3. Lo Nggak Boleh Mati!

1258 Words
Mendengar kata-kata keramat terlontar dari Senja membuat Cakrawala menghentikan gerakan tangan dan langsung menoleh ke belakang. Netranya terbelalak melihat adik tirinya sudah melangkah ke arah nakas. Sepersekian detik, dia langsung berlari dan memeluk Senja. "Lepas, Bang, lepas! Gue mau mati aja, gue mau mati!!" Meskipun berusaha berontak dengan kedua tangan yang memukul asal, tatapan mata Senja fokus pada laci. Di dalam sana, ada gunting yang bisa digunakan untuk mengiris urat nadinya. Kali ini, bukan sekedar gertakan seperti sebelumnya. Dia sudah teramat lelah dan memutuskan untuk mengakhiri hidup yang penuh sesak. "Nggak, nggak boleh. Lo nggak boleh mati!" Cakrawala mengeratkan pelukannya tidak peduli seberapa keras Senja berontak. Akan seperti apa jadinya kalau Senja mati? Bukankah akan percuma Cakrawala hidup jika orang yang paling dicintai tiada? "Nggak! Lo nggak pengen gue hidup, lo pengen gue mati!" sergah Senja dengan raut memerah dan manik mata membola. Jika Cakrawala ingin Senja hidup, dia tidak akan bersikap seperti itu selama hampir 3 tahun. Tidak akan melakukan hal-hal yang membuat adiknya merasa putus asa dan memutuskan untuk mengakhiri hidupnya berkali-kali. "Sumpah demi apa pun gue nggak pengen lo mati. Itu sama aja gue bunuh diri, Senja," kata Cakrawala frustasi. "Lepasin, Bang, lepas!" Senja semakin kuat menggerakkan kedua tangan, bahkan kakinya pun ikut digerakkan. Kali ini dia benar-benar putus asa. Pikirannya kacau memikirkan kedua orang tuanya, jika sampai Cakrawala mengatakan perihal rencana gila untuk menikah. "Diam!" bentak Cakrawala kesal. "Gue capek, gue mau mati aja!" Senja tidak lagi berontak, tetapi beralih mengacak rambutnya sendiri sampai menjambak seperti orang gila. Kemudian, meracau sambil memukul-mukul kepalanya. "Gue bilang diam!!" bentak Cakrawala lagi. "Gue capek, gue mau mati. Gue capek, gue capek, Bang, gue capek." Tubuh Senja melemas dengan tatapan yang terlihat kosong. Napasnya pun terdengar memburu karena terlalu banyak bergerak dan teriak. "Ya udah, iya. Gue nggak bakal bilang ke Papa," ujar Cakrawala mengalah. Melihat kondisi Senja yang tidak memiliki semangat hidup membuat Cakrawala takut. Sekarang mungkin dia berhasil menggagalkan rencana bunuh diri adiknya. Untuk nanti dan seterusnya, dia tidak yakin bisa karena tidak selalu bersama selama 24 jam. "Bohong, Abang, bohong," sergah Senja menggeleng lemah dengan wajah yang sudah bersimbah air mata. "Nggak, gue serius. Gue janji nggak bakal bilang apa-apa ke Papa." Raut wajah Cakrawala menunjukkan keseriusan. "Senja!" Setelah ucapan Cakrawala terlontar, Senja jatuh pingsan. Mungkin dia lelah karena terlalu banyak mengeluarkan tenaga. Mungkin juga karena terlalu stres dan ketakutan. "Senja, bangun, Senja!" Cakrawala menepuk-nepuk pipi Senja sambil menopang seluruh tubuhnya. Cakrawala terlihat sangat panik. Dia lekas mengangkat tubuh Senja dan membaringkannya ke tempat tidur. "Senja, bangun! Plis, jangan bikin gue takut. Gue janji, gue nggak bakal bilang ke Papa. Sumpah gue nggak akan bahas apa pun masalah nikah." Cakrawala mengusap-usap pipi Senja berusaha membangunkan. Rasa takut kehilangan menyeruak di d**a. Bayang-bayang kekasihnya berlumuran darah dan sudah tak bernyawa membuat tubuh pria itu bergetar. "Nggak boleh, lo nggak boleh mati," racau Cakrawala. Pria itu membaringkan tubuhnya dan memeluk Senja dengan mulut yang tidak berhenti mengoceh. Entah sudah berapa lama, tanpa sadar Cakrawala tertidur. *** "Selamat malam, Pak Esa," sapa Arya sambil mengulurkan tangan. Mahesa pun membalas uluran tangan Arya dan menepuk bahunya. "Panggil om saja. Kita 'kan sedang bertemu di luar pekerjaan." Setelah menandatangani perjanjian kerjasama, Mahesa mengundang Arya makan malam di rumahnya. Hal itu dia lakukan demi mempererat hubungan kerjasama antar perusahaan. "Baik, Om," ucap Arya mengangguk. Biasanya, sang ayah yang selalu diundang makan malam oleh Mahesa. Mungkin karena kerjasama kali ini Arya yang mewakilkan, jadi justru dia yang diundang. Terlebih, keadaan sang ayah belum membaik juga. "Oh iya, ini istri saya, Wulan," kata Mahesa memperkenalkan. "Selamat malam, Tante." Arya menyapa dengan seulas senyuman. "Malam, Arya. Ternyata memang benar kalau kamu mirip sekali dengan ayahmu," balas Wulan basa-basi. Sebelum Arya sampai, Mahesa sudah menjelaskan tentang siapa tamu yang diundang. Jadi, sang istri bisa dengan mudah berinteraksi dan tidak hanya diam. "Mari masuk," ajak Mahesa mempersilakan. Mereka bertiga masuk dan duduk di sofa. Melihat kedua anaknya belum juga turun membuat Mahesa mengerutkan kening bingung. Harusnya Cakrawala dan Senja ikut menyambut kedatangan Arya, tetapi sampai sekarang mereka belum muncul juga. "Panggil Wala dan Senja, Ma. Udah jam segini, tapi mereka belum turun juga. Nggak enak 'kan sama tamu kita," ujar Mahesa berbisik. Mahesa tidak tahu kalau putranya sedang berulah di kamar Senja. Melarang keluar karena takut akan berinteraksi dengan Arya. Jika tidak, mungkin mereka sudah bersamanya sejak tadi. "Iya, Sayang." Wulan bergegas berdiri dan bersiap meninggalkan area ruang tamu. Namun, pergerakannya urung ketika mendengar suara Cakrawala. "Maaf, kami terlambat." Semua orang menatap ke asal suara. Saat ini, Cakrawala sedang menguasai pinggang Senja meski berulang kali dijauhkan. Di antara Mahesa dan Wulan tidak ada yang curiga. Tentu saja karena sejak dulu sikapnya memang seperti itu. Namun, tidak dengan Arya yang terlihat mengerutkan kening. Tatapannya pun tertuju pada pinggang Senja di mana tangan Cakrawala tersemat. "Sudah waktunya makan malam, lebih baik kita ke ruang makan sekarang juga." Mahesa merasa tidak perlu mengenalkan kedua anaknya. Arya dan Cakrawala sudah saling mengenal, bahkan jauh sebelum perusahaan mereka bekerjasama. Untuk Senja, di cafe pagi tadi sudah dibahas ketika Arya bertanya. Akhirnya, mereka semua menuju ruang makan. Mahesa menduduki kursi kepala keluarga, Wulan duduk di sisi kiri bersebelahan dengan Senja. Sementara Cakrawala dan Arya duduk beriringan sebelah kanan. Tatapan mata Cakrawala fokus pada Senja yang sibuk menikmati makanannya. Kemudian, beralih pada Arya karena takut pria itu akan mencuri pandang pada adiknya. Setelah memastikan, barulah dia fokus pada dirinya sendiri. Acara makan malam selesai dan mereka pindah ke ruang tamu. Menikmati teh hangat sambil berbincang. Entah itu urusan pekerjaan atau sedikit ke arah pribadi. Sampai pada pukul sembilan, Arya memutuskan untuk undur diri. "Sudah malam dan besok pagi saya ada meeting penting. Terima kasih untuk makan malamnya." Sebenernya belum terlalu malam. Arya hanya merasa tidak nyaman saja karena terus-menerus ditatap oleh Cakrawala. Apalagi tatapan matanya seolah dirinya berniat untuk mencuri sesuatu yang berharga di rumah itu. "Sama-sama. Jangan kapok kalau kapan-kapan saya undang lagi." Mahesa terlihat sangat nyaman dengan Arya. Apalagi sejak awal dia selalu berusaha membuka pembicaraan meski terkadang Arya kebingungan harus berkata apa. "Tidak mungkin. Masakan istri dan putri Om Esa sangat enak. Saya akan dengan senang hati kalau diundang lagi. Kalau begitu, saya permisi." "Senja, antar Arya ke depan," pinta Mahesa. Alasan mengapa Mahesa meminta Senja untuk mengantar karena ingin menghapus pemikiran buruk Arya tentang putrinya. Barangkali saja mereka bisa mengobrol meski hanya sebentar. "Iya, Pa," sahut Senja beranjak berdiri. Sementara itu, Cakrawala menatap kesal ayahnya. Kenapa tidak meminta dirinya saja untuk mengantar? Lalu, dia beralih menatap Senja yang terlihat tidak keberatan. Apalagi setelah mereka berjalan beriringan dan keluar. "Nggak bisa dibiarin." Cakrawala membatin dan bergegas mengejar. Sampai di luar, dia langsung menarik tangan Senja kasar. "Aww!" pekik Senja terkejut. "Ayo, masuk!" ajak Cakrawala dingin. "Ngga mau," tolak Senja. "Lo mau masuk sendiri atau mau gue paksa!" Lagi-lagi, Cakrawala merasa sikap Senja semakin berubah setiap kali bertemu Arya. Rasanya tidak seperti Senja yang dia kenal sebelumnya. Jauh dari kata patuh dan justru menjadi lebih pembangkang. "Nggak, gue nggak mau masuk!" tolak Senja lagi. "Mau nggak mau, lo tetep harus ikut gue masuk!" kata Cakrawala bersikeras. Tidak peduli ada Arya di sana, Cakrawala menarik tangan Senja lebih keras lagi. Dia terpaksa melakukan itu karena sudah tidak tahan lagi. "Maaf, bukan maksud mau ikut campur. Meskipun Senja adik kamu, tapi nggak seharusnya sikapmu sekasar ini sama dia." Arya berusaha mengemukakan pendapatnya sesopan mungkin. Meskipun dia mengenal Cakrawala, tetapi apa yang terjadi di depan mata tidak termasuk urusannya. "Ngga usah ikut campur! Ini urusan gue sama adek gue!" bentak Cakrawala tidak terima. Tangannya menunjuk ke arah Arya dengan manik mata membola dan memerah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD