"JANGAN lupa, nanti jam tiga lo harus udah stay di sini. Gue nggak mau nungguin lo kelamaan ya!"
Olivia sedikit membungkukkan badannya, berbicara seraya memperingatkan kepada Elrach. Hari ini ia harus di antar-jemput oleh cowok itu. Rencananya Elrach akan berkeliling ke area Jakarta menggunakan mobil Olivia dengan alasan bosan mengendarai mobil milik papanyaya. Semalaman Elrach memang menginap di rumah Olivia, dan besok pagi sudah kembali ke Surabaya. Tepat sekali, besok adalah akhir pekan. Jadi, Olivia sekalian bisa melihat kepergian Elrach dan Om Wisnu.
"Sip, gue nggak bakal lupa itu."
"Halah, nanti keasyikan keluyuran kalo lupa awas aja lo. Gue nggak bakal pinjemin lo mobil lagi," sungut Olivia, berujar sinis sambil memancarkan aura mata tajamnya.
Elrach terkekeh pelan, "ya udah gue mau senang-senang dulu. Dah ...."
Olivia tersenyum geli, ia ikut melambaikan tangannya sebelum akhirnya mobil itu melaju membelah kerumunan. Ia kemudian berbalik badan, mulai melangkah memasuki ke dalam area sekolah. Di tengah derap langkah kakinya, telinganya merangsang jika ada seseorang yang menyuarakan namanya, seketika pergerakan kaki Olivia terhenti, tepat setelah itu ia berbalik badan dan senyumannya mengembang bak adonan kue yang siap di masukkan ke dalam oven.
"Oliv gue kangen lo." Cewek dengan rambut sepunggung langsung menarik Olivia ke dalam pelukannya. Ia memilih tidak peduli akan tatapan menyelisik dari siswa lain.
Olivia meringis, sedikit tidak nyaman. Perlahan, ia melepaskan pelukan sahabatnya itu. "Yaelah, ketemu tiap hari juga."
Mereka berdua mulai melangkah beriringan menuju kelas, di saat kakinya akan melangkah meniti anak tangga, Olivia menoleh ke samping lengkap dengan alis yang naik ke atas karena Pita—sahabatnya, sedang bertanya sesuatu kepadanya.
"Liv, tadi yang anterin lo siapa? Pacar baru lo ya? Widih, cepet juga lo cari pengganti." Pita terkekeh, merangkul bahu Olivia. "Nah kayak gitu dong, cowok buaya kayak Saga emang nggak pantes lo tangisin mulu. By the way, namanya siapa Liv? Keren juga lo milih cowok," ucap Pita, terus menggebu hingga telinga Olivia terasa panas mendengar seruan dalam satu tarikan napas itu.
"Cacing Pita! Lo diem bisa nggak? Nyerocos mulu lo," sembur Olivia, menyentak tangan Pita yang sedang bertengger manis di bahunya.
Pita mengerucutkan bibirnya, "nggak ada panggilan yang lebih elit lagi apa, gue sebel kalo lo nyebut gue cacing pita mulu."
"Bodo amat, yang penting gue seneng." Olivia berjalan lebih cepat, meninggalkan Pita yang mencak-mencak di tempatnya. Tapi beberapa detik kemudian Pita berlari, menyusul Olivia sambil meneriaki nama sahabatnya itu.
Di ambang pintu kelas, sebelum seluruh tubuhnya masuk, Olivia berhenti di sana dengan bibir yang di tekuk. Ia memutar bola matanya, lalu melangkah menuju bangkunya dengan langkah pelan. Kelas selalu saja hening, senyap seperti tidak ada makhluk bernyawa di dalam sana saat Olivia memasuki ruang kelas.
Olivia bosan, selalu saja terjadi hal seperti ini. Seluruh teman kelasnya juga takut kepadanya, tapi Olivia sendiri sebal akan tingkah mereka. Apa yang perlu di takuti? Bukannya senang dan bisa berkuasa di sini, namun Olivia justru merasa seperti orang asing yang tidak diharapkan kehadirannya.
Ya ampun, Olivia bahkan tidak bisa membedakan apakah ini kelas atau kuburan. Satu-satunya suara yang tercipta hanya gerakan kaki Olivia yang menyentuh lantai. Buset, Olivia diam-diam mencibir kecil. Mereka semua hanya diam, tapi memperhatikan semua gerak-gerik Olivia menuju bangkunya.
"Halo semua!" Sontak saja, semua siswa di kelas XII IPS 2 mengalihkan pandangannya menuju ambang pintu, di mana Pita berada. Cewek itu masuk dengan mulut yang terbuka lebar, sampai giginya turut memperlihat diri.
Olivia menghela napas kasar di bangkunya. Lihat saja, kegaduhan di kelasnya kembali tercipta setelah itu. Saat-saat kelas ini menjelma menjadi kuburan hanya ketika Olivia memasuki kelas. Olivia kadang berpikir, seperti apakah dirinya ini sampai semua orang takut? Terlalu berlebihan dalam urusan kemarahan dan agresif? Mungkin Olivia akan akui itu, tapi ia sendiri melakukan hal itu jika dirinya benar-benar terusik. Tidak mungkin juga kab jika ia tiba-tiba marah-marah pada orang lain tanpa ada sesuatu pusat masalahnya?
Jika sudah seperti ini, Olivia akan menganggap semua teman kelasnya adalah musuhnya. Bukan salah Olivia kalau ia menyatakan hal seperti itu, melainkan mereka yang mulai duluan. Huff, menyebalkan sekali berdesakan di antara orang-orang yang membencinya.
Untung saja, Olivia memiliki Pita dan Cici, kedua teman kelasnya yang memang menganggap dirinya benar-benar ada. Bukan seperti teman kelasnya lain yang selalu mengucilkan dirinya.
"Hei buset, baru punya pacar udah ngelamun mulu." Olivia langsung tersentak, ia menoleh ke arah bangku sampingnya yang ternyata sudah ada Pita.
"Gue nggak ngelamun," tukas Olivia, ia mengatur napasnya yang tiba-tiba saja terdengar tidak fleksibel.
Pita menaruh tasnya di atas meja, lalu ia bertopang dagu seraya menatap Olivia dengan satu alis memicing ke atas. "Halah, kebanyakan ngeles lama-lama mulut lo jebol baru tahu rasa lo."
Hampir bersamaan dengan ucapan Pita yang sudah selesai, Olivia menggeram dan ia menghadiahi satu jitakan keras di kening Pita hingga membuatnya mengaduh, memekik menahan rasa sakit.
"Lo nggak pernah berubah anjir, harusnya lo traktir gue di kantin kek, apa itu kek. Baru jadian juga, malah marah-marah. Gue heran deh, lo cantik tapi mulutnya nggak ada bedanya sama bakso lava. Pedes."
Olivia mendengus, ia melirik Pita yang sedang berbicara ngalur ngidul sebelum akhirnya ia memilih memutar bola matanya. Satu tangannya mengambil earphone dari dalam tas, langsung saja ia memutar musik untuk menenangkan hati dan pikirannya yang sedikit absurd.
"Suara lo bisa di kecilin dikit nggak Pit?" Cici yang duduk tepat di depan Olivia langsung menegur, ia membalikkan setengah badannya, menatap Pita dengan raut wajah kesal.
"Lagi kesel gue!" balas Pita jengkel.
"Gangguin gue aja lo, kalo suaranya kayak Taylor Swift sih oke-oke aja. Lha elo, boro-boro lumayan, suara jelek kayak gitu juga." Cici mencibir, ia tidak berniat mendengarkan balasan dari Pita. Alhasil ia memilih kembali menghadap ke bangkunya
"Ah, banyak bacot lo. Mending lo bantuin gue."
Belum satu menit menghadap ke arah depan, sontak saja Cici kembali memutar badannya, perkataan Pita tadi sedikit mengalihkan perhatiannya. Bisa di bilang ia ingin tahu apa yang akan Pita katakan.
"Apaan?"
"Lo nanti juga bakal dapet untung kok kalo bantuin gue," cerocos Pita lagi.
Diambilnya buku dihadapannya, lalu dilanjutkan berdiri dari duduknya. Langsung saja buku ditangannya ini ia gulung. Kemudian ia arahkan ke kepala Pita.
"Nggak usah bertele-tele anjir, buruan kasih tahu gue," geram Cici, kemudian kembali duduk.
Pita mengusap puncak kepalanya, air mukanya cemberut, "nggak asik lo, main pukul aja." Pita menghela napas jengkel, lalu melanjutkan kata-katanya, "Oliv punya pacar baru, buruan minta PJ, lumayan biar hemat uang jajan."
Secepat kilat, Cici mengalihkan penglihatannya, lalu berakhir menatap Olivia yang sedang menidurkan kepalanya di bangku dengan kedua tangannya yang di lipat dan dijadikan bantal. Cici mencebikkan bibirnya, dalam sekali tatap saja ia sudah tahu bahwa sahabatnya ini tengah tidur.
"Tidur dia kayaknya tuh."