Suara air dari shower menghiasi kamar mandi sebuah rumah kontrakan sejak satu setengah jam yang lalu. Seorang pria dengan tubuh yang tegap tengah membilas sisa sabun di tubuhnya dengan air yang sengaja dia setel dingin sup……
Pria ini adalah Fadli yang sedang bersiap untuk berangkat ke kampus tempat dia bekerja sebagai dosen. Sudah satu tahun lebih dia menjadi seorang dosen tetap sebuah yayasan yang menaungi dua kampus berbeda yaitu di daerah Surabaya dan Jogja. Tadinya dia bekerja menjadi dosen muda sekaligus staf juga dan karena kecakapannya akhirnya diangkat menjadi dosen tetap termuda di Yayasan.
“Hatchi!”
Fadli bersin-bersin sampai membuat hidungnya memerah karena dia gosok terus. Di Surabaya dia merasa jarang flu karena daerahnya panas, tapi di Jogja ini mendadak dia kadang kedinginan. Tahu sendiri julukan Surabaya itu planet di sebelah Mars dan Merkurius, baru setelahnya Bumi.
Secangkir kopi instan dia buat karena waktu sudah menunjukkan pukul setengah 7 pagi. Ada kuliah pagi yang akan dimulai pada jam setengah 8 sehingga sampai di kampus setidaknya Fadli masih bisa siap-siap. Meski masih satu jam lagi, Fadli tidak terbiasa untuk berangkat mepet waktu yang akan membuat hatinya tidak tenang.
Dan lagi, Fadli punya alasan dia harus bersemangat berangkat mengajar karena ingin bertemu Hani, mantan istrinya.
***
Sampai di kampus, Fadli menilik kantor tata usaha tempat Hani bekerja masih sepi. Ada OB yang masih membersihkan ruangan tersebut dan menyapa kedatangannya tadi. Karena jam kerja karyawan dan dosen berbeda maka dia tidak akan melihat Hani sepagi ini, sayang sekali.
Di dalam ruang dosen yang letaknya bersebelahan dengan ruang tata usaha, Fadli menempati sisi kanan ruangan yang telah disekat-sekat untuk 15 dosen pengajar di fakultas dakwah ini. Segera saja Fadli menyalakan laptop dan buku yang akan menjadi bahan ajarnya.
“Assalamu’alaikum! Wah Pak Fadli sudah sampai, pagi banget, Pak!”
Seorang dosen menyapa Fadli, dia juga akan mengajar kelas pagi tapi di jurusan berbeda.
“Waalikumsalam... Iya nih. Siap-siap dulu, Pak,” sahut Fadli dia berdiri dari duduknya lalu mereka bersalaman, tapi karena usia Fadli lebih muda 10 tahun, maka dia mencium tangan dosen tersebut.
“Sip-sip, kalau gitu saya mau ke kelas duluan nggeh.”
Fadli menganggukkan kepalanya mengiring kepergian seniornya itu.
Rupanya juga waktu telah epat berlalu, 5 menit lagi kelasnya akan dimulai tapi Fadli cuma akan naik satu lantai karena ruang kuliahnya ada di gedung yang sama. Laptop dan buku yang dia siapkan tadi pun dibawa serta olehnya.
Tepat saat dia akan naik ke lantai atas tempat ruang kuliahnya berada, Fadli berbapasan dengan sosok wanita yang menjadi alasannya pindah dari Surabaya meski sudah sangat betah di sana.
Sosok itu adalah Hani yang baru saja tiba di kampus. Dia menaiki anak tangga menuju kantornya berada, tapi malah harus bertemu dengan orang yang kalau bisa tidak ingin ditemuinya. Tapi jelas itu tidak bisa, pekerjaan mereka bahkan saling berkaitan satu sama lain.
Langkah Fadli pun terenti dia menunggu Hani untuk sampai di lantai yang sama dengannya. Lalu dia menyunggingkan senyum.
“Assalamualaikum, Han,” sapa Fadli yang tahu pasti kalau Hani pasti akan membalas salamnya.
Sementara Hani yang tadinya ingin melengos begitu saja pun terhenti langkahnya karena mendengar salam dari Fadli. Yang dalam agama Islam, salam itu harus dijawab hukumnya. Maka meski Hani sangat enggan untuk melakukannya, dia tidak bisa mengabaikan salam dari seseorang.
“Waalaikumsalam,” balas Hani tapi dia tidak menatap pada Fadli dan setelahnya dia segera masuk ke dalam kantor tata usaha.
Meninggalkan Fadli yang merasa senang walau hanya karena Hani menjawab salamnya. Tapi itu pun sudah cukup baginya, ini seperti tambahan semangat untuknya bekerja dengan suara sang mantan istri.
***
“Mau ke mana, Han?” tanya Riri pada Hani yang berdiri dari meja kerjanya dan tampak sibuk mengatur dokumen di tangannya.
“Ada sidang buat mahasiswa, mahasiswa pertama nih di angkatan dia,” jawab Hani.
Sidang yang dimaksudkan adalah sidang skripsi, yaitu proses perjuangan akhir bagi mahasiswa supaya dapat memperoleh gelar sarjana setelah menjalani studinya.
“Wow, berarti bakal rame yang liat,” timpal Riri yang kemudian mengacungkan jempol pada Hani.
“Jelas, moga lancar deh biar banyak juga segera sidang,” ujar Hani.
Dengan membawa dokumen di tangan kiri, Hani kemudian keluar dari kantor tata usaha. Dia naik dua 1 lantai untuk menuju ruang sidang skripsi berada. Di sana dia akan menyiapkan laptop, menyalakan proyektor dan mengaturnya serta beberapa hal lain yang diperlukan sebagai tugasnya.
Tadi sebelum masuk dia telah melihat ada banyak mahasiswa yang sepertinya ikut menunggu temannya untuk memberikan dukungan, sekaligus melihat secara langsung seperti apa sidang skripsi itu. Karena nantinya pun saat mereka sidang akan diminta data tentang sudah pernah atau belum menonton proses ini.
“Absen udah, surat-surat udah, slebarannya juga udah,” gumam Hani yang hendak memeriksa lagi apa yang mungkin dia lupa bawa.
Namun rasanya dia masih lupa membawa sesuatu, hanya saja tidak bisa mengingatnya.
“Kamu lupa bawa ini.”
Tiba-tiba suara seseorang terdengar dari arah belakang Hani. Dia pun segera menoleh dan memenukan Fadli di sana. Pria itu mengacungkan baterai yang harusnya Hani bawa untuk mengisi daya remote proyektor. Hampir saja dia melupakannya, karena remote tersebut adalah hal penting dalam presentasi mahasiswa nantinya.
Baterai itu dititipkan pada Fadli oleh Ambar yang sekalian akan menuju ke tempat yang sama.
“Terima kasih,” ucap Hani lalu menerima baterai dari Fadli, tapi saat itu tangan mereka tidak sengaja bersentuhan.
Meski mereka kemarin telah bersalaman, tapi kali ini rasanya berbeda. Hani sampai menarik tangannya cepat-cepat karena dia seperti merasakan ada listrik yang mengaliri tangannya tersebut.
“Sama-sama,” ucap Fadli.
Pria ini kemudian menaruh ipad dan sebuah dokumen di atas meja yang harusnya digunakan untuk moderator. Hani yang melihatnya tentu bingung, sebab dalam jadwal yang dia baca, yang menjadi moderator harusnya orang lain.
“Aku diminta untuk ikut sidang hari ini biar bisa jadi moderator selain Pak Abas nantinya,” cetus Fadli yang seolah bisa membaca pikiran Hani.
Hani diam saja meski dia terkejut juga karena Fadli memberinya informasi tanpa ditanya. Namun dia dapat menerima alasan Fadli itu, sebab dosen muda di kampus ini tadinya disandang oleh Pak Abas yang lebih muda 1 tahun dari Fadli. Kini ada dua dosen yang pastinya akan sering diminta menjadi moderator dalam sidang skripsi.
Yang pastinya membuat Hani sadar kalau dia akan makin sering bertemu dengan Fadli.
Ruangan tempat mereka berada menjadi hening karena pintu harus ditutup sebab ruangan ini menggunakan AC. Tapi karena ruangannya menggunakan dinding kaca maka tidak perlu takut dicurigai sedang melakukan hal tercela karena cuma berdua di sini, siapa pun tentu bisa melihat ke dalam.
Sepasang mata Fadli mengikuti gerakan Hani yang tengah mengatur proyektor yang pantulan sinarnya ada pada dinding di hadapannya. Terlihat sangat lincah dan wanita ini tampak menikmati pekerjaannya tersebut.
“Sudah lama bekerja di sini?” tanya Fadli, mencari kesempatan berbicara dengan sang mantan istri.
“Lumayan,” jawab Hani singkat dan dengan nada cuek, sengaja supaya Fadli merasa kapok bertanya padanya.
Tapi Fadli tidak merasa demikian, pria ini justru merasa tertantang.
“Ooh ... aku kira kamu akan menetap di Bandung lagi,” kata Fadli, masih ingin mengajak Hani bicara.
Tiba-tiba Hani menghela napas, dia kurang suka kalimat Fadli barusan. Dia membalikkan tubuhnya ke arah Fadli. “Kamu kayaknya udah tahu kalau orang tuaku ada di sini juga. Jangan pura-pura nggak tahu,” katanya dengan nada serius.
Seketika Fadli terdiam karena basa-basinya tidak berhasil.
“Bukannya pura-pura tidak tahu. Tapi karena kamu ambil S2 di Jakarta maka aku kira demikian,” ujar Fadli yang sempat harus memutar otak untuk mengutarakan kalimatnya ini.
Tapi lagi-lagi Hani diam seolah tidak mau diajak bicara lagi. Dan tepat saat itu juga, secara bersamaan pintu ruang kaca ini terbuka dan menampakan seseorang yang harusnya duduk di posisi Fadli saat ini.
“Sibuk banget, Han,” sapa orang itu pada Hani yang terdengar akrab.
“Hidup itu selalu sibuk, cuma pas minum kopi yang engga,” timpal Hani yang bahkan dengan senyuman.
“Asekkk, bulan depan jadi tampil di radioku biar pendengar termotivasi, Han,” kata orang itu yang terkesaan akan kalimat Hani.
“Ngaco aja Mas-nya,” kata Hani lalu tertawa.
Mas? Apa tadi ... MAS??
Serangkaian percakapan ini didengar dan juga dilihat oleh Fadli yang terkejut melihat keakraban di antara Hani dan Abas. Dosen yang lebih muda setahun darinya itu, yang juga merupakan seorang penyiar radio.
Apa jangan-jangan dia yang dibilang pernah mengajukan lamaran pada Hani? Gumam Fadli merasa waspada.
***