Definisi rumah hijau yang sebenarnya. Mengedepankan efisiensi energi. Berada di dalam rumah saja rasanya sesegar itu dengan terpaan semilir angin yang menenangkan.
Sejak tadi aku hanya mengurung diri di kamar. Sekarang aku tahu kenapa Aa’ enggan menginap di rumah orang tuanya. Dia khawatir kami akan terus bersama dalam satu kamar. Mungkinkah dia takut aku menerkamnya lagi? Tak kusangka akan secekatan itu dia mengatur semua ini sedemikian rupa. Membuatku melambung bak istri yang akan disayangi, ternyata dia tetap teguh akan hati dan pikirannya perihal perjanjian itu.
Semangat Nada, setelah berangan-angan bertahun-tahun sekarang dia sudah menjadi milikmu hanya dalam hitungan hari. Mana mau aku menyia-nyiakan kesempatan emas yang sudah aku genggam. Tugasku hanya mempertahankannya. Dia dengan segala batasannya, maka aku juga mulai dengan segala permainanku.
“Aa’ … l’m coming to your heart.”
Padahal sebelumnya semangatku membara, tapi aku malah terlelap hingga pagi menyapa.
Aku tidak terusik sama sekali sejak semalam, apakah dia lupa memiliki seorang istri yang cantik jelita?
Aku memilih keluar kamar, sejak semalam aku belum meneguk air putih hingga sekarang rasanya sangat haus.
Aku berjalan tertatih menuju dapur, kemarin Aa’ sudah mengajakku berkeliling. Meski satu lantai, tapi rumah ini cukup luas. Ada ruangan di lantai bawah tanah yang sama luasnya dengan ruangan di lantai ini.
Di bawah ada ruang olahraga, ruang baca sekaligus tempat kerja Aa’ dan ada kamar juga.
Aku menatap Aa, khawatir saat dia terbatuk-batuk setelah menyesap minumannya.
Saat ini dia tengah duduk di kursi meja makan menyantap sarapannya dan aku datang meraih teko air putih menuangnya ke gelas untukku minum.
“A’ pelan-pelan.” Aku ikut duduk, menarik kursi di sampingnya.
“K—kamu nggak mau mandi dan ganti pakaian dulu?” tanyanya terbata-bata.
Aku menggeleng, menegak habis air gelasku dan mengisinya kembali.
Saat tengah meneguk kembali air dalam gelasku. Aku melihat gerak-geriknya yang tampak seperti salah tingkah. Saat aku mengajukan beberapa pertanyaan dia pun enggan menoleh ke arahku.
“Aa’ mulai tugas lagi di rumah sakit kapan?” tanyaku setelah meletakkan gelas kembali di atas meja.
“Lusa.”
“Di IGD berapa shift?” tanyaku kembali berusaha mencairkan suasana di istana es ini.
“Tiga.” Menyebalkan, dia bahkan bicara tanpa menatapku. “Nanti saya antarkan kamu belanja beberapa kebutuhan untukmu. Sekarang mandi dan ganti pakaianmu.”
Aku menatap tubuhku yang masih mengenakan dress tidur bertali spaghetti.
“Mau sarapan dulu lapar …,” rengekku.
“Sarapan di kamar sana.” Menyedihkan sekali, dia bahkan enggan makan satu meja denganku. Sejak sempat berseteru dengan Mas Seno, Aa’ menjadi lebih dingin.
Aku mengikuti perintahnya melangkah sedih, kubawa satu roti lapis dan segelas air putih menuju kamar.
“Nada, lain kali kamu tidak boleh berkeliaran di rumah ini dengan pakaian seperti itu.” Aku sempat berbalik saat dia memanggilku, kemudian mengangguk patuh dan kembali melangkah saat dia tak lagi berbicara.
“Yakin hanya ingin satu rotinya?” Aku menoleh hanya untuk mengangguk setelahnya masuk ke dalam kamar.
Ada apa dengan pakaianku? Aku bahkan biasa mengenakan pakaian semini ini dengan desain yang berbeda di luar rumah. Masa di dalam rumah saja tidak boleh.
***
Benar saja Aa’ mengajakku untuk makan siang di luar dan belanja kebutuhan. Pertama tiba di mall, kami langsung menyantap makan siang. Aku menyebutkan pesananku yaitu nasi dengan lauk ayam dan menambah dimsum di ujung pemesanan.
Aa’ mengkoreksi pesanan dimsumku, menyebut varian yang berbeda membuat aku mengerutkan keningku.
“Di antara pesanan kamu tadi ada olahan udangnya, saya ganti dengan olahan ayam,” jelasnya seolah tahu apa yang ingin aku proteskan.
Tak jadi protes, aku malah melebarkan senyumku semanis mungkin barang kali saja dia terpesona olehku. Namun, bukan terpesona dia malah membuang pandangannya enggan melayaniku.
Selama makan kami tidak banyak berbicara, setelahnya kami langsung menuju sebuah butik.
Aku terlalu banyak berangan-angan. Kukira akan ditemani layaknya suami istri jalan berduaan. Ternyata dia memintaku berbelanja beberapa pakaian dan kebutuhanku, sedangkan dia membeli kebutuhan dapur serta stok bulanan.
“Lebih efisien begini, take your time,” ujarnya tadi sebelum meninggalkanku.
Dia juga memperingatiku untuk tidak memilih pakaian tanpa lengan. Jadi kesimpulan yang aku ambil, aku tidak boleh memakai pakai mini-mini favoritku baik di dalam maupun luar rumah.
Harus aku ke manakan pakaian paripurnaku semua itu?
Setelah berbelanja aku gegas menuju parkiran tempat Aa’ memarkirkan mobilnya. Tadi dia mengirim pesan singkat padaku.
Si Raja Tega
Take your time yang saya maksud memanfaatkan waktu se-efektif dan efisien mungkin, bukan lupa waktu.
Hampir se-jam saya menunggu kamu di parkiran.
Saat aku tiba di parkiran ternyata dia tengah duduk menyandarkan kepalanya di sandaran kursi mobil sambil memejamkan matanya.
Selelah itukah menungguku?
Aku urungkan niatku mengetuk pintu, dari kaca yang tidak terlalu gelap juga tidak terlalu tembus pandang, aku dapat melihat lelahnya.
“Nada.” Aku tersentak saat seseorang memanggilku.
“Kak Sapto.” Dia mengusap kepalaku gemas.
“Sedang apa di sini?” Kak Sapto melihat sekitar seperti tengah mencari sesuatu.
“Ini, Kak—”
“Nada, masuk!” Aku menoleh saat pintu mobil terbuka dan Aa’ keluar. Sejak tadi aku berdiri dari sisi mobil kemudi.
“Dokter Ganda.” Aa’ mengangguk tanpa menyapa Kak Sapto kembali.
“Nada, nanti malam datang ke JJ Bar, ya. Andrew dan Anas membuat acara untuk ulang tahunku,” ajak Kak Sapto.
Kak Sapto ini sepupu Andrew—kekasih Anas, sahabat perempuanku. Aku tidak begitu dekat dengan Kak Sapto, tapi aku tahu dia ingin mengenalku lebih dekat.
“Tidak bisa, Nada sudah ada janji dengan saya. Maaf kami harus segera pulang,” pangkas Aa.
Aa mengambil alih barang belanjaanku kemudian menarik tanganku hendak menuntunku masuk ke dalam mobil sisi penumpang, tubuhku hanya pasrah mengikutinya.
Baru selangkah berjalan, Kak Sapto menarik tanganku—menahanku kuat hingga menarik ujung lengan kardiganku membuat sebelah bahuku terekspos. Aku mengenakan tanktop sebagai dalaman dan kardigan sebagai outer.
Aa’ menoleh saat sadar Kak Sapto menahan tanganku. Dia meraih tangan Kak Sapto dan melepasnya dari tanganku, tapi tatapannya tetap datar.
“Kami buru-buru, maaf,” ujar Aa seraya mengangguk.
Kak Sapto menyeringai kemudian mengangguk dan berlalu masuk ke dalam mall setelah berpamitan padaku dan Aa’.
Tanpa menunggu perintah, aku segera masuk ke dalam mobil dan Aa’ menyusul kemudian. Aku juga sudah merapikan penampilanku sebelum masuk.
“Pantas saja mantan kekasihmu menginginkan tubuhmu karena kamu terus memamerkan lekuk tubuhmu pada semua lelaki mata keranjang,” ujarnya panjang lebar. “Apa kerjamu hanya menggoda lelaki dengan tubuhmu itu?” lanjutnya.
“Aa’ …,” ujarku tidak suka dengan ucapannya.
Dia membuang pandangannya setelah menatapku tajam. Kemudian melajukan mobilnya dengan secepat mungkin. Melihatnya begitu marah, aku tidak berani menjawabnya.
Begitu tiba di rumah pun dia berlalu setelah membawa barang belanjaan tanpa menungguku.
Aku menyusul masuk ke dalam rumah dan mendapati Bik Santi di dapur. Beliau tengah menyusun belanjaan yang tadi Aa’ beli. Sedangkan Aa’, aku tidak melihatnya lagi. Sepertinya dia sudah masuk ke dalam kamarnya.
Bik Santi menyapaku, aku pun ikut membantunya meski sempat menolak pada akhirnya dia setuju juga.
Langit menggelap, Bik Santi juga sudah pulang sejak tadi. Namun, Aa’ masih belum menampakkan dirinya.
Aku memesan makan malam dari aplikasi online. Saat aku memanggilnya dan mintanya untuk makan bersama. Dia menyuruhku makan lebih dulu tanpa menunggunya.
Sepi, padahal sebelumnya juga kami hanya berdua, tapi sadar dia marah aku mendadak jadi berkecil hati.
Bagaimana ingin mendapatkan hatinya kalau hari-hari kerjaku hanya membuatnya marah?
Aku memilih melupakan omongannya tadi. Dia pasti marah karena aku tak mengindahkan perintahnya ‘kan?
Aku menyimpan makanannya di atas meja dan meninggalkan pesan di secarik kertas. Memintanya melahap habis makan malamnya dan mengucapkan selamat malam.
***
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun, hari ini Aa’ masih libur dan besok dia akan kembali bekerja. Aku ingin membuat sarapan untuk kami berdua.
Tidak ada honeymoon tentunya, setelah acara pernikahan kami hanya mengeram di rumah.
Baru saja hendak memecahkan telur suara Aa’ sudah menyapa pendengaranku.
“Mau ngapain?”
“Ya ampun, kaget.” Aku menarik napas sebelum melanjutkan kalimatku. “Mau buat sarapan.”
Ternyata pagi versiku berbeda dengan versi Aa’. Buktinya pukul tujuh dia sudah selesai berolahraga.
“Buat untukmu saja, saya mau ke apartemen. Ada barang yang belum saya pindahkan,” ujarnya.
“Boleh ikut?” tanyaku bersemangat, tapi dia menolak.
“Di rumah saja.”
Aku memajukan bibirku cemberut. “Terus nggak mau sarapan dulu?” tanyaku lagi kali ini bibirku sudah maju karena sedih mendapat penolakan darinya.
“Bukankah saya sudah bilang, kamu tidak perlu bertindak selayaknya istri sungguhan, Nada. Saya hanya mempertanggungjawabkan kesalahpahaman yang menerpa kita tidak lebih.”