"Awww!"
Senja memekik kesakitan karena Cakrawala menarik tangan dan mendorongnya ke tempat tidur. Sayangnya, pria itu tidak peduli seolah hal seperti itu sudah biasa. Tidak seperti cakrawala yang eksistensinya mengajarkan makna kehidupan. Pria itu justru ditakdirkan hadir untuk merusak jiwa dan raga Senja.
"Gue berhak. Gue berhak karena gue orang yang paling cinta sama lo," sanggah Cakrawala menggebu.
"Kalo cinta nggak kayak gini, Bang. Lo cuman terobsesi aja sama gue."
Cinta yang Senja tahu tidak seperti itu. Cinta tidak harus memiliki dan rela melihat orang yang dicintai bahagia meski bukan dengan dirinya.
"Nggak, ini cinta. Gue cinta sama lo." Cakrawala mengungkung tubuh Senja dengan mengunci kedua tangannya. "Sekarang, jelasin!"
"Jelasin apa? Ngga ada yang perlu dijelasin!"
Senja berusaha melepaskan diri. Tangan dan kakinya digerakkan, tetapi Cakrawala berhasil mengunci pergerakannya. Dia terlihat seperti seorang penghianat yang pantas diperlakukan dengan kejam.
"Kenapa, sih, harus selalu pake cara kekerasan kayak gini? Emang nggak bisa ngomong pelan-pelan?" tanya Senja dengan kedua sudut mata yang berair.
Bukankah wanita diciptakan dari tulang rusuk laki-laki? Dia diciptakan untuk dicintai dan dilindungi. Bukan untuk disakiti hingga berdarah-darah seperti ini.
"Bukannya dari tadi gue udah tanya baik-baik sama lo? Tapi, lo malah berusaha menghindar dan bikin gue kesel," sergah Cakrawala tidak mau kalah.
Andai sejak awal Senja langsung menjawab ketika ditanya. Kejadian seperti ini tidak akan pernah terjadi. Paling Cakrawala hanya akan merasa kesal sendiri karena adiknya keluar rumah atas perintah sang ayah.
"Lo tahu kenapa gue ada di sana, Bang. Papa ... papa yang suruh gue anterin dokumen. Gue juga ngobrol sedikit sama pegawai cafe cuman tanya loker doang," sahut Senja menjelaskan.
Jika hanya karena Senja berbicara dengan pegawai cafe, maka itu konyol. Dia makhluk sosial dan hidup di dunia ini tidak sendiri. Sudah sepantasnya berinteraksi dengan orang lain karena manusia hidup membutuhkan bantuan orang lain.
"Harusnya lo kasih tahu gue dulu biar gue yang anterin itu dokumen," kata Cakrawala bersikeras.
Bukan karena Senja berbicara dengan pegawai cafe yang membuat Cakrawala marah, tetapi Arya. Keingintahuan pria itu membuat Cakrawala sadar kalau Senja mampu menarik perhatiannya. Pria biasa yang mendekati adik tirinya saja berhasil membuat pria itu naik pitam. Apalagi sosok Arya Sheta Lazuar yang memiliki profil sempurna.
"Tapi Papa bilang buru-buru. Kalo gue bilang sama lo dulu, terus kapan itu dokumen sampe ke tangan Papa?"
Ya, benar. Mahesa mengatakan kalau dokumen itu sangat penting dan dia sangat membutuhkannya saat itu juga. Jika pertemuan yang gagal tidak mendadak dilanjutkan, dia tidak akan meminta Senja untuk mengantar dokumen penting itu.
"Ah, sial!" umpat Cakrawala kesal. Dia menghempaskan tubuhnya di samping Senja dengan kasar.
Cakrawala tahu betul apa yang akan ayahnya bahas dengan Arya. Jadi, dia tidak bisa menyalahkan Senja begitu saja. Akan tetapi, rasa tidak rela ketika Arya melihat wajah dan tertarik pada adik tirinya membuat kekesalan bercokol di d**a.
"Lo mau ke mana?" tanya Cakrawala melihat Senja beranjak bangun.
Tidak tahu apa yang bersarang di kepala Senja? Wanita itu selalu kabur-kaburan ketika ada Cakrawala di sana. Sikapnya itu terlihat seolah dirinya parasit. Dan yah, bagi Senja pria dengan senyum menjengkelkan itu memang parasit yang pantas untuk dijauhi.
"Nggak ke mana-mana! Emang lo pikir gue bisa pergi ke mana?!" sahut Senja sewot.
Mau pergi sejauh apa pun, Senja yakin tidak akan pernah lepas dari Cakrawala. Pria itu selalu tahu keberadaannya karena mata-mata yang dibayar begitu lihai melakukan pekerjaannya.
"Kenapa lo nggak kerja di perusahaan Papa aja, sih, bareng gue?" tanya Cakrawala menatap punggung Senja lekat.
Lagi-lagi pertanyaan konyol Cakrawala lontarkan. Bagaimana bisa Senja mau bekerja di tempat yang sama dengannya, sedangkan sikapnya seperti kekasih posesif. Tidak, dia seperti orang terobsesi berkedok cinta.
Senja menghentikan langkahnya dan berbalik. Tidak lupa melipat kedua tangan di perut sebelum akhirnya menjawab, "Lo nanya?"
"Ya iyalah. Lagian ngapain coba cari kerja sana sini yang jelas-jelas nggak bakal nerima lo?" Cakrawala merubah posisi miring sambil menyangga kepala.
"Nggak usah pura-pura bego lo, Bang! Harusnya gue udah kerja sejak pertama kali lulus, kalo lo nggak bikin ulah terus-terusan." Senja melanjutkan langkahnya dan duduk di sofa.
"Makanya, lo kerja di perusahaan Papa aja."
Cakrawala beranjak turun dari tempat tidur. Menatap adiknya lalu melangkah mendekat. Dia ikut duduk di sofa dan tiba-tiba berbaring di pangkuan Senja.
"Awas!" seru Senja mendorong kepala Cakrawala agar menjauh.
Satu hal yang paling membuat Senja jengah. Selain gila karena berulang kali mengatakan cinta, Cakrawala selalu bersikap seenaknya. Tidak peduli seberapa keras dia menolak, kakak tirinya seolah buta dan tuli.
"Bentaran doang," ujar Cakrawala bersikeras membaringkan kepalanya di pangkuan sang adik tiri.
"Nggak mau! Minggir nggak?" tolak Senja mendorong kepala kakak tirinya lagi.
"Diem atau lo bakal nyesel!" ancam Cakrawala menatap Senja tajam.
Senja mendengus kesal, melipat kedua tangan di perut dan membuang pandangan. Entah sampai kapan Cakrawala akan bersikap seperti itu padanya? Mengancam lagi dan lagi seolah dia anak kecil yang sulit sekali diatur.
"Senja?" panggil Cakrawala.
"Apa?!" sahut Senja ketus.
"Nikah, yuk!"
Sebelum Arya bertindak dan membuat Senja jatuh cinta, Cakrawala ingin memutus kemungkinan terburuk. Menjadikan wanita itu miliknya secara utuh dengan cara menikah.
"Cukup, Bang! Stop, jadi gila!" seru Senja mengingatkan.
Sering sekali Cakrawala mengutarakan perasaan, bahkan sampai tak terhitung jumlahnya. Namun, baru kali ini Senja mendengar kata lamaran terlontar.
"Gue sayang, gue cinta sama lo, Senja. Kapan, sih, lo bisa ngertiin perasaan gue?" Cakrawala beranjak duduk dan menatap Senja frustasi.
"Udah berapa kali gue bilang kalo gue ini adek lo. Nggak ada adek nikah sama abangnya sendiri. Jadi, tolong waras sedikit dan jangan gila terus-terusan. Gue capek, gue capek sama sikap lo yang kayak gini," sanggah Senja menggebu.
Sebelum kegilaan lain Cakrawala lakukan, Senja berdiri dan bersiap pergi. Namun, rencananya sudah terbaca dan Cakrawala sudah meraih tangannya. Menarik kuat-kuat hingga jatuh ke pangkuan dan memeluk.
"Lepas, Bang, lepas!" seru Senja berontak.
"Abang, lepas!"
Alih-alih menuruti ucapan Senja, Cakrawala justru menyentuh tengkuk dan merenggut bibirnya secara paksa.
Sementara itu, Senja berusaha berontak. Memukuli d**a bidang Cakrawala hingga membabi buta. Dengan napas yang memburu dan manik mata membola, dia berdiri.
"b******k lo, Bang! b******n!" umpatnya sambil menendang kaki Cakrawala. Setelah itu, mengangkat tangan berganti menampar wajahnya.
Cakrawala tidak terlihat kesakitan sama sekali. Dia menyentuh pipinya dan tersenyum. Lalu, meraih tangan Senja hendak menariknya.
"Cukup, Bang, cukup! Kenapa lo nggak bunuh gue aja sekalian?! Gue capek lo perlakuin kayak gini terus!" bentak Senja murka.
"Oke-oke, hari ini cukup. Nanti malem kita bisa bahas lagi masalah pernikahan kita."
Takut Senja akan berbuat nekat lagi seperti sebelumnya dengan menodongkan pisah ke nadi, Cakrawala memilih berhenti.
"Nggak, gue nggak mau nikah sama lo!" tolak Senja tegas.
Cakrawala berdiri dengan santai. Mengusap kepala Senja meski berakhir ditepis. "Gue balik ke kantor dulu. Nanti gue bakal bilang ke Papa gimana caranya biar kita bisa nikah."
"A-apa?" Terlalu terkejut membuat Senja membelalakkan mata tidak percaya.
Cakrawala tersenyum dan berjalan melewati Senja menuju pintu. Jujur, dia tidak tahu bagaimana cara mengatakannya pada sang ayah. Namun, mengingat Arya akan merebut Senja darinya membuat pria tinggi semampai itu bertekad. Tidak peduli apa yang akan ayahnya katakan, Cakrawala akan menikahi Senja.
"Bang, Abang, tunggu!" Setelah mencerna ucapan sang kakak, Senja berlari mengejar. Berdiri tepat di depan Cakrawala berusaha mencegah langkahnya. "Tolong, jangan bilang ke Papa. Kita nggak mungkin nikah, Bang, nggak mungkin."
Cakrawala menyentuh bahu Senja dan mendekatkan wajahnya. "Kenapa nggak mungkin? Kita cuma sodara tiri dan gue yakin meski kita menikah nggak akan jadi masalah."
"Tapi gue ngga cinta sama lo, Bang. Gue cuma anggep lo kakak dari pertama kali gue masuk ke rumah ini." Raut wajah Senja terlihat sangat frustasi.
"Udah, tenang aja. Pokoknya gue bakal bujuk Papa biar setuju kita nikah," ujar Cakrawala tidak peduli.
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Cakrawala mengusap kepala Senja dan mengecupnya. Lalu, melangkah melewati adiknya dan bersiap membuka pintu yang terkunci.
Di belakangnya, Senja menunduk dengan tangan mengepal penuh tekad. "Kalo Abang bilang ke Papa, lebih baik gue mati!"