SOP suami istri

1532 Words
Aku melangkah ragu menuju kamar utama. Kenapa mendadak aku jadi takut begini? Harusnya ini awal yang bagus, bukan? Begitu masuk ke dalam kamar kulihat Aa’ duduk menyandar di kasur. Ketika sadar akan kehadiranku, dia menyimpan ponselnya dan menepuk sisi sebelahnya memintaku naik ke atas kasur. Aku pun menurutinya, aku terkejut saat dia merebahkan tubuhnya kemudian menarik tubuhku hingga kami saling berhadapan. Dia menatap mataku lekat, menyentuh lembut pipiku kemudian menarik daguku memajukan wajahnya dan mulai memejamkan matanya. “Sampai kapan kamu mau berdiri di situ?” Aku tersentak mendengar suaranya, memejamkan mataku sejenak saat sadar dari lamunanku. Bisa-bisanya aku melamun dan berkhayal seintim itu. “Tutup pintunya.” “S—saya tidur di mana?” tanyaku karena sadar kamar ini tidak memiliki sofa. “Di kasur tentu saja, bukannya ini yang kamu inginkan?” ketusnya. Aku duduk di pinggir kasur dan Aa’ mulai merebahkan dirinya. “Takut?” tanyanya seraya menarik selimut menutupi tubuhnya. “Hah, t—tidak,” jawabku terbata-bata. Bohong, memang mendadak aku takut. Ada apa dengan diriku ini? Kemarin aku baik-baik saja, kenapa sekarang mendadak takut begini. Akhirnya, aku ikut merebahkan diri membelakanginya. Padahal tadi aku mengantuk sekali hingga tertidur di ruang depan, tapi sekarang rasanya sulit sekali mataku untuk terlelap. Aku menerjap saat suara Aa menyapa pendengaranku. “Tidak perlu takut, saya tidak akan menerkam kamu.” *** Suara kicauan burung menyadarkanku. Ketika aku membuka mataku, seutas senyum terbit di wajahku kala memandang wajah lelaki di hadapanku ini. Pagi yang indah, seindah pahatan indah yang tengahku nikmati saat ini di wajahnya hingga tanganku tergerak untuk menyentuh bibirnya. Aku tersentak saat Aa’ menangkap tanganku dan perlahan dia membuka matanya. “Apa yang kamu lakukan?” Aku menerjap sesaat sebelum akhirnya bersuara. “Habis lap iler.” Aku menarik tanganku hingga terlepas dan segera kabur ke kamar mandi. Baru saja masuk, aku sudah keluar lagi. Aku mengangguk ke arahnya dan meringis kemudian mengambil pakaianku, lalu kembali masuk ke dalam kamar mandi. *** Setelah aku selesai mandi, menyusul Aa’ setelahnya. Hari ini Aa’ masih di shift pagi, aku menyiapkan pakaian untuknya. Seminggu bersamanya, lebih kurang aku tahu seleranya berpakaiannya saat berangkat ke rumah sakit. Gayanya sangat casual, tapi tetap tampannya tidak berkurang. Di rumah sakit nanti dia akan mengganti seragam dokter. Setelah meletakkan bajunya di atas kasur, aku segera menuju dapur untuk membuat sarapan. Aku tersenyum manis melihat roti lapis yang kubuat dan s**u sudah terhidang di atas meja, tinggal menunggu suami yang masih berada di dalam kamar. Karena tak sabar menunggunya, aku masuk kembali ke dalam kamar dan mendapatinya sedang mencari baju dan tak menyentuh baju yang aku pilihkan. “Aa’ …! Saya sudah siapin ini bajunya,” tunjukku ke atas kasur. “Saya—” “Katanya mau bersikap layaknya suami ke istri?” ketusku tidak mengizinkannya beralasan. Dia berbalik dan berjalan ke arahku, aku mundur selangkah saat dia berjalan tepat di depanku dengan menatapku sinis hingga aku terduduk di pinggir kasur karena tidak memperhitungkan langkahku. “Terima kasih istri,” ucapnya penuh penekanan dan meraih pakaian yang aku siapkan. Aku menunduk bersusah payah menetralkan detak jantungku yang tidak normal ini karena roti sobeknya. Saat aku mengangkat pandanganku, Aa’ akan membuka handuk yang melilit di pinggangnya. “Stop!” Dia melirik ke arahku dan menghentikan aksinya. “Stop!” Aku gegas keluar dari kamar, sebelum menutup pintu aku kemudian mempersilakannya melanjutkan aksinya. Jangan lemah Nada, baru lihat pemandangan begitu saja kamu sudah goyah, batinku. “Permisi.” Aku menerjap dan menoleh saat Aa’ sudah di belakangku dan aku menghalangi jalannya. “A—ah, iya silahkan,” lirihku memberinya jalan. “Kamu buat sarapan?” tanyanya saat berjalan ke arah meja makan. Aku mengikutinya dan duduk tepat di hadapannya. “Dijamin ini enak, Aa,” ujarku dan dia hanya mengangguk saja. Setelah menegak minumnya, dia melahap roti lapisnya seraya mengangguk-angguk. Aa’ kembali memberikan kartu debitnya padaku. Dia meminta aku menerimanya dan akan mengikuti keinginanku. Akhirnya dia masuk perangkap awalku. Aslinya semalam aku hanya menggeretaknya saja, siapa yang tidak suka diberi uang. Namun, tak kusangka dia sebegitu mengkhawatirkan diriku karena tak menerima nafkah lahir. Selanjutnya, masih ada satu nafkah lagi. Jujur, aku belum siap untuk yang satu itu, jadi aku belum melancarkan aksiku. Aku harus memantapkan hati juga aksi supaya target masuk ke dalam perangkapku hingga klepek-klepek. “Saya berangkat sekarang,” pamit Aa. Aku mengulurkan tanganku hendak menyalaminya. Percaya atau tidak selama ini dia pergi dan pulang bekerja begitu saja. “Sini tangannya, aku mau menyalami suamiku,” ujarku. Dia menyambut tanganku, lalu kukecup punggung tangannya membuat dia membeku. “Lalu begini.” Aku mengarahkan tangannya untuk mengelus lembut kepalaku dan dia menurut saja. “Hati-hati berkendara, ya, A,” ucapku penuh semangat. “Hm.” *** Saat ini aku berjalan menuju sebuah Mall. Aku janjian bertemu dengan Mama Ayu di sana. Sebelumnya aku sempat menawarkan diri menjemput beliau, tapi Mama menolak. Mama memintaku langsung datang ke Mall agar aku tidak bolak-balik. “Mama ….” Aku melambaikan tanganku dan beliau membalasnya. “Hai, Sayang.” Mama memelukku, setelahnya kami berjalan menuju Spa Message dan Salon. Hari ini kami akan melakukan perawatan bersama. Kami mengambil private room dengan full service. Tidak salah memang memilih perawatan sebelum berjuang minggu depan. Minggu depan aku akan melaksanakan koas di daerah terpencil syukurnya masih di Jawa Barat. Aku dan Mama asyik bercerita hingga pembahasan kami mengarah perihal restu yang Mama dan Ayah berikan pada pernikahan kami. “Mama dan Ayah itu sudah hopeless setelah berakhirnya pertunangannya dengan Keysa, Sayang.” Pertunangan? Aku tidak tahu perihal satu ini. Bagaimana aku tahu tanpa babibu, satset, kami langsung menikah. “Sebelumnya kami sempat ragu saat dia mengabari akan datang memperkenalkan calonnya, tapi akhirnya kami berusaha menerimanya.” Aku hanya meringis menanggapi Mama. “Aa’ itu bukan tipe lelaki yang akan bermain-main dengan wanita, Nada. Saat dia sudah yakin, dia pasti sudah memikirkannya dengan baik. Terlebih lagi wanita yang dikenalkan pada kami itu kamu. Mana mungkin Mama menolak,” terang Mama. Aku meringis malu, tidak tahu saja Mama alasan anaknya menikahiku karena rasa tanggung jawab serta desakan papaku. “Aa’ itu kurangnya apa? Tampan dan baik hati, tapi kisah percintaannya menih mengenaskan. Mama salut dia tidak berlarut-larut seperti dulu. Pasti karena kali ini dia menemukan wanita yang tepat. Jadi secepat itu, moveon-nya,” tambah Mama seraya tersenyum ke arahku. Apa lagi ini? Pernah gagal moveon pula. Sepertinya kisah percintaan Aa’ tidak baik-baik saja. Memang sudah paling benar dia bersamaku. Sepertinya dia belum pernah merasa dicintai. Sayang sekali, wanita mana yang mengabaikannya. Padahal aku bisa memberikan cintaku hingga tumpah ruah untuknya. Menghabiskan waktu dengan Mama membuat aku sedikit memahami Aa’. Dia tidak memiliki menu khusus favorite, tapi dia lebih menyukai makanan rumahan. Sangat disayangkan, di luar kemampuanku. Tidak masalah, aku semangat belajar. Aa’ itu orangnya menyukai keindahan dan kerapian. Aku sudah indah hanya perlu memperbaiki kerapian yang aku sendiri ragu ketika melihat kamar utama berantakan. Aku sudah di rumah sejak tadi, berhubung Aa’ belum pulang, aku memanfaatkan waktu merapikan kamarnya karena ulahku. Tak berselang lama Aa’ pulang, aku berlari cepat menyambutnya. Membuka pintu dan menyalaminya. Aku menghalangi jalannya saat dia melupakan SOP berangkat dan pulang bekerja. Seperti paham maksudku, dia mengulurkan tangannya, lalu mengelus lembut puncak kepalaku. Aku meraih tas miliknya dan menyimpannya ke dalam kamar, sementara dia menyesap minuman yang aku siapkan untuknya. *** “Ponselmu berdering sejak tadi,” ujarnya saat aku kembali ke ruang tengah setelah merapikan meja makan. Kami baru saja selesai menyantap makan malam. “Kok, nggak diangkat?—Oh dari Mama.” Aku menghubungi Mama kembali, melakukan panggilan video call. “Sayang, sedang apa?” tanya Mama dari seberang sana. Aku mengarahkan kamera ke wajah Aa’ dan dia langsung tersenyum. “Loh, sudah di rumah, Ganda?” “Sudah, Ma,” jawabku. Mendengar Mama menyebut nama menantunya, Papa langsung masuk ke dalam frame memenuhi layar ponselku. “Bagaimana kabar kalian?” tanya Papa antusias. Aa yang sedari tadi sudah mendekat, mengangguk hormat pada Papa. “Baik, Prof.” “Panggil Papa, dong,” potong Mama membuat aku tertawa dan Aa’ reflek mengacak rambutku. “Kamu sudah tahu akan ditempatkan di mana, Nada?” tanya Papa, mulai membahas koasku. “Sudah, Pa.” Aku tahu Aa’ menatapku dan aku mendongak tersenyum ke arahnya, lalu kembali menatap ke arah kamera. Aku belum memberitahu dia detailnya. Kemarin saat bercerita, aku menyudahi ceritaku begitu saja saat dia tidak meresponku. “Terlalu jauh. Papa rekomendasikan kamu ke rumah sakit Harapan Nusa, ya,” saran Papa. “Big No! Nada tidak mau dipantau Papa dua puluh empat jam,” tolakku. “Memangnya Papa kurang kerjaan,” sanggah Papa. Aku kembali menegaskan pada Papa untuk tidak memindahkan tempatku koas nanti sesuka hatinya dan Papa menyetujuinya. Aku membulat mata saat topik Mama benar-benar di luar jalur. Tiba-tiba saja Mama menanyakan kapan diberi cucu. “Izinkan Nada koas dulu, please,” ujarku memelas membuat Mama dan Papa tertawa. Tidak tahu saja mereka aslinya aku dianggurin. Setelah membicarakan banyak hal, kami menyudahi sambungan video call. Saat menoleh, aku mendapati Aa’ menatapku dan aku menaikkan alisku. “Kenapa, sih?” tanyaku risih dengan tatapannya. “Mamaku juga terus bertanya perihal cucu,” ucapnya datar. Eh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD