4. Senja Yang Gue Tahu

1116 Words
"Gue tahu ini bukan urusan gue, tapi nggak seharusnya lo sekasar ini sama perempuan. Nggak peduli meski Senja adek lo sekalipun," sergah Arya menggebu. Semula, Arya bersikap sopan karena hubungannya dengan Cakrawala tidak terlalu dekat. Namun, ia tidak bisa bersikap sopan lagi melihat betapa kasar pria itu pada seorang wanita. "Kalo lo tahu, ya udah sana pulang. Kenapa lo masih di sini dan ikut campur urusan gue?" Cakrawala semakin kesal melihat sikap Arya yang sok peduli. Dia yakin hal itu dilakukan demi merebut Senja darinya. "Ayo, masuk!" Dia kembali menarik paksa tangan Senja. Senja menggeleng dan membatin, "Jangan, aku baik-baik saja. Lebih baik kamu pulang sebelum Bang Wala lebih marah dari ini." "Cak--." Ucapan Arya terpaksa terputus melihat gelengan dari Senja. Entah mengapa, dia melihat kesedihan yang mendalam dari sorot matanya. "Apa gue salah lihat? Senja yang gue tahu sosok dingin yang angkuh, tapi sekarang ... dia ... dia benar-benar terlihat lemah. Apa jangan-jangan dia ...," batin Arya berkecamuk. Pria kedua dari pewaris Lazuar Group ini sama sekali tidak tahu bahwa Senja tengah mengkhawatirkannya. Jika dia terus berusaha membela, maka Cakrawala tidak akan segan melukainya. Sama seperti pria di luaran sana yang bersikeras mendekati Senja. "Ayo, masuk!" seru Cakrawala lagi. Senja mengangguk pada Arya dan membiarkan Cakrawala menyeretnya ke dalam. Dia tidak lagi berontak karena tidak ingin menimbulkan keributan apa pun. Apalagi ayah dan ibunya sedang berada di ruang tamu. Jadi, Senja lebih memilih mengalah seolah tidak terjadi apa-apa. Sementara itu, Arya hanya sibuk memperhatikan. Memikirkan kemungkinan mengapa Senja terlihat sangat berbeda. Dia pikir, wanita itu berusaha menyembunyikan luka di balik topeng dingin dan angkuh yang ditunjukkan selama ini. Setelah sosok Senja dan Cakrawala tak lagi tertangkap pandangan, Arya memutuskan masuk ke mobil. Mengemudi dan keluar area rumah mewah keluarga Kertadinata dengan segudang pertanyaan di benaknya. *** Tepat ketika sampai di depan pintu, Senja menghempaskan tangan Cakrawala. Dia masuk dengan senyum kebohongan dan menjawab pertanyaan ayahnya. Lalu, langsung pamit masuk ke kamarnya di lantai 2. Dan, di sanalah dia berada saat ini, di ruang serba biru muda dengan garis-garis putih di sisi kiri tempat tidur. "Malem ini cukup, Bang. Gue takut pingsan lagi kalo lo terus-terusan kayak gini," ujar Senja lemah. Namanya Mentari Senja. Namun, hidupnya tak secerah mentari yang bersinar di pagi dan seindah senja di sore hari. Hatinya dipenuhi kabut malam yang menghalangi hadirnya bulan dan bintang. Padahal seharusnya, indahnya langit malam pantas dijadikan sebagai penghilang penat setelah seharian beraktivitas. "Nggak bisa. Gue harus selesein malem ini juga atau gue nggak akan bisa tidur," tolak Cakrawala bersikeras. "Sebenernya apa yang harus diselesein, sih, Bang? Gue cuman anter rekan kerja Papa ke depan dan itu juga atas perintah Papa sendiri. Terus, salah gue di mana?" tanya Senja nyalang. Entah apa yang terjadi pada semesta? Kenapa sulit sekali sekedar untuk berpihak padanya? Sebenernya, kesalahan apa yang telah Senja perbuat di masa lalu? Kenapa rasanya seperti kesalahan besar yang pantas mendapat balasan sekejam ini? Tidak cukup dengan merenggut nyawa ayah tercinta. Kini, Cakrawala pun dia renggut kasih sayangnya dan diubah menjadi kegilaan. "Salah lo nggak langsung masuk pas gue minta," sanggah Cakrawala menggebu. Konyol memang, tetapi seperti itulah Cakrawala. Memangnya dia pikir dirinya siapa? Kenapa Senja harus selalu menuruti setiap kata yang terlontar dari mulut egoisnya? "Bang, plis? Berhenti jadi konyol! Kenapa gue harus nurutin, sedangkan lo maksa? Harusnya lo ajak gue pelan-pelan atau minimal tanya kenapa gue nggak mau masuk." Senja menolak diajak masuk bukan karena ingin melihat Arya masuk mobil dan keluar area rumahnya. Hal itu sama sekali bukan gayanya, apalagi mereka tidak memiliki hubungan apa-apa. Dia hanya ingin menikmati udara segar malam hari setelah seharian tak sadarkan diri. Tubuhnya masih terasa lemas bahkan wajahnya terlihat pucat jika tidak dipoles dengan riasan. "Oke. Jadi, kenapa lo nolak gue ajak masuk?" Cakrawala berusaha memahami Senja dan mengesampingkan kecemburuannya. "Telat! Harusnya lo tanya tadi sebelum narik-narik gue maksa buat masuk," balas Senja sewot. Kenapa Cakrawalanya harus berubah menjadi seperti ini? Padahal sebelumnya, dia pria hangat yang selalu memahami. Berusaha keras mengubah dunia Senja yang semula gelap menjadi terang. Berusaha menghapus kepedihan setelah kepergian mendiang ayahnya untuk selama-lamanya. Namun sekarang, dunia yang sempat dia bangun dengan mudahnya dihancurkan menggunakan tangannya sendiri. "Senja?" panggil Cakrawala. "Gue capek, Bang, mau istirahat. Gue udah nggak punya tenaga lagi buat debat sama lo." Setiap kali menghadapi Cakrawala, dunia Senja langsung menggelap. Peran mentari di pagi dan senja di sore hari seolah tidak berarti apa-apa. Awan hitam menggulung sampai kaki langit dan menimbulkan hujan badai. "Apa susahnya jawab coba? Gue pikir ngga akan memakan waktu sampai berhari-hari." Cakrawala berusaha menahan emosi mengingat kedua orang tuanya belum pergi tidur. "Gue butuh udara segar. d**a gue sesak setiap kali berhadapan sama lo, Bang. Jadi gue mohon, pergi dan biarin gue istirahat. Sumpah, gue capek banget," sanggah Senja sebelum akhirnya menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur. "Oke, gue pergi. Tapi sebelum itu, gue mau ingetin satu hal sama lo." Ekspresi wajah Cakrawala tiba-tiba berubah serius. Senja melirik Cakrawala tanpa berniat untuk bangun. Dia yakin apa pun yang keluar dari mulut kakaknya selalu merugikannya. "Apa?!" tanyanya ketus. "Gue nggak suka lo deket-deket sama Arya. Jadi, sebisa mungkin lo ngejauh sebelum gue lepas kendali. Ngerti?" Cakrawala tipe pria yang kesabarannya setipis kulit ari buah salak. Jika disenggol sedikit saja, emosinya langsung meledak. Terlebih jika sesuatu yang dianggap miliknya diganggu. Pria itu tidak akan segan untuk sekedar mengancam atau lebih parahnya langsung bergerak menyakiti. "Gue nggak ada hubungan apa-apa sama dia, tapi nggak tahu nanti. Soalnya kalo dilihat-lihat, dia orangnya baik dan--." Senja tidak bermaksud memuji. Dia hanya sekedar basa-basi karena ingin membuat Cakrawala marah. Lagi pula, pertemuannya dengan Arya selalu dirancang oleh semesta. Tidak ada rasa apa-apa dan mengalir begitu saja. Namun, tidak dengan adegan perpisahannya kali ini. Apa yang Arya lakukan di halaman rumah tadi membuatnya memberi nilai tambah. "Cukup!" potong Cakrawala murka. Manik matanya membola dengan tangan terkepal kuat. "Ya udah, sana gue mau tidur," kata Senja malas. Dia langsung merubah posisi dan membelakangi Cakrawala. Entah apa yang ada di kepala Senja? Dari mana datangnya keberanian yang selama ini dia sembunyikan? Mengatakan sesuatu yang jelas-jelas Cakrawala larang. Apalagi mengusirnya begitu saja setelah membuat sang kakak marah. "Senja?" Cakrawala menggertakkan gigi geram. Senja tidak tahu kalau Cakrawala mendekat. Dia menyadari hal itu setelah keadaan tak lagi memihak. Kini, pria itu sudah mengungkung tubuhnya dan bersiap mengecup bibirnya. Tiba-tiba, suara ketukan terdengar. Kemudian, dilanjutkan dengan suara Wulan yang memanggil, "Senja, sayang?" Mendengar suara sang ibu membuat Senja terkejut. Netranya langsung bertemu dengan tajamnya bola mata milik Cakrawala. Lalu, berusaha menjauhkan tubuh kakaknya meski kesulitan. "Apa gue biarin aja Mama lihat kita dalam keadaan kayak gini? Atau bila perlu pas gue cium lo? Pasti setelah ini kita bisa menikah." Cakrawala menyeringai tipis seolah kejadian beberapa jam lalu tidak pernah terjadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD