12. Cukup!

1012 Words
"Hah-hah-hahahaha ...." Tidak tahu harus berbuat apa membuat Senja tertawa canggung. Dia marah, tetapi tidak bisa melampiaskan. Wajahnya tersenyum, tetapi sudut matanya berair. Entah bagaimana cara menyamarkan pengakuan konyol Cakrawala sebagai candaan? Sementara itu, Raya dan Arya terlihat kebingungan. Namun, tidak dengan Cakrawala yang menantikan reaksi Senja selanjutnya. "Abang apaan, sih, bercandanya?" Senja memukul lengan Cakrawala sambil melirik ke arah Raya dan Arya, "Abang saya bercanda, Bu Raya, Pak Arya," imbuhnya menjelaskan. "Siapa yang bercanda? Gue serius, kok," sergah Cakrawala menggebu. Sebenarnya Cakrawala tidak berniat mengatakan hal itu. Akan tetapi, sikap yang Raya tunjukkan membuatnya tidak bisa menahan diri. Dia tahu ada niat terselubung di belakang sikap wanita itu. "Bang?!" Senja menatap Cakrawala mengingatkan agar berhenti. "Iya, Sayang," sahut Cakrawala sambil mengangkat tangan bersiap mengusap rambut Senja. Sayangnya langsung ditepis oleh sang empu. "Cukup, bercandanya!" seru Senja langsung berdiri. Tidak hanya ketika bersama Senja saja Cakrawala beromong kosong, tetapi kini di depan Raya dan Arya juga. Sebenarnya apa tujuan sang kakak melakukan hal itu? Kenapa tidak ada hentinya bersikap sesuka hati? "Maaf, Bu Raya. Tiba-tiba saya merasa kenyang dan ingin kembali ke kantor." Senja berusaha tersenyum meski wajahnya sudah memerah. "Apanya yang kenyang? Tadi katanya lo laper banget," kata Cakrawala menimpali. Tanpa memedulikan kakak tirinya, Senja menatap Arya dan berkata, "Pak Arya, saya duluan." Setelah mengucapkan kata-kata itu, Senja langsung melangkah pergi. Meski tangannya dicekal, dia hempaskan berkali-kali agar terlepas. Kali ini Cakrawala sudah benar-benar keterlaluan dan Senja tidak bisa terus diam. "Lo mau ke mana? Ayo, makan dulu!" Lagi-lagi, Cakrawala mencekal lengan Senja. Kini, posisi mereka sudah di luar restoran. "Lepas!" Senja menghempaskan tangan dengan tatapan nyalang. "Nanti sore nggak jadi. Gue udah nggak pengen makan mie ayam deket rumah lagi. Abang juga nggak usah jemput, gue mau pulang sendiri naik bis." Satu kata untuk menggambarkan perasaan Senja saat ini yaitu muak. Dia sudah tidak tahan lagi menghadapi sikap keterlaluan Cakrawala. Untuk hari ini dan seterusnya, jangan harap Mentari Senja akan tinggal diam seperti sebelumnya. "Lo kenapa, sih?" tanya Cakrawala sewot. Entah apa yang bersarang di kepala Cakrawala. Dia yang membuat ulah dan dia juga yang marah dengan sikap Senja. Bukankah seharusnya Senja yang marah karena kelakuannya? "Abang yang kenapa?!" Senja balik bertanya dengan tatapan nyalang. "Cuman gara-gara masalah tadi dan lo sampai semarah ini? Astaga, Senja!" Cakrawala meraup wajahnya kasar tidak habis pikir dengan reaksi adik tirinya. Hanya karena beberapa patah kata dan Senja sampai semarah ini. "Cuman Abang bilang, cuman?" Senja ingin tertawa, tetapi juga ingin menangis. Bagi Cakrawala mungkin bukan apa-apa, tetapi baginya kalimat itu sangat mengerikan. Apalagi diucapkan di depan orang lain yang mengetahui hubungan keluarganya. "Mereka atasan gue dan tahu status kita. Dengan seenaknya Abang bilang kalo gue ini ... astaga! Rasanya gue bener-bener mau gila. Sekalian aja bilang ke Papa kalo Abang calon suami gue! Setelah itu, nggak bakal ada lagi Mentari Senja di dunia ini," lanjut Senja menggebu. "Cukup!" bentak Cakrawala geram. Kelemahan Cakrawala hanya satu yaitu ketika Senja menunjukkan tanda-tanda mengakhiri hidupnya. Rasanya seperti jiwanya direnggut secara paksa dari tubuhnya. "Nggak, ini nggak cukup!" sergah Senja tidak mau kalah. Dengan napas memburu dan manik mata berkaca-kaca, Senja menatap Cakrawala. Kemudian, dia kembali berkata, "Abang nggak akan brenti, kan? Oke, biar gue aja yang bakal mengakhiri semua ini." Senja melangkah pasti. Jika dengan mati Cakrawala akan berhenti. Maka, berdiri di depan kendaraan yang melaju kencang adalah pilihan terbaik. Tidak peduli akan terasa begitu sakit, itu akan lebih baik daripada menjadi gila menghadapi kakak tirinya. Kini, Senja sudah berdiri di trotoar dan siap melompat ke jalanan. Namun, baru mengangkat sebelah kaki dan tangannya sudah ditarik. "Lepas!" bentak Senja ketika Cakrawala menarik tangannya. "Lo gila, ya?!" bentak Cakrawala tanpa melepas genggaman tangan. "Bukan gue, tapi lo! Lo yang gila dan gue lebih milih mati daripada ikut gila!" Senja menatap Cakrawala nyalang. Andai pria itu tidak menarik tangannya, mungkin tubuhnya sudah dihantam mobil hingga terpental dan mencium kerasnya aspal. "Jadi, lepas! Lepasin gue!" lanjut Senja berteriak. "Nggak, gue nggak akan pernah lepasin lo!" tolak Cakrawala menggebu. Tidak mungkin bukan kalau Cakrawala membiarkan Senja mengakhiri hidupnya dengan cara seperti ini? Rasanya, kejadian seperti itu sudah pernah terjadi sebelumnya dan rasa sakitnya menyeruak di d**a. "Lepas, lepas, lepas!" Senja memukuli d**a Cakrawala sebagai bahan pelampiasan kekecewaannya. "Ya, lo pukul aja gue. Pukul sampe puas. Setelah itu, jangan berpikir buat bunuh diri lagi," ujar Cakrawala lirih. Bagi Cakrawala, pukulan yang Senja layangkan tidak ada rasanya. d**a bidangnya bagai samsat yang akan tetap baik-baik saja meski sudah dipukul ribuan kali. "Abang jahat, Abang nggak sayang lagi sama gue. Mana Abang Wala yang dulu? Mana Abang Wala yang sayang sama gue kayak adek kandung?" Senja semakin membabi buta memukuli d**a bidang Cakrawala. Selain kecewa, dia juga merindukan sosok Cakrawala yang dulu. Sosok yang mampu dijadikan tempat keluh kesah dan lain sebagainya. "Kenapa diem aja, Bang, kenapa?!" Tiba-tiba, Cakrawala mengedar pandang dengan bola mata memanas. Di sana, sudah banyak orang yang memperhatikan. Saling berbisik dan mempertanyakan banyak hal. Mungkin sudah sejak tadi, tetapi pria itu dan adiknya tidak sadar. Meskipun demikian, Cakrawala tidak berniat menghentikan Senja. Dia tahu perbuatannya tidak benar, tetapi sumpah demi Tuhan cintanya bukan bualan. "Karena gue cinta sama lo, Senja," sahut Cakrawala menatap adiknya sendu. "Nggak, ini bukan cinta. Abang cuman terobsesi sama gue," sergah Senja menggebu. Cakrawala menangkup pipi adik tirinya. "Plis, Senja, percaya sama gue kalau apa yang gue rasain ke lo ini emang cinta," ujarnya membujuk. Perasaannya nyata dan bukan obsesi. Cakrawala tahu seperti apa rasanya jatuh cinta. Jadi, dia tahu betul rasa cinta dan sayangnya terhadap Senja bukan obsesi semata. Dia benar-benar mencintai Senja sebagai seorang wanita. "Ivy. Bukannya lo bilang Ivy cinta pertama dan terakhir lo? Bukannya lo bilang mau lamar Ivy dan menikah?" Entah apa yang membuat Senja teringat akan sosok Ivy. Wanita yang sangat Cakrawala cinta sampai rela melakukan apa saja. Sayangnya, wanita itu mengalami kecelakaan dan meninggal tiga tahun yang lalu. "Lo ... jadi kayak gini bukan karena Ivy 'kan, Bang?" tanya Senja dengan raut penasaran. Mendengar pertanyaan bertubi-tubi yang Senja lontarkan membuat Cakrawala terdiam. Raut wajahnya terlihat memucat dan tatapan matanya kosong. Mungkinkah apa yang Senja katakan benar mengenai Ivy?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD