia mengambil gaun yang sedari tadi menjadi pilihan Lisa dan memilihkan gaun berwarna cokelat muda dengan model garis.
“Kamu selalu mengubah pilihan gaunku. Aku pikir sebaiknya mulai hari ini kamu saja yang memilihkannya,” protes Lisa sambil menatap wajahnya di cermin.
Savana mencoba mengikat rambut Lisa, ia memutuskan model rambut Lisa hari ini yaitu kucir satu. Ia juga sudah mulai memoleskan riasan pada wajah Lisa yang semakin menambah kecantikannya. Setelah ia merasa sudah cukup dalam merias rambut dan wajah Lisa, kini ia beralih ke kuku Lisa yang tampak indah setelah ia mengecatnya dengan warna jingga muda.
“Kamu sekarang hanya perlu memakai gaun ini,” kata Savana memberikan gaun pilihannya pada Lisa
Tanpa penolakan, Lisa segera mengganti pakaiannya menjadi gaun cokelat muda yang begitu pas di tubuhnya, ia juga bisa melihat pahatan tubuhnya tercetak sempurna saat bercermin. Ia lalu memeluk Savana dengan erat, seakan tak ada yang lebih hebat dari pada wanita itu dalam merias dirinya.
“Aku sangat berterima kasih hari ini. Berkatmu, aku bisa tampil cantik sekarang.”
Savana terkekeh geli saat Lisa memutarkan tubuhnya berkali-kali. “Tanpa riasan, kamu akan tetap cantik Lisa. Jadi, aku pikir kamu tidak boleh sering-sering menyebut dirimu jelek.”
Lisa menatap Savana dengan cemberut. Ia lalu mengambil tas tali tarik yang biasa ia pakai apabila ingin bepergian. Ia menatap makanan yang disediakan dan hanya menyantap s**u kemudian kakinya melangkah keluar dari kamarnya. Ia melewati prajurit yang sedang berjaga, dan mengetahui betapa mereka terlihat menatap penuh puja padanya.
Dua prajurit yang menjaga pintu segera membuka pintu kayu warna hitam setelah melihat kedatangan Lisa. Keduanya rempah terpana sebelum mengalihkan pandangan. Takut-takut dianggap tidak sopan, meski mereka yakin jika Lisa bisa memaklumi mereka. Tapi, tetap saja posisi mereka tidak pantas untuk melakukan hal seperti itu.
Lisa berjalan menuju taman istana yang dipenuhi dengan bunga. Di sana pula ada sungai kecil berair bening, tempat ikan-ikan kecil berkumpul. Ia menoleh ketika menyadari ada orang yang mengikutinya. Seperti biasa, kedua prajurit yang bahkan tidak ingin ia tahu namanya itu, mencoba mengawasi Lisa, salah, lebih tepatnya menemani agar tidak terjadi sesuatu pada dirinya.
Lisa semakin berjalan meninggalkan istana, ia sudah mulai memasuki pemukiman penduduk. Ia dapat melihat para penduduk yang dilewatinya terkagum, tersenyum, bahkan ada pula yang mendadak menyuruh suami mereka masuk ke dalam rumah. Entah apa yang dikawatirkan tetapi yang jelas, tidak ada pria yang bisa menolak kemolekan seorang Lisa.
Lisa masih terus berjalan sambil sesekali memandangi sekitar. Penduduk negeri Etanio terlihat begitu akur dan akrab. Pemandangan yang penuh pohon-pohon dan rumah kayu yang muncul, membuat negeri Etanio terlihat seperti negeri para kurcaci. Tak hanya itu, banyaknya tanaman-tanaman obat yang muncul, membuat negeri Etanio cukup terkenal dibandingkan negeri lain.
“Aku minta maaf.”
Ucapan dengan nada memelas sampai di pendengaran Lisa. Ia segera menoleh dan mendapati seorang pria tengah memarahi nenek tua dan anak kecil yang dapat ia yakini jika mereka tidak sengaja merusak barang dagangan pria itu.
Lisa mencoba menghampiri ketiganya, ia diam-diam mendengarkan ucapan pria yang baginya sangat tidak sopan jika dikatakan kepada orang yang lebih tua darinya seperti nenek itu. Ia lalu merogoh uang logam dari tas tali tariknya dan memberikan pada pria yang tampak terkejut.
“Itu ganti rugi yang kamu inginkan. Biarkan nenek dan anak ini pergi,” ujar Lisa dengan tegas.
Sang nenek memegang tangan Lisa. “Terima kasih banyak. Kami akan membalas budi padamu suatu hari nanti.”
Nenek itu lalu pergi bersama anak kecil yang Lisa yakini adalah cucunya. Anak itu terlihat sangat lucu sekali dengan wajah polos dan juga rambut yang seperti batok kepala.
“Aku ingin meminta maaf. Jujur saja, barang ini sangat berharga tetapi Putri tidak seharusnya ganti rugi sebab ini bukan kesalahan Putri,” kata pria itu sembari menyodorkan uang yang diberikan itu kepada Lisa kembali.
“Paman bisa mengambil uang itu, tetapi aku berharap Paman bisa mengubah sikap Paman agar tetap memaklumi mereka yang tidak sengaja menabrak dan tak bisa membayar ganti rugi.”
Setelah mengucapkan kalimat itu, Lisa segera pergi diikuti oleh kedua prajurit setianya. Ia sudah sampai di dekat pusat negeri. Di sana, ia bisa melihat para penduduk sedang sibuk kerja, entah mengangkat barang atau berjualan. Lisa tersenyum saat seseorang melambaikan tangan padanya, sosok yang berada di lantai dua sebuah pendopo adalah sahabat yang selalu menemaninya
Lisa memberi isyarat mata pada kedua prajurit yang langsung memahami tanpa perlu mengatakan apa pun. Ia lalu berjalan menuju pendopo tua sambil sesekali menyenandungkan lagu. Ketika ia masuk, beberapa orang yang ada di dalam tersenyum padanya, sehingga ia pun membalas senyuman itu tak kalah manis.
Lisa menaiki anak tangga sambil matanya menatap ke arah rak-rak buku yang memang lantai satu pendopo ini dibuat menjadi ruang baca untuk siapa pun yang haus akan bacaan. Ia lalu ikut berdiri sambil menatap ke arah bawah, menikmati pemandangan pusat negeri dari ketinggian yang tak seberapa tetapi mampu membuatnya cukup kagum.
Lisa menghela napas saat dua buah tangan menutup matanya. Ia menikmati semilir angin sambil berusaha mengenal sosok yang kini tengah menjahilinya. Ia lalu tersenyum dan mencoba menjawab, “Gabriel!”
“Bukan. Dia bukan Gabriel.”
Lisa kini meraba tangan yang sedang menutup matanya, ia sangat yakin semua tangan sahabatnya sama halusnya seperti tangan itu. Namun, ia harus mencari tahu, karena jika ia tidak bisa menjawab, ia pasti dikira tidak mengenal salah satu dari wanita-wanita yang selalu hadir memberi keceriaan dalam hidupnya.
“Ah, aku tahu. Aku tahu,” seru Lisa sambil berusaha melepaskan tangan wanita dari matanya. “Finia!” teriak Lisa setelah memutar badannya. Sudah ia duga bahwa jawabannya benar.
Entah mengapa menjawab pertanyaan itu saja membuat hidupnya senang, ia lalu memeluk Finia yang langsung menyambut pelukannya. Ia cukup tersentak saat wanita itu melepaskan pelukannya tiba-tiba. Ternyata Finia memberikan undangan padanya.
“Kamu harus datang ke pesta ulang tahunku, Lis”