2. Cincin Kawin

884 Words
Masih di hari yang sama, kini Hani tengah duduk termenung di kursi kerjanya setelah melakukan shalat zuhur di masjid kampus. Dia tengah sendirian di ruangan ini sebab staf lain menuju kantin untuk makan siang bersama. Hani mengatakan bahwa dia sedang mengerjakan sesuatu dan tidak bisa ditunda makanya lolos dari rencana makan siang bersama. Padahal dia sedang tidak melakukan apapun sekarang. Otaknya bahkan terlalu sulit mencerna catatan yang dibuat Riri padanya. Semua itu gara-gara satu orang ... Mantan suaminya. “Dia pindah waktu aku lagi cuti?” gumam Hani seraya membaca catatan kalau dosen baru yang merupakan mantan suaminya itu mulai mengajar saat dia masih di Tanah Suci. Hani masih penasaran, kenapa dia sampai tidak tahu soal ini? Apa perpindahannya sungguh sangat mendadak karena akan menuju semester baru? “Entah lah,” kata Hani yang akhirnya pasrah. Pusing memikirkan akan kehadiran si mantan suami secara tiba-tiba setelah 3 tahun tidak berhubungan sama sekali. Dia pun tadi mangkir makan siang dengan staf pun karena mendengar kalau Fadli akan ikut juga tapi menyusul karena harus sholat zuhur dulu. Hani menghindari pertemuan lain dengan Fadli supaya tidak makin pusing di hari pertama dia berangkat kerja lagi. Tapi ... dia malah melihat orang yang dia hindari baru saja membuka pintu kaca dan masuk ke ruangan yang sama dengannya. Fadli berjalan dengan langkah yang santai menuju meja kerja Hani berada. Menyunggingkan senyum juga di wajahnya usai benar menebak jika mantan istrinya ini pasti ada di kantor tata usaha. Tangan kanannya menenteng kantung plastik warna putih yang kemudian dia letakkan ke atas meja kerja milik Hani. “Aku dengar kamu lagi sibuk ngerjain sesuatu makanya skip makan siang. Aku beliin siomay tanpa pare dan tahu cuma kubis dan siomaynya,” ujar Fadli menyebutkan isi dari kantung plastik yang dibawannya. Dia juga menyebutkan dengan detail makanan kesukaan Hani sebagai orang bandung yaitu siomay. Tapi Hani tidak suka pada kombinasi pare dan tahu di dalam siomay. Fadli secara jelas ingin menunjukan diri pada Hani kalau dia masih ingat dengan makanan kesukaannya. Tapi respon dari Hani cuma diam. Mantan istrinya itu belum berkata apapun bahkan setelah satu menit berlalu. Namun yang paling parahnya, Hani tidak mau melihat ke arahnya dan pura-pura sibuk dengan komputernya. “Oke, aku tinggal kalau lagi sibuk banget. Selamat bekerja,” ucap Fadli karena Hani tak kunjung bicara. Fadli melenggang pergi usai mengatakan itu, memilih tidak berharap Hani akan berbicara padanya. Ini baru hari pertama setelah mereka bertemu lagi. “Apa yang dia lakukan?” gumam Hani lalu menghela napas berat. Ditatapnya kantung plastik yang Fadli bilang isinya somay. Dengan benar pula Fadli membelikan jenis makanan ini untuknya, cuma somay dan kubis yang Hani suka. Namun Hani masih tidak paham dengan apa yang dilakukan oleh Fadli padanya barusan. Pria itu datang kemari untuk memberikannya makanan yang dibeli olehnya. Padahal Fadli pasti tahu seberapa tidak sukanya Hani pada pria itu. Karena pada sidang perceraian mereka pun, Hani tidak mau menatap wajah sang mantan suami. Lalu lamunan Hani terhenti karena satu persatu staf kembali masuk dan kembali bekerja karena sudah jam 1 siang. Kemudian ada beberapa mahasiswa dari prodi yang diurus oleh Hani masuk ke dalam kantor untuk mengurus sesuatu. Sehingga pikiran Hani tentang Fadli segera teralihkan. *** Pukul setengah 4 sore setelah melaksanakan sholat ashar, Hani duduk termenung di masjid ketika satu persatu rekan kerjanya telah selesai melipat mukena untuk kembali ke kantor. Hal ini karena Hani menyadari kalau yang menjadi imam saat sholat berjamaah tadi adalah Fadli. Suara pria itu ternyata masih bisa dikenalinya setelah 3 tahun berlalu. Suara saat takbir yang khas itu masih sama seperti 3 tahun lalu ketika melakukan sholat berjamaan di rumah. Hani jadi merasa heran akan itu ... dia pikir telah bisa melupakan soal Fadli. Tapi rupanya dia cuma teralihkan dan akan kembali mengingatnya ketika pria itu kembali berada di sekitarnya. “Nggak bisa begini,” gumam Hani yang kemudian terpikirkan rencana untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya supaya tidak bertemu dengan Fadli lagi. Tapi ... Hani ingat kalau dia sempat kesulitan mendapatkan pekerjaan. Mukena yang dia kenakan akhirnya dilipat dan memutuskan kembali ke kantor sebelum dicari oleh orang lain. Tapi dia justru bertemu dengan Fadli yang tengah bercermin di jendela kaca masjid. Jarak mereka jauh karena posisi sholat laki-laki dan perempuan yang terpisah, namun mata mereka yang sempat saling bertemu barusan sudah cukup membangkitkan kenangan yang pernah tercipta di antara mereka. Terutama Hani yang ingat kalau rambut Fadli adalah tempat favoritnya untuk bermain di sana. Merasakan teksturnya dan mendengar kalau Fadli akan merasa nyaman tiap Hani melakukannya. Hani menggelengkan kepalanya dan segera lanjut melangkah. Hal itu membuat Fadli yang hendak menyapa pun mengurungkan niatnya. Tapi dia juga segera mengikuti Hani supaya dia bisa berjalan ke gedung kampus bersamaan. Sementara itu pintu masjid untuk putra dan putri berbeda. Sudah cepat Fadli menuruni tangga, sayangnya Fadli harus ingat kalau tadi dia ke masjid menggunakan sepatu yang harus ditali kembali. “Ck, harusnya pakai sendal aja tadi!” decaknya kesal pada diri sendiri. Pupus sudah rencananya untuk menambah intensitas pertemuan dengan mantan istrinya. Tapi Fadli menenangkan dirinya dengan mengatakan kalau masih ada hari esok untuk menemui Hani. “Semoga langkah yang aku ambil sudah tepat,” gumam Fadli seraya menatap ponsel yang walpapernya adalah foto tangan seorang wanita dengan cincin kawin yang dibelinya. Sayangnya cincin itu sudah tidak dipakai lagi oleh si pemilik tangan di walpaper ponselnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD