Raja Tega 2

1686 Words
Setelah mengatakan itu Aa’ pergi meninggalkanku. Jadi penerimaannya akan pernikahan ini serta semua perlakuannya yang melunak itu semata-mata hanya karena tanggung jawab. Tidak masalah, aku memang tidak salah menjatuhkan hati pada lelaki itu. Suamiku si paling bertanggung jawab. Penolakannya hanya seperti kerikil bagiku. Karang di laut saja akan terkikis oleh hantaman ombak berkali-kali. Anggap saja dia batu karang dan aku ombaknya. *** Sudah seminggu berjalan Aa’ lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah sakit. Aku tidak diperbolehkan mengakses kamarnya, aku pun mengindahkan perintahnya. Seminggu lebih menikah, Aa’ tahu kekuranganku. Aku tidak pandai memasak, tapi aku tetap berusaha. Aku menggoreng telur hingga gosong, sayur bayam keasinan, dan masih banyak lagi kegagalan lainnya. Hingga akhirnya Aa’ memintaku untuk berhenti memasak karena semua masakanku hampir tidak bisa dimakan. Aku pun enggan mencoba lagi, nyerah aku, tuh. Hari ini Aa’ shift pagi, jadi pagi-pagi sekali dia sudah pergi tanpa berpamitan padaku. Sikapnya seperti biasa, dingin. Aku takut hipotermia tinggal di rumah ini karena sikap dinginnya. Tadi aku sudah mengirim pesan padanya bahwa aku akan mengikuti pertemuan perihal koas dan setelahnya aku akan bertemu dengan Mas Seno untuk mengambil mobilku yang sudah seminggu di sana. Aku tidak mendapat balasan pesan darinya, dia pasti sibuk, aku paham lika-liku pekerjaannya. Deringan dari ponselku menyapa, ternyata dari Mas Seno. Aku baru saja mengirim pesan padanya mengatakan bahwa aku dalam perjalanan menuju kantornya. “Dek, kuncinya, Mas, titip Zein, ya, ini masih ada meeting lanjutan,” ujar Mas Seno dari sambungan telepon. “Baik, Mas.” Setelah mengambil mobil, aku teringat suamiku yang dingin bagai es batu itu. Dekat waktu makan siang, aku pun berniat mengantar makan siang untuknya. Karena tidak tahu makanan apa yang dia suka, aku membeli nasi ayam Hainan. Kebetulan aku akan melewati restoran yang best seller-nya menu itu, tidak jauh dari kantor Mas Seno. Aku juga tahu restoran ini dari Mas Seno. Menurutku ini enak, jadi aku percaya diri membawa menu ini untuk makan siang Aa’. Sudah dua kali menghubungi Aa’, tapi tak kunjung diangkat, bahkan pesanku tadi pagi saja belum dibalas. Aku memutuskan untuk langsung datang ke rumah sakit. Meski aku tahu berita ini akan segera sampai ke telinga papaku. Biarkan sajalah, biar dia tahu bahwa anaknya seperhatian itu pada menantunya. Setelah memarkirkan mobil, aku terus masuk dari pintu utama. Di persimpangan lorong, aku melihat Aa’ di nurse station bersama seorang dokter lelaki—tertawa dan bersenda gurau dengan perawat di balik table nurse. Aku tidak pernah melihatnya tertawa lepas seperti itu, jangankan tertawa tersenyum saja padaku tidak. Aku menghubunginya kembali, terlihat dia merogoh sakunya, mengeluarkan ponselnya dan menatap layar ponsel. Sesaat kemudian, memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku snelinya. “Wah … sengaja nggak diangkat rupanya,” gerutuku. Meski hatiku terasa tercubit, tapi aku tidak baper. Aku kembali melakukan panggilan telepon. Lagi-lagi dia mengabaikannya, bahkan tanpa melihat ponselnya. “Nada.” Aku terperanjat saat mendengar seseorang memanggil namaku. “Dokter Herman.” Aku mengangguk hormat pada dokter senior di rumah sakit ini. Padahal aku sudah memakai masker, tapi tetap saja beliau mengenaliku semudah itu. “Dokter Ganda!” teriak Dokter Herman memanggil Aa, kemudian menatapku dengan tatapan datar. “Aduh, bukan begini rencanaku,” batinku gelisah. Aa’ mendekat ke arahku, tidak, lebih tepatnya dia mendekati Dokter Herman yang berdiri di sampingku. “Ini istrinya nyariin.” Aku meringis malu ke arah Dokter Herman. Beliau pergi setelah berpamitan padaku dan menepuk pundak Aa’. “Kenapa ke sini?” tanyanya datar bin lempeng. “Kenapa telepon nggak diangkat dan diabaikan?” Bukannya menjawab pertanyaannya, aku malah mengajukan pertanyaan baru untuknya. Dia melihat ke segala arah kemudian menarik tanganku menuju taman rumah sakit. “Kamu bawa apa?” tanyanya, kini tatapan melembut—melihat paperbag di tanganku. “Saya marah, loh, ini. Saya tadi lihat Aa’ sengaja tidak mengangkat telepon saya,” kesalku seraya memicingkan mataku padanya. “Maaf.” Aku mengembuskan napas kasar mendengar jawabannya. “Padahal saya cuma ingin mengantar makan siang, tega banget, sih. Ini, pegang. Mau dimakan silakan, mau dibuang juga terserah. Saya pulang, sedih.” Aku berbalik kemudian berjalan ke arah di mana mobilku terparkir, dia tidak mengejarku. Wah, luar biasa Pak Dokter itu. Mataku memanas dan hatiku lagi-lagi terasa tercubit. “Sabar Nada ini hanya seonggol kerikil kecil,” gumamku seorang diri. Sesaat ketika aku hendak meraih gagang pintu mobil, Aa’ menahanku. Aku tersentak kemudian menarik tanganku, tapi kalah dengan tenaganya yang jelas lebih besar dariku. “Kamu marah?” Aku mengangguk jujur. “Kalau begitu kamu tidak boleh menyetir dalam keadaan marah, kamu pulang setelah sudah tidak marah lagi.” “Eh, gimana?” “Saya juga tidak tahu bagaimana caranya supaya kamu tidak marah lagi. Mau temani saya makan?” Dia mengangkat paperbag yang aku berikan tadi padanya. Aku tersenyum seraya memicingkan mataku ke arahnya. “Kamu sudah tersenyum, berarti sudah tidak marah lagi berarti, silahkan pulang.” Dia mendorong tubuhku mendekat ke arah mobil dan berlalu meninggalkanku. “Aa’ … ih, gitu banget. Saya temani, ya, saya masih marah,” pekikku mengikutinya. *** Aku menatapnya lekat saat dia memesan minuman untukku dan juga untuknya. Dia membuka bungkusan dan mengeluarkan kotak nasinya. “Nasi ayam Hainan?” tanyanya seraya mengerutkan keningnya dan aku mengangguk. Aku kira kami akan sependapat, ternyata Aa’ tidak menyukainya. Dia bahkan mengingatkanku untuk tidak membeli menu ini lagi. Sayang sekali padahal menurutku enak. Setelah selesai makan Aa’ sibuk dengan ponselnya, tadi saja saat aku mengirim pesan padanya dia mengabaikanku. Aku memicingkan mataku ke arahnya tajam, dasar pilih kasih. Hingga kemudian mata kami saling beradu. Tiba-tiba dia mengarahkan ponselnya kepadaku. Sekilas aku melihat ruang obrolan Aa’ dengan Mama. Seperti cenayang saja, tahu saja dia kalau aku tengah membatin kesal. “Mama mau ke rumah besok, mau ajakin kamu jalan,” jelasnya padahal aku tidak bertanya. “Loh, kok, nggak chat atau telepon saya langsung, ya,” ujarku seraya mengecek ponselku. Dan tidak ada pesan atau telepon dari Mama. “Paling juga nanti dihubungi.” Aa mengatakan itu tanpa menatapku, tapi aku tetap mengangguk paham. “Dokter Ganda,” sapa seorang perawat dan Aa’ juga kembali menyapa. Seorang perawat lainnya berterima kasih atas pemberian donat kepada seluruh staf IGD. Aa’ juga tersenyum ramah, interaksinya dengan perawat tadi sama seperti dulu. Mengingatkanku pada Dokter Ganda yang baik, ramah dan tulus. Sepertinya dia tidak berubah hanya padaku saja dia dingin dan ketus begini, jahat sekali. “Masih marah?” tanyanya dan aku menggeleng acuh. “Tunggu saya di rumah.” Kali ini aku mengangguk. Aa’ mengantarku hingga ke parkiran, setiap kali melewati rekan kerja atau perawat rumah sakit dia seramah itu menyapa. “Tidak marah, tapi kok masih begitu wajahnya?” tanyanya mengomentari raut wajahku yang kesal akan sikapnya. “Saya ingin bicara—tidak jadi, nanti saja di rumah. Saya pulang,” pamitku kemudian masuk ke dalam mobil. Aa’ memperingatiku untuk berhati-hati berkendara dan memintaku untuk langsung pulang ke rumah. Aku mengendarai mobil hingga terparkir sempurna di halaman rumah. Begitu masuk, aku langsung membersihkan diri. *** Harusnya pukul lima sore Aa’ sudah di rumah, tapi sudah pukul tujuh malam dia belum juga pulang dan tidak pula mengabari. Tadi dia memintaku untuk menunggunya ‘kan? batinku. Aku sudah memesan menu makan malam dan menyantapnya lebih dahulu. Setelahnya aku duduk di sofa dekat ruang keluarga menyalakan televisi dan menikmati drachin favoritku. Sesaat kemudian “Nada.” Sayup aku mendengar suara lembut menyapa pendengaranku. Aku memilih mengeratkan pelukanku pada guling dan menarik selimut hingga menutupi tubuhku. “Nada, kenapa tidur di sini?” “Di mana?” lirihku masih belum ingin membuka mataku. Sebentar suara ini? Aku perlahan membuka mataku dan mendapati tubuhku berada di atas tubuh Aa’. Aku menerjap dan melihat sekitar, ternyata aku ketiduran di sofa dan televisi sudah mati. “Apa tubuh saya lebih nyaman dari sofa?” tanyanya seraya menaikkan alisnya. Aku mengangkat tubuhku dan begitu juga dengan Aa'. Entah bagaimana aku bisa merebahkan tubuhku di atas tubuhnya. Aa' memintaku menunggunya, dia bilang ingin bicara padaku, tapi dia ingin membersihkan diri lebih dulu. Aku kembali menyandarkan kepalaku ke sandaran sofa kemudian menegakkan dudukku. Tidak, tidak boleh, nanti bisa-bisa aku tertidur lagi. Tiap kali tidur di dekat Aa’ aku selalu menerkamnya. Khawatir nanti dia menjauh lagi dariku karena risih. Setelah Aa’ selesai, aku memintanya menyantap makan malamnya dahulu. Saat ini pukul delapan lewat tiga puluh menit. Aa’ bilang dia terlambat karena ada pasien yang perlu ditangani. Aku ikut duduk menemaninya makan dan bercerita perihal pertemuan koas-ku tadi. Dia hanya mendengar tanpa merespon. Setelah Aa’ menghabiskan makanannya, aku berniat untuk membersihkan piring bekas makannya, tapi dia menolak. Dia pergi membersihkan sendiri piringnya dan kembali duduk. “Mau bicara apa?” tanyaku, menyanggah wajahku dengan kedua tanganku. “Besok Mama datang, jangan sampai beliau tahu kalau kita pisah kamar,” jelasnya dengan wajah datarnya. “Saya tidak mau berbohong,” tolakku mentah-mentah. “Nada ….” Aku menolak mentah-mentah idenya. Aku bercita-cita menjadi menantu idaman, jadi aku tidak ingin berbohong pada Mama. Dia tampak tak puas dengan tanggapanku. Aku kira pembicaraan penting apa yang dia maksud, rupanya hal tidak penting. Aku meraih dompetku yang sejak tadi aku bawa, bahkan saat dia belum pulang aku sudah mempersiapkannya. Aku mengeluarkan kartu debit yang Aa berikan padaku—mengembalikannya. “Kenapa dikembalikan?” Aa mengerutkan keningnya menatap kartu debit di hadapannya. Aku tidak ingin memakainya, toh, dia tidak ingin aku bersikap bak istri sungguhan. Menurutku istri sungguhanlah yang berhak menerima semua bentuk nafkah dari suaminya. Dia hanya bergeming setelah mendengar penuturanku. Karena tidak ada respon akupun pamit undur diri. Aku juga menyarankan perihal urusan dapur dan segalanya lebih baik dia menyewa ART. Aku hanya ingin menjadi istri pajangan selama setahun ini terangku padanya. “Jadi maumu apa?” tanya terdengar pasrah, dia bahkan mengembuskan napasnya panjang. Yes. Batinku. “Tidak perlu lupakan saja,” tolakku, menjelingkan mataku. “Saya akan mengikuti keinginanmu." Aku menahan senyum saat akhirnya si raja tega mengucapkan kalimat yang sangat aku nantikan. Aku bersorak riang, tentunya hanya di dalam hati. Kemudian menyampaikan keinginanku, aku mau menerima semua pemberiannya asal dia melihatku sebagai istrinya, jelasku. “Baiklah, pindahkan barang-barangmu ke kamar saya,” ujarnya begitu melewatiku dan masuk ke dalam kamarnya. “Eeh, p—pindah k—amar?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD