BAB 08

1206 Words
"MENTANG-MENTANG udah ada pacar baru, pakek pamer jaket segala lagi. Gue nggak iri ya Liv." Olivia sudah akan menduga ini sebelumnya, Pita pasti akan mengomentari setiap apapun yang dirinya lakukan. Langsung saja, tidak memerlukan waktu lama, Olivia menjitak kepala Pita cukup kuat. "Sakit Oliv!" Pita berujar, mencebikkan bibirnya, kemudian mengusap puncak kepalanya. "Kebanyakan omong lo dari tadi!" ucap Olivia, tatapannya menajam. Sebelum bangkit berdiri, ia menyempatkan diri untuk mendelik kesal kepada teman bangkunya itu. "Eh, lo mau ke mana?" "Terserah, yang penting nggak ada lo!" Olivia lantas kembali memusatkan penglihatannya ke arah depan, melangkah cepat. Di bangkunya, Pita mengerucutkan bibirnya sebal. Ia mengentakkan kaki, mulai bangkit dari duduknya, lalu berlari menyusul Olivia yang pergi entah ke mana dengan jaket di tangannya. Dari arah belakang, terdengar suara nyaring. "Cacing Pita! Lo mau ke mana?" Pita mendengus di panggil seperti itu, tapi ia tetap membalikkan badannya. "Ikut Oliv," ujarnya. Ia melanjutkan jalannya sebelum Olivia semakin susah untuk di cari. "Gue ikutan dong!" Pita membuang napas, menoleh lagi menghadap Cici. "Ya udah buruan!" tangannya bergerak ke atas, kemudian berayun, memberi isyarat kepada Cici untuk segera mengikutinya. * * * Cici membuang napas lelah, bahkan kakinya sudah mengentak kuat di lantai, sementara Pita sejak tadi sudah mengeluarkan gerutuan tidak jelas. Mereka tidak semena-mena melakukan itu, jika sejak tadi pertanyaannya ditanggap oleh Olivia dengan baik, sudah pasti dengkusan kasar tidak keluar dari mulut Pita maupun Cici. Sambil mengikuti gerakan kaki Olivia yang dirasa semakin cepat, Pita meluruskan pandangannya ke arah manik mata Olivia. "Gue tanya sekali lagi ya Liv, lo mau ke mana?" Masih sama, tidak ada kalimat apa pun yang menyembur dari bibir Olivia. Boro-boro satu kalimat, satu kata pun tidak keluar dari bibir merah alami milik cewek yang sedang fokus pada jalanan dengan earphone yang menggantung di kedua telinganya. Cici ikut menggeram, lantas ia memegangi lengan Olivia, menghentikan langkah, lalu tanpa meminta persetujuan dari Olivia, Cici segera merebut secara paksa earphone di telinga sahabatnya itu. "Lo dengerin kita ngomong nggak sih Liv?" Olivia mendengus, menatap bergantian kepada Cici dan Pita. Ia membuang napas lelah sedetik setelah merotasikan bola matanya. Melihat earphone di tangan Cici, Olivia tersenyum sinis dan menyambar benda itu. "Gue denger walaupun pakai ini," ucap Olivia dengan senyuman miring sambil mengangkat benda ditangannya. Pita berkacak pinggang, sebelum berkata lebih lanjut, ia mencebikkan bibirnya. "Terus? Kenapa dari tadi lo nggak jawab?" Olivia tidak langsung angkat bicara, ia malah menghubungkan kabel earphone ke ponselnya lagi dan menyumpalkan kepala benda itu ke telinganya. Selanjutnya yang terjadi hingga membuat Cici dan Pita mencak-mencak tidak jelas di tempat adalah Olivia malah berlalu melanjutkan jalan kakinya. Cici menyusul dengan langkah dipercepat, setelah sampai di samping Olivia lagi, ia menarik lengan sahabatnya lebih kencang. "Jawab Liv, jangan bikin gue penasaran," bujuk Cici untuk kali kesekian. "Iya betul itu, jangan bikin gue mati berdiri juga hanya karena kelakuan lo yang misterius ini," sambar Pita, ia menuding seraya melipat kedua tangannya di depan dadaanya. Olivia kembali membuang napasnya, kali ini lebih panjang dan berat. "Harus banget ya gue kasih tahu lo berdua?" Cici tertawa sumbang untuk beberapa detik sebelum akhirnya tawa itu semakin lama semakin menyeramkan hingga bola matanya tiba-tiba saja membulat penuh. "Bukan hanya harus, tapi wajib!" "Gue mau ke suatu tempat." "Nggak usah sok misterius!" tuding Pita yang terlampau kesal. "Lo nggak perlu tahu," ujar Olivia, meningkatkan suaranya agar terdengar lebih menggelegar. "Kami berdua berhak tahu karena udah ngikutin lo sejauh ini. Lo pikir nggak capek apa jalan kaki dari gedung IPS ke gedung IPA?" Mungkin ini efek karena terlalu kesal kepada sikap Olivia, jadi nada yang diucapkan Cici ikut melesat jauh. Pita setuju, lantas mengangguk akan pernyataan Cici. Sudut bibir kanan Olivia tertarik, "gue nggak nyuruh lo berdua ikut." "Tap—" "Lo berdua bisa balik ke kelas." Intonasi suara Olivia terdengar datar, tapi dari cara bicaranya terselip perintah bahwa Cici dan Pita benar-benar harus melakukan itu. "Iya, tap—" "SEKARANG!" Hampir bersamaan, mulut kedua sahabat Olivia itu terbuka setengah. Bentakan itu membuat mereka terkesiap dan tergagap dalam mengambil jawaban. Olivia mendesah, kembali melempar tatapan mata tajamnya. "Sana balik ke kelas, gue nggak mau di ganggu. Gue ada urusan. Jangan sedih dulu, tenang aja nanti gue traktir kalian di kantin sepuasnya." Ras kesal yang bercampur menjadi satu dengan perasaan gelisah dan takut tiba-tiba saja sudah menguap ke udara. Lalu, perasaan itu tergantikan dengan perasaan lega dan teriakan histeris. "Beneran lo? Ini nggak bohong, kan?" Pita bertanya, sedikit ragu. "Gue temen lo kalo lupa." Cici dan Pita kemudian saling tatap, kemudian nyengir satu sama lain sebelum mereka akhirnya melompat-lompat histeris menahan kegirangan. Diam-diam, senyuman Olivia terbit. Ada perasaan bangga tersendiri yang menaungi hati kecilnya kala bisa melihat orang lain tersenyum karena dirinya. "Ya udah, sana pergi. Tunggu apa lagi." Olivia mengusir dengan gerakan dagunya. Baik Cici maupun Pita cemberut beberapa detik, tapi tetap menurut, mereka membalikan badan. Begitupun dengan Olivia, ia ikut membalikkan badan dan berjalan beberapa detik sebelum tiba-tiba saja ia teringat sesuatu. Langkah kakinya terhenti, lalu tatapannya jatuh ke arah jaket biru navy milik Dion yang melekat di kedua tangannya. Olivia menyerngitkan keningnya hingga garis-garis tipis di sana terlihat begitu nyata, sekarang posisinya sedang berada di koridor lantai tiga gedung IPA. Ia pernah mendengar Dion menyebutkan namanya, lengkap dengan ia berasal dari kelas mana. Saat penglihatannya kembali lurus ke depan, Olivia menangkap gestur tubuh seorang cowok sedang berjalan. Segera Olivia menghampiri cowok itu, memilih mengesampingkan rasa malu-malu kucingnya sebagai citra seorang perempuan. "Hai," Olivia menyapa sembari menjulurkan tangannya hendak meminta jabatan tangan dari si cowok. Cowok tersebut menatap kaget Olivia yang tiba-tiba saja muncul di hadapannya, tatapannya datar, tapi ia tetap menjabat tangan Olivia walaupun sempat ragu untuk beberapa detik. "Gue Olivia, murid dari gedung IPS," ucap Olivia, mengangguk satu kali, berusaha ramah dengan orang baru. Satu alis cowok itu menukik ke atas, tatapannya memicing, tapi mulutnya enggan mengeluarkan seruan. Masih bungkam. Nih cowok padahal punya mulut, ngapain diem aja. Olivia membatin, agak kesal sebenarnya. Olivia memasang wajah pura-pura tersenyum, semakin lama ia canggung sendiri menghadapi manekin hidup seperti ini. "Gue mau tanya, lo kenal Dion kelas IPA 1 nggak?" Olivia berucap sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Hmm ..." jawab si cowok, masih mematri tatapan dengan wajah datar. Kedua tangannya tenggelam dalam saku celananya. Olivia tersenyum, "wah kebetulan banget, gue boleh minta tolong nggak?" Cowok itu mengangguk sekilas hingga perasaan Olivia sedikit lega. Ia langsung memberikan jaketnya kepada cowok yang belum memberitahu namanya, bahkan Olivia sudah menyerukan namanya saat kenalan tadi. Well, tidak sepenuhnya di sebut kenalan karena hanya Olivia seorang yang memperkenalkan diri, sementara cowok itu masih menjelma menjadi mayat hidup. Walaupun demikian, Olivia menyempatkan diri mencuri nama cowok itu lewat nametag di seragamnya. Keano Raditya Santara. Olivia akan mengingat nama itu. Keano mengambil jaket dari tangan Olivia tanpa satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Ia lekas berjalan melewati Olivia begitu saja. Olivia pikir, cowok itu akan berbalik badan untuk sekadar membalas ucapannya. Namun, nyatanya tidak sama sekaki. Keano pergi dengan kaki panjangnya. "Buset, mimpi apaan gue semalam ketemu cowok dinginnya minta ditabok kayak dia." Olivia mencibir pelan sembari geleng-geleng kepala, tidak habis pikir. Olivia memutuskan berjalan menjauh, sesekali masih melirik ke arah Keano. Ia menghela napas, mulai memusatkan pandangannya ke arah depan. Tujuannya kali ini adalah kembali ke dalam kelasnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD