OLIVIA memakai topi berwarna coklat, hampir mirip dengan warna rambutnya, kemudian tangannya menyerobot tas yang sudah dipenuhi buku pelajaran. Setelah tas tersebut sudah tersampir di bahu, Olivia melangkah maju. Belum juga dua langkah meninggalkan bangkunya, ia sudah dihadiahi cekalan tangan dari Pita hingga keningnya mengerut tanda ia bingung.
Olivia rasa Pita tidak bodoh untuk mengartikan tatapan dirinya saat ini yang butuh kejelasan. Lagipula, kali ini Olivia sedang di serang mood malas untuk berbicara.
Sebelum membalas ekspresi Olivia dengan lisan, Pita melirik Cici yang sudah mengangguk mantap memberi semangat. Pita pun akhirnya mengangguk satu kali sebelum mengambil napas panjang.
"Liv, gue ...." Entah kenapa, begitu sulit untuk mengungkapkan isi hatinya, biasanya Pita tidak secanggung ini berbicara dengan Olivia. Menyebalkan, ia hanya bisa menggigit bibir bagian bawahnya. Cici yang sadar akan keguguran Pita lantas mencibir seraya memutar bola matanya.
Setelah menunduk untuk seperkian detik lamanya, Pita menengadah pandangannya menatap Olivia, sesekali masih mencuri pandang kepada Cici yang sudah memancarkan sorot mata mematikan. Hal itu tidak menutup kemungkinan bahwa Pita semakin takut berbicara kepada Olivia.
Merasa geram dan tidak punya waktu lebih lama lagi, Olivia segera menukas. "Sebenarnya lo mau ngomong apa sih? Lo berdua nggak pulang?"
Pita terkesiap, bibirnya gemetaran, ingin berucap tapi takut salah ngomong. "Gue .... Ma—mau..."
"Mau apa?" Olivia mengangkat dagunya, bingung dengan reaksi Pita. Menurutnya, tingkah sahabatnya ini begitu membingungkan.
Melihat Pita yang semakin gelagapan membuat Olivia mendengus, ia edarkan pandangannya ke sembarang arah sebelum seperkian detik kemudian kembali mematri tatapan ke arah bola mata Pita.
"Ngomong Pit, lo mau apa? Pulang bareng gue? Sori, tapi gue udah ditungguin orang di depan gerbang."
Segera Pita menggeleng cepat, bukan itu tujuannya menghentikan langkah Olivia yang akan meninggalkan kelas dan melesat menuju rumahnya.
Kembali Olivia mendesah kasar, perilaku Pita sekarang mengingatkan Olivia pada anak kecil yang diinterogasi oleh orang tuanya karena telah melakukan sesuatu yang tidak-tidak.
"Kalo nggak ada yang mau lo omongin, gue pergi sekarang."
"Tunggu!" Pita mencegah lagi. Lama-lama Olivia semakin kesal saja, ia kemudian mengindahkan pandangannya kepada Cici yang berdiri dalam diam tepat di sampingnya.
"Eh Ci, nih bocah kenapa sih? Gue balik nggak boleh, gue tanya alasan kenapa dia larang gue balik juga diem." Olivia mengomel sambil melirik Pita dengan raut muka jengkel menahan amarah.
Cici menghela napas, lalu tersenyum ke arah Olivia. "Katanya sih tadi ngomong sama gue mau nagih lo, kan lo katanya udah janji mau traktir kita di kantin."
Mendengar seruan itu, Pita yang tadinya menundukkan wajahnya seraya menatap sepatunya yang sedikit lusuh, seketika terbelak kaget, mengangkat kepala, kemudian dilanjutkan melempar tatapan seram pada Cici.
Siaal!
Pandai sekali Cici memutarbalikkan fakta itu, padahal dia yang mendesak Pita agar ngomong langsung kepada Olivia untuk membahas perihal traktiran itu. Dan sekarang? Cici malah menuduh Pita yang tidak-tidak. Sambil tersenyum sinis dan berusaha menekan rasa malu di raganya, Pita masih menunjukkan kilat mata tajamnya, seolah dengan itu ia menantang Cici untuk saling beradu otot setelah Olivia berlalu.
Olivia mendesaah kecil, kemudian mengambil dompet dari dalam tasnya. "Hadeh, sejak kapan cacing pita gue malu-malu kayak gini." Olivia menggeleng-gelengkan kepala takjub, ia mengambil sebelah tangan Pita dan meletakkan selembar uang bewarna merah di atas sana. "Nih, traktiran gue. Dari tadi tinggal ngomong apa susahnya sih? Buang-buang waktu gue aja lo. By the way sori, gue kasih lo traktiran mentahan, nggak pa-pa, kan?"
Pita yang sebelumnya merasa sangat malu seolah ditelanjangi secara paksa seketika terkejut, namun ia tersenyum canggung.
"I—ya Liv, nggak pa-pa kok. Makasih ya!"
Olivia mengangguk, sebelum berlalu ia menepuk bahu Pita, lalu melempar senyuman kepada Cici sebelum akhirnya tubuhnya bergerak menjauh dengan langkah gesit, tidak lama baginya untuk menghilang dibalik pintu kelas.
"Dasar Cici bloon! Sumpah lo nyebelin banget anying! Gue malu sama Oliv anjir."
Kepergian Olivia langsung saja Pita manfaatkan untuk memaki Cici. "Dasar munafik lo, padahal lo sendiri yang nyuruh gue buat ngomong sama Oliv, secara nggak langsung kan elo yang terlalu ngarep soal traktiran itu. Kenapa lo malah bilang kayak tadi ke Oliv?!"
Pita tidak berhenti berteriak, wajahnya merah padam. Ia meniup poninya yang jatuh dikeningnya dengan kasar. Napasnya tersengal, lelah juga bicara dengan melibatkan urat di lehernya.
Cici terkekeh, "lagian lo kelamaan banget, tinggal ngomong aja apa susahnya!"
"Diem lo!" ucap Pita tegas, ia menunjuk-nunjuk wajah Cici dengan jari telunjuknya.
Kembali Cici terkikik geli, tubuhnya beringsut mendekat, lalu menepuk puncak kepala Pita.
"Utututu ... Cayangku, ngambekkan banget sih." Cici mencubit pipi Pita dengan gemas. Mendapati perlakuan itu, secepat kilat Pita menghempaskan tangan Cici.
"Udah ah, kebanyakan marah nggak baik buat kesehatan, nanti cepet mati. Lebih baik kita senang-senang aja sekarang karena udah di kasih duit sama Oliv, kita makan bakso aja gimana?"
"Nggak mau!" jawab Pita tegas.
Kening Cici mengerut, segera ia menukas, "kenapa?"
"Gue nggak bakal bagi duit ini sama lo, Oliv kasihnya ke gue. Dan dia nggak bilang buat bagi-bagi sama lo. Jadi, otomatis duit ini punya gue, kalo lo mau, lo bisa ngomong sama Oliv besok."
Pita menyambar tasnya yang berada di atas meja, ia sudah menebak pasti Cici akan menyela ucapannya. Dugaannya seratus persen tidak meleset, Cici tidak terima atas perkataan Pita barusan. Pita mencebik dan menatap Cici dengan sinis. Lalu pergi dengan cepat.
"WOI ... CACING PITA! JANGAN KABUR LO! JANGAN MAIN CURANG LO YA!"
* * *
Dalam jarak radius lima meter, penglihatan Olivia bisa menangkap mobilnya yang sudah terparkir di dekat gerbang sekolahnya. Ia jelas paham hanya sekali tatap saja. Olivia lekas berjalan cepat, perasaannya sudah tidak enak karena membuat Elrach menunggunya di sana. Pasti cowok itu sudah datang sangat lama. Peristiwa ini tidak akan terjadi bila kedua temannya tidak mencegahnya. Namun, Olivia juga tidak bisa sepenuhnya menyalakan mereka. Dirinya juga salah, kalau Olivia tidak lupa akan traktiran yang sudah ia janjikan pada Pita dan Cici, akan dipastikan mereka berdua tidak menagihnya seperti tadi.
Di tengah langkah lebarnya, Olivia seketika di kejutkan oleh lemparan botol air mineral berukuran tanggung. Astaga, air di dalam botol tersebut tumpah di seluruh seragamnya karena tidak ada penutupnya. Olivia memekik, langkahnya langsung terhenti. Ia beringsut mengambil botol yang sudah terkapar di jalan, lalu meremasnya dengan geram. setelah benda plastik itu sudah tidak berbentuk lagi, ia membantingnya kesal.
Olivia celingukan, mencari si pelaku yang berani macam-macam kepadanya. Namun, ia hanya menemukan satu orang yang sedang duduk di atas motornya. Sebelum Olivia berjalan karena ia mengenali siapa pemilik motor tersebut. Tidak salah lagi, motor itu yang sudah membuat bodi mobilnya lecet. Olivia tidak mungkin salah, bahkan ia sangat ingat helm yang dikenakan oleh cowok itu.
Garis rahang Olivia mengetat, ia beringsut semakin cepat dengan mulut yang tidak berhenti bergerak misuh-misuh. Setelah di dekat cowok itu, Olivia berhenti. Untung saja cowok itu tahu diri dengan langsung melepaskan helm, mungkin saja ia takut kejadian beberapa hari silam terulang kembali.
"Buruan minta maaf lo!" Olivia segera menyerbu, ia menendang bodi motor milik si cowok dengan keras.
"Maaf."
"Itu doang?" Olivia berdecih, melipat kedua tangannya di depan dadaanya.
"Terus lo mau apa? Ganti rugi seragam lo? Seragam lo nggak lecet kok."
Olivia melengos, melepaskan earphone yang masih menyumpal di telinganya, segera ia masukkan ke dalam saku, kemudian tatapannya kembali terekspos ke arah wajah cowok itu yang sedang menukikkan sepasang alisnya.
Sebuah senyuman sinis muncul di kedua sudut bibir Olivia, ia mencebikkan bibirnya sebelum tiba-tiba saja memberi pukulan lagi. Kali ini tepat di pinggang cowok itu. Karena terlampau keras, hal itu tidak menutup kemungkinan bahwa cowok itu jatuh tersungkur di tanah, di ikuti motornya yang jatuh menindih tubuhnya. Sontak tawa Olivia pecah, sekarang ia sungguh puas. Kedua kakinya memutuskan untuk kembali berjalan, sesekali Olivia masih menengok ke belakang, menatap cowok tersebut dengan sudut bibir sedikit naik. Teriakan lantang cowok itu tidak Olivia hiraukan.
Biarkan saja dia menanggungnya sendiri. Bukannya memang seharusnya begitu, kan? Berani berulah, artinya tidak takut menerima resiko.