03: ZEUS ARGOPERSIOS

1173 Words
Suara ringkikan kuda terdengar begitu keras. Tidak ada yang menyadari jika pemilik dari kuda tersebut tengah tidur di bawah pohon yang rindang. Pria yang memakai kaos warna hitam dipadu celana bahan yang warnanya senada, mengabaikan teriknya sinar matahari. Mata lentiknya masih terpejam dan belum mau terbuka. Hawa angin menerpa dedaunan hingga berjatuhan, pria itu masih tetap di posisinya semula. Masih terus berada di dalam mimpi. Kuda berbulu cokelat itu perlahan menjauh, mengikuti arahan seorang kakek yang berjalan menggunakan tongkat kayu. Setelah sampai di dekat telaga, sang kakek membiarkan kuda itu mandi dan minum sesukanya. Sedangkan dirinya kini duduk di batu besar sembari bersemadi. Pria yang tertidur sudah bangun, namanya Zeus Argopersios atau biasa dipanggil Zeus. Ia sejenak mengucek matanya sambil menajamkan penglihatan. Ia tidak salah lihat, kuda miliknya telah hilang. Tanpa basa-basi, ia segera mengambil barang bawaannya dan mencari keberadaan sang kuda. Zeus mengelilingi pohon-pohon yang ada di sekitar, tetapi tidak tampak kuda yang selalu menemani perjalanannya, ia juga tak mendengar ringkikannya padahal biasanya suaranya begitu keras sehingga ia suka terbangun. Namun, kali ini berbeda ia menyadari tubuhnya terlalu lelah untuk bisa merasakan kehadiran hewan berkaki empat itu. Meski begitu, ia tetap berjalan menyelusuri pohon-pohon dan membelah semak-semak. Zeus terus berjalan tanpa henti, ia hampir terpeleset ketika kakinya menginjak tanah yang basah. Untungnya ia tidak jatuh, wajah tampannya bisa saja jadi kusam nanti. Suara ringkikan membuat ia mau tak mau segera berlari menuju ke sumber suara. Benar saja, kuda kesayangannya tengah asyik bermain air dan di sana, di batu besar itu ia menyadari kehadiran seorang kakek yang dikenalnya. Zeus tidak membuat suara, ia juga tidak berusaha membangunkan sang kakek. Tetapi, kakek itu sudah ada di hadapannya saja sambil tersenyum tipis. Jika mengira ia akan terkejut, bukan Zeus namanya. Mengetahui kebiasaan kakek itu yang muncul tiba-tiba tanpa diminta membuatnya sangat hafal sehingga lupa untuk jatuh atau terjerembap karena terlalu kaget. Kini, ia telah terbiasa. Zeus menarik kudanya menuju ke pinggir telaga. Ia membiarkan hewan itu memakan rumput liar yang panjang, ia sendiri mencuci muka lalu mengisi persediaan air dalam kendinya yang nyaris kosong. Ia tidak mengabaikan sang kakek, ia hanya belum ingin bicara karena kakek itu juga sedari tadi diam saja. Ia lalu terang-terangan menatap sang kakek yang tiba-tiba tertawa. “Sudah beberapa tahun yang lalu, tetapi kamu tidak pernah berubah, Anakku.” Kakek itu menepuk pundak Zeus yang menggelengkan kepala. “Aku telah berubah banyak, Guru. Kau harus tahu, jika aku sudah menguasai hampir semua teknik bertarung dan bela diri. Aku bisa membuktikannya,” terang Zeus tidak mau kalah. Kakek itu tertawa kecil. “Maksudku bukan kemampuanmu, Zeus. Aku mengatakan bahwa kepribadianmu tidak pernah berubah. Kamu masih sangat suka berkelana mencari orang-orang yang bisa mengajarimu melalui alam yang luas ini. Aku salut, sangat salut.” Zeus mengangguk saja, ia sudah terbiasa mendengar perkataan seperti ini dari gurunya. Ia bukan terobsesi untuk bisa menjadi petarung sejati, ia hanya ingin mencari kegiatan untuk kekosongan hari-harinya. Sebab, ia suka bosan jika hanya duduk diam sambil menunggu pembeli datang. Namun, ia kini harus memutuskan untuk pulang. Entah surat yang ia kirimkan melalui merpati itu sudah sampai ke tangan ibunya atau belum, ia hanya tidak ingin ibunya terlalu cemas. Ia baik-baik saja. “Jadi, setelah ini apa yang akan kamu lakukan?” tanya sang kakek. “Aku akan pulang ke negeri Etanio menemui orang tuaku. Lalu, aku akan membantu mereka berdagang seperti biasa. Aliko juga pasti sudah merasa lelah karena terus membantu orang tuaku,” jelasnya. Zeus menyadari perubahan wajah sang kakek yang seakan tak senang mendengar jawaban itu. “Guru sendiri, bagaimana bisa tahu jika aku ada di sini?” Zeus belum menemukan jawaban, sang kakek malah duduk di bongkahan kayu. Sang kakek terlihat menatap ke arah langit yang cerah benderang. Ia pun ikut menatapnya dan merasakan silau sehingga segera melihat ke bawah. “Aku cukup kecewa dengan jawabanmu,” ujar sang kakek. “Aku pikir kamu akan membangun sekolah dan mengajarkan mereka bela diri atau kamu berniat untuk mencari pendamping hidup agar ada yang mengurusimu. Aku mengharapkan kedua jawaban itu,” lanjutnya. Zeus tampak berpikir, tetapi ia langsung menggelengkan kepala. “Aku akan simpan kalimat Guru hari ini, aku akan memikirkannya. Ada lagi?” Zeus melihat sang kakek merogoh saku bajunya, ia terlihat mengeluarkan kain yang membulat. Ia tidak tahu apa yang diberikan oleh kakek itu, tetapi ia menerimanya. “Aku ingin kamu menerimanya, itu sebuah kalung.” Zeus melihat kalung yang diberikan sang kakek. Belum berucap terima kasih, kakek itu sudah tidak ada di tempatnya. Ia menatap ke batu besar di mana tadi kakek itu bersemadi, tetapi tidak ada wujudnya. Ia pun menaruh kalung itu di saku celananya. Ia lalu mendekati kuda dan menaikinya. Melajukan kudanya dengan kecepatan sedang, rambut Zeus beterbangan menampakkan dahi lebarnya yang membuat wanita mana pun pasti terpukau. Ia membiarkan kuda yang dinaiki membelah rerumputan panjang sebelum menaiki bukit yang terjal dan turun melewati aliran sungai yang panjang. Zeus tidak peduli ketika celananya basah terkena cipratan air, ia hanya ingin segera mengakhiri perjalanannya dan beristirahat di rumah. Ia lalu mengambil tombak yang dibawanya, mencoba menancapkan tombak ke ikan yang muncul ke permukaan sungai. Berhasil, ia mendapatkan empat ekor ikan sebagai oleh-oleh dari berkelana. Zeus tiba-tiba menghentikan kudanya, saat ia melihat sepasang suami istri telah berlari. Ia juga menyadari jika ada tiga seseorang yang mengejar kedua orang itu. Ia turun dari kuda dan menghampiri kedua orang itu yang seperti ketakutan sekali. “Apa telah terjadi sesuatu?” tanya Zeus penasaran. “Ya, dia ingin mengambil istriku. Aku tidak mengenal mereka sama sekali. Kami sedang mencari kayu bakar lalu mereka datang dan menarik istriku,” ucapnya tanpa kebohongan. Zeus paham, memang di daerah ini ia sering mendengar adanya perampokan bahkan pelecehan. Ia lalu menarik kuda untuk mendekat dan mengusap lembut kepalanya. “Kalian berasal dari mana?” “Kami berasal dari negeri Preid. Tidak jauh dari sini.” Zeus paham, ia lalu mengambil sesuatu dari tas tali tarik yang ia bawa dan mengalungkannya pada kuda kesayangannya. “Gunakan kudaku untuk kembali,” ucapnya. “Tidak perlu. Jika kami menggunakan kudamu, kamu akan pergi naik apa?” “Aku akan berjalan kaki, tidak perlu sungkan.” Kedua orang itu sudah meninggalkan Zeus seorang diri. Zeus melihat keduanya saling tatap lalu menggeleng. “Dari mana kau berasal?” “Aku dari negeri Etanio,” jawab Zeus. Pasangan itu tampak terkejut. “Kalau begitu tidak usah, negeri Etanio masih jauh dari sini.” Mendengar jawaban itu, Zeus tersenyum senang. Ia tahu bahwa pasangan ini memang sangat baik. Sehingga, ia menyuruh keduanya untuk menaiki kuda. “Apa kau akan baik-baik saja?” Zeus mengangguk sebagai jawaban. Ia bisa melihat pasangan itu ragu saat menaiki kudanya tetapi mereka tetap naik. Sebelum meninggalkan ia sendiri, mereka melambaikan tangan dan menundukkan kepala tanda terima kasih. Ia hanya membalas dengan senyuman. Setelahnya, ia menatap tiga pria yang tidak berani mendekat. Ia melanjutkan perjalanan, mengabaikan teriakan tiga orang yang tidak terima dengan tindakannya menoleh pasang itu. Zeus menyadari sepenuhnya, negeri Etanio masih jauh dari pandangan mata. Maka, perjalanan kali ini akan menjadi perjalanannya yang paling panjang. Ia berharap ibunya tidak terlalu cemas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD