4. Lamaran

1328 Words
Salah satu alasan kuat kenapa Fadli harus pindah kerja dari Surabaya menuju Jogja, adalah kabar Hani dilamar oleh seseorang. Seharusnya masih sekitar 6 bulan lagi bagi Fadli untuk datang menemui Hani karena dia tengah melanjutkan studinya di jenjang S3. Dia harus menyelesaikan kuliahnya paling tidak setahun sebelum menyelesaikan disertasi, tapi sekarang dia meninggalkannya. Semua itu demi Hani dan supaya Fadli tidak kecolongan. Kabar lamaran itu Fadli dengar dari mantan ayah mertuanya sendiri yang masih berhubungan baik dengannya. Tapi Hanif, ayah dari Hani ini tidak mengungkapkan siapa yang telah melamar Hani dengan datang langsung ke rumah. Lamaran itu sangat tidak terduga, karena Hani pun tidak tahu kalau seseorang dari kampus akan melamarnya. Jadi Fadli sangat penasaran akan siapa pria itu. Hanif bilang tidak bisa memberitahukannya karena Hani juga ingin merahasiakan lamaran tersebut dari orang-orang. Tapi syukurnya lamaran itu ditolak oleh Hani yang bilang masih ingin melanjutkan sekolah S2-nya. Alasan yang masuk akal sekaligus membuat hati Fadli lega luar biasa. Sekarang Fadli harus curiga pada Abas yang ada di sebelahnya, bahkan sampai tidak berhenti menatap dosen itu sejak tadi. Abas yang menyadarinya pun menoleh pada Fadli dengan tatapan bingung. Karena bukannya fokus pada rapat malah terus melihat ke arahnya. “Pak Fadli ada yang mau disampaikan ke saya?” tanya Abas dengan berbisik. Tapi yang ditanyai malah menggelengkan kepala sambil menatap Abas tidak enak. Fadli segera mengalihkan pandangannya pada ponsel yang ada di tangannya. *** Esoknya di hari Jum’at seperti biasanya semua karyawan dan dosen akan ada acara olah raga bersama yaitu senam, sehingga biasanya menggunakan pakaian olahraga. Mahasiswa juga bisa ikut, tapi sedikit karena kebanyakan tidak ada yang punya kelas pagi di hari menuju weekend ini. Dan kebetulan akan ada acara besar yang sudah dipersiapkan sejak setahun lalu oleh kampus. Kampus tempat Hani bekerja ini akan menjadi tuan rumah sebuah kompetisi debat skala Nasional. Acaranya akan berlangsung minggu depan jadi sejak hari ini kampus menjadi sangat sibuk karena sudah sebentar lagi. Yang paling menjadi hal utama dalam agenda hari ini adalah acara bersih-bersih gedung masing-masing fakultas oleh seluruh karyawan dan dosen tanpa terkecuali. Di lapangan utama Universitas Islam Elfathan sudah berkumpul banyak orang dengan pakaian olahraga yang tidak sama karena bukan acara resmi, hanya rutinan saja. Barisan depan biasanya akan diisi oleh karyawan perempuan yang biasanya lebih antusias dengan acara ini, tapi tidak dengan Fadli. Dia maju menuju baris kedua demi bisa berdekatan dengan Hani. “Ngapain dia di sini?” pikir Hani heran. Karena biasanya Riri yang akan ada di sebelahnya, tapi sekarang dia menamukan Fadli di sana. Cuma Fadli yang begitu sehingga membuat karyawan lain memujinya, dikiranya Fadli sangat bersemangat untuk senam. Padahal punya udang di balik bakwan. “Pak Fadli semangat banget, Pak! Pantes badannya bugar, pasti rajin olahraga ya, Pak?” puji seorang dosen senior. “Olahraga itu penting, Bu. Jadi ini cuma bagian dari rutinitas saja,” jawab Fadli dengan senyum ramah. Lalu Fadli mulai beramah tamah dengan dosen dan karyawan dari fakultas lain. Sosok Fadli yang tampan dan ramah seperti ini jelas menjadi daya tarik utamanya. Hani memprediksi kalau pria ini akan segera menjadi favorit warga kampus, bahkan nama Fadli di mata mahasiswa saja sudah cukup terkenal. Tapi kalau Fadli ditanya siapa yang menjadi favoritnya, maka dia akan melihat ke arah seorang wanita yang bahkan tidak mau melihat ke arahnya. “Assalamu’alakikum, Han,” sapa Fadli seraya tersenyum lebar. “Waalaikumsalam,” balas Hani tapi tidak melihat ke arah Fadli sedikit pun. Setelah itu karena musik pengiring senam sudah terdengar, maka Hani punya alasan untuk mengabaikan Fadli yang terlihat ingin mengatakan sesuatu padanya. “Susah banget mau diajak ngomong,” gumam Fadli, dia harus menelan lagi kata-katanya. *** “Han, untuk mahasiswa yang akan dipilih jadi seksi dokumentasi udah kamu hubungi, kan?” tanya Ambar pada Hani dari meja kerjanya. Hani sendiri sedang membereskan dokumen dalam rak yang ada di ruang kantor tata usaha. Salah satu hal yang sudah lama ingin Hani lakukan sebab lama-lama berantakan juga tapi tidak pernah punya waktu untuk melakukannya. “Sudah sejak sebulan yang lalu, Mbak. Apakah ada masalah?” jawab Hani. “Nggak kok. Memastikan aja biar semua udah siap per-hari Senin,” kata Ambar. Tapi kemudian dia teriangat sesuatu. “Oh iya, Han ... aku denger kalau Pak Fadli itu dia termasuk fotografer profesional. Jadi tolong kamu koordinasikan sama dia buat ikut arahkan mahasiswa yang jadi seksi dokumentasi. Tolong, ya ...” pinta Ambar pada Hani yang mendadak lecek mukanya. Mata Hani terpejam usai mendengar tugas baru untuknya dari Ambar. Meski enggan sekali menemui Fadli, Hani harus profesional karena permintaan Ambar itu bagian dari pekerjaannya. Kalau ada yang tidak beres nantinya, tentu Hani juga harus menanggung tanggung jawab. “Sekarang ya, Han. Biar nggak mendadak kalau disampaikan hari Senin,” kata Ambar yang mengejutkan Hani karena dia sedang melamun barusan. Maka Hani pun segera membereskan dokumen yang sedang dia tata ke dalam rak. Setelahnya dia mengambil ponsel di atas meja kerja serta kertas yang berisi nama-nama mahasiswa yang akan melakukan dokumentasi pada acara debat nantinya. Dia keluar menuju ruang dosen untuk menemui Fadli karena dia ingat pria itu cuma memiliki jadwal kuliah sampai pukul setengah 12 hari ini. Tapi Hani lupa kalau sekarang hari Jum’at dimana Fadli tentu sedang bersiap untuk menunaikan shalat Jum’at. Langsung saja Hani disuguhi pemandangan yang ternyata masih saja membuatnya terpesona tiap melihatnya. Fadli dengan kemeja putih, sarung warna hijau dan rambut basah usai wudhu. Perpaduan itu mampu membuat Hani melupakan tugas yang diberikan Ambar dan malah terdiam di depan Fadli. Dia memang selalu ganteng. Batin Hani memuji. Tapi untung saja Hani segera menggelengkan kepalanya dan kembali pada kenyataan sebelum Fadli menyadari tatapan memuji darinya. “Selamat siang, Pak. Maaf mengganggu,” sapa Hani pada Fadli yang sudah menunggunya bicara sejak tadi. “Siang, Hani. Apa ada yang perlu disampaikan pada saya?” tanya Fadli dengan bahasa formal karena masih ada banyak dosen di ruangan ini. “Saya ingin menyampakai permintaan dari Mbak Ambar kalau bapak diminta menjadi pengarah untuk mahasiswa yang mendokumentasikan kompetisi debat nantinya. Lalu ini nama-nama mahasiswa dan nomor telponnya. Akan saya intruksikan pada mahasiswa tersebut untuk menghubungi bapak dan menjadwalkan pertemuan jika diperlukan,” jelas Hani yang langsung dipahami oleh Fadli. Namun pembicaraan mereka terhenti karena dosen pria lain menyapa Fadli dan bilang akan ke masjid duluan sebab dia masi berbicara dengan Hani. “Oke, saya mengerti. Terima kasih informasinya. Tapi biar saya saja yang langsung atasi ini sendiri biar kamu nggak repot karena kebetulan saya sudah kenal sama mahasiswanya,” ujar Fadli yang akhirnya membuat Hani mengangguk menyetujuinya. Setelah itu Hani tentu pamit pergi karena urusannya sudah selesai dengan cepat, tapi Fadli malah menahannya. “Baik, Pak. Kalau begitu saya pamit—“ “Tunggu sebentar,” kata Fadli memotong kalimat Hani. Pria ini segera menuju meja kerjanya, Hani melihat juga kalau Fadli membuka laci meja kerjanya dan mengambil sebotol minuman berwarna putih. Lalu saat Fadli kembali ke hadapannya, Hani bisa mengenali kalau yang pria ini ambil adalah minuman yoghurt tanpa rasa yang disukai olehnya. “Saya lupa memberikan ini tadi abis olahraga karena ada kuliah, jadi udah nggak dingin lagi. Tapi semoga kamu masih suka,” tutur Fadli dengan suara pelan sembari mengulurkan botol itu pada Hani. “Semoga kamu masih suka”, kalimat itu cukup menganggu Hani karena pria ini kembali menunjukkan kalau dia masih ingat apa yang Hani sukai. Ingin sekali Hani menolaknya tapi Hani sedang tidak ingin membuat membuat Fadli sakit hati setelah dia berdo’a di depan ka’bah langsung kalau dia telah memaafkan pria ini. Maka Hani menerima pemberian Fadli dan itu hampir membuat tangan mereka bersentuhan. “Terima kasih,” ucapnya lalu kini dia benar-benar pamit dari hadapan pria yang merupakan mantan suaminya. Status yang menjadikan mereka berdua bukan muhrim lagi. Sehingga Fadli harus menghindari bersentuhan dengan Hani karena itu bisa membatalkan wudhunya. Fakta yang membuat hati Fadli terasa sakit saat menyadarinya. Dan interaksi itu terlihat oleh seseorang yang tampaknya tidak suka pada Fadli yang memberikan sesuatu pada Hani. Sebab menjelaskan kalau mereka punya suatu hubungan di luar pekerjaan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD