02: DANIUS BAHANGKAELA

1181 Words
Danius Bahangkaela terlihat melamun sambil memegangi kudanya. Ia sudah meminta izin untuk tidak datang ke negeri Etanio sebab ia ingin pergi berburu bersama teman-temannya. Tetapi, apa daya ia tidak bisa menolak saat ibunya juga membujuk agar ia ikut mengunjungi negeri Etanio. Mau tidak mau, suka tidak suka, ia tetap menurutinya, sehingga ia menaiki kudanya. Sang ayah, Rados, dan ibunya, Weni, sudah lebih dulu melajukan kuda. Ia masih terdiam, mengamati sekeliling istana yang begitu asri nan indah. Ia tidak heran mengapa selama ini ia lebih suka berada di istana dan sesekali baru pergi. Memang istana di negeri Terate begitu nyaman. Kuda yang dilajukan mereka terus berjalan melewati hutan. Negeri Terate memang cukup terpencil, meski begitu, dari segi perekonomian, negeri ini yang paling subur. Menjajaki langkah demi langkah, kuda yang mereka naiki telah berlari begitu cepat menembus hutan dan terlihatlah tugu besar yang menjadi tanda kehadiran negeri lain yang tak kalah indah dan berseri. Melewati para prajurit yang menjaga di perbatasan, kuda yang mereka tumpangi berjalan perlahan-lahan. Tampak penduduk negeri Etanio sudah mulai melakukan aktivitas di pagi hari dengan cuaca cerah dan matahari yang bersinar terang. Mereka cukup kagum, ketika tahu tidak hanya orang dewasa yang begitu semangat menyambut hari, tetapi juga anak-anak yang terlihat memetik buah-buahan dan sayuran dari kebun mereka sendiri. Danius sudah tertinggal beberapa kilo di belakang orang tuanya. Namun, ia tidak cukup khawatir untuk tersesat karena ia sudah biasa datang ke negeri Etanio. Ia lalu melakukan kudanya memasuki pemukiman penduduk yang lumayan sepi walaupun tetap masih ada penduduk yang lewat. Ia mengamati sekitar sambil mencoba menjadikan semuanya kenangan indah dalam memori otaknya. Sebab, ada kekaguman sendiri saat melihat perilaku mereka yang suka bercanda saat bekerja. Pria dengan surai warna cokelat itu menyipitkan mata. Ia sempat menghentikan kudanya, kala matanya menangkap sosok yang tak asing. Danius bahkan kini mengucek-ucek matanya berusaha melihat dengan jelas. Tentu tidak salah, ia melihat putri Lisa sedang berjalan-jalan di pagi hari. Entah mengapa senyumnya merekah seakan ia baru saja memenangkan lotre. Ada rasa bahagia di dalam dirinya saat mengetahui Lisa begitu bahagia meski harus jalan kaki. Danius diam-diam melajukan kudanya dengan kecepatan pelan, ia tidak ingin Lisa sampai menyadari kehadirannya. Ia tidak ingin tertangkap basah sedang mengaguminya secara sembunyi-sembunyi. Ia lalu menghentikan kudanya sesaat. “Saya tidak mau tahu, kamu telah merusak buyung milik saya. Kamu harus ganti rugi!” geram seorang pria yang memakai pakaian serba cokelat. “Tapi, saya tidak punya uang yang cukup untuk menggantinya. Saya benar-benar minta maaf,” lirih nenek tua dengan pakaian yang compang-camping, di sampingnya berdiri anak kecil berwajah bulat. Pria itu tergelak. “Maaf? Apa Nenek pikir barang ini murah?” Sang nenek terlihat panik, ia menggenggam tangan cucunya semakin erat sambil menundukkan wajah. “Aku minta maaf,” ringisnya. Pria itu masih menampakkan wajah garangnya sebelum kembali berkata, “Aku ingin Nenek mengganti rugi. Buyung ini terbuat dari tanah liat, tidakkah Nenek sadar barangnya sangat mahal. Cepat ganti rugi!” Danius melihat Lisa menghampiri sang nenek, anak kecil dan cucunya. Ia bisa melihat dengan jelas, Lisa mengeluarkan uang logam dan memberikannya pada pria yang sedari tadi marah-marah tidak terima. “Itu ganti rugi yang kamu inginkan. Biarkan nenek dan anak ini pergi,” ujar Lisa dengan tegas. Danius terkejut kala ada orang yang sedang membawa sapi ternak mencoba berjalan di tempat di mana ia kini berada. Ia akhirnya memilih untuk melajukan kudanya untuk menjauh. Ia tidak mendengar apa pun lagi, tetapi apa yang dilakukan Lisa pada hari ini membuatnya semakin menyukai wanita itu. Ia benar-benar memimpikan bisa menikahi wanita yang tidak hanya cantik parasnya tetapi juga hatinya. Jika ia mengungkapkan rasa cintanya, akankah Lisa mau menerimanya? Danius masih terus memerhatikan Lisa tanpa sadar ia telah berada di pusat negeri Etanio yang cukup ramai. Ia masih dapat melihat jelas keberadaan Lisa bersama dua prajurit yang selalu menemaninya. Ia lalu sedikit meminggirkan kudanya kala ada beberapa anak kecil yang berlarian. Mereka terlihat bahagia meski hanya bermain kejar-kejaran. Danius menyadari Lisa memerhatikan seseorang yang ada di sebuah gedung. Ia mengetahui jika wanita yang melambaikan tangan pada Lisa yaitu Gabriel. Meski tidak mengenal dekat, ia cukup tahu tentang Gabriel karena ayahnya merupakan saudagar hewan ternak, di mana ayahnya sering membeli sapi atau kerbau ketika akan diadakan pesta. Mungkin terdengar aneh, karena pastinya di negeri Terate pun ada yang menjual ternak, tetapi sayang sekali, kadang kualitasnya tidak begitu bagus kecuali ayam dan bebek. Itulah sebabnya orang tuanya mengenal orang tua Gabriel. Danius bisa melihat jika Lisa sudah memasuki pendopo tua yang cukup terkenal di negeri Etanio. Tak heran banyak sekali orang yang keluar masuk. Ia sendiri jadi penasaran dan memilih membayar seseorang untuk menjaga kudanya. Ia kemudian masuk ke pendopo itu. Betapa terkejutnya Danius saat tahu, pendopo yang biasanya digunakan menjadi tempat rapat atau pertemuan, kini berubah menjadi perpustakaan sederhana untuk tempat belajar dan membaca buku. Ia lalu menyusuri satu per satu rak, mengabaikan keberadaan Lisa yang sudah naik ke lantai dua. Ia juga mencoba memperhatikan buku-buku yang tertata rapi di rak. Ia terkesan karena bukunya sangat lengkap dan beragam. Tidak salah lagi, jika negeri Etanio dijuluki dengan negeri pendidikan terbaik. Luar biasa. Danius menghampiri seorang wanita yang tampak kesulitan mengambil buku di rak atas. Ia lalu mengulurkan tangan, tersenyum tipis pada wanita itu dan memberikan bukunya. “Aku melihat kau kesusahan mengambilnya,” ucapnya sambil menatap pada wanita yang tersipu malu. “Aku mengucapkan terima kasih. Tidak pernah menyangka akan bertemu dengan pangeran Danius di sini,” ujar wanita itu. Danius menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, ia tersenyum lebar sampai memperlihatkan giginya. “Aku pikir kamu tidak mengenaliku,” katanya malu-malu dan memperhatikan wanita yang kini menggigit bibir bawahnya. “Kalau begitu, aku permisi dulu.” Setelah kepergian wanita itu, Danius kembali mengelilingi rak-rak, ia mengambil buku yang berjudul mawarku, buku itu sungguh membuatnya tidak berhenti tersenyum karena berisi gombalan-gombalan ciri khas pria yang sering ditolak cintanya. Danius menaruh buku itu dan mencoba mendekati anak kecil perempuan yang sedang belajar menggambar. Ia melihat dengan jelas cara menggambar anak kecil itu lucu sekali. Meski begitu, kehadirannya tak membuat anak itu berhenti menjelajahi buku gambarnya dengan pena warna-warni. Ia tanpa diminta duduk di depan anak itu sambil terus mencoba memahami gambar yang sedang digambar. Anak kecil itu menunjukkan gambar itu pada Danius yang memberinya dua jempol karena menggambar gunung dengan bagus, pewarnaannya pun cukup menarik perhatian. Ia lalu melihat ke arah wanita paruh baya yang datang, anak kecil itu lalu turun dari kursi. Keduanya meninggalkan Danius seorang diri. Danius yang sedang mengamati seluruh sudut ruangan mendadak dikejutkan oleh tepukan di pundaknya. Ia dapat melihat seorang wanita muda berdiri dengan senyum merekah menghadapnya. Ia sempat tidak mengenali wanita yang ternyata temannya dulu, Finia. Ia lalu mempersilakan Finia untuk duduk. “Ada apa?” tanya keduanya bersamaan, kemudian tertawa kecil. “Kamu dulu saja, Dan.” “Aku sedang mengelilingi negeri Etanio. Orang tuaku berkunjung lagi ke istana,” paparnya. Danius memperhatikan raut Finia yang sedari tadi memandanginya, ia mencoba mencari jawaban atas apa yang mungkin dikatakan oleh wanita itu. “Ini surat undangan pesta ulang tahunku. Aku harap kamu bisa hadir tepat waktu,” ungkapnya. Danius tanpa ragu mengambil undangan itu dan mengangguk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD