Sang Idola

1507 Words
Hidup yang harus di jalani Rey dan Dion sangatlah keras. Sejak remaja ia harus di tinggalkan kedua orang tuanya. Mereka hanya hidup berdua. Kedua orang tuanya adalah seorang pedagang kecil yang sehari harinya hanyalah berjualan nasi kuning. Sudah menjadi warisan turun temurun jualan itu di lanjutkan oleh Ibu mereka. Dari hasil jualan itu, sang Ibu bisa menabung sedikit demi sedikit untuk masa depan kedua anaknya. Sang Ibu menginginkan anaknya bisa menjadi orang yang memiliki pendidikan yang tinggi dan kedudukan yang mulia. Hari demi hari ia berjualan dari pagi hingga siang sebelum dzuhur memanggil. Habis atau tidaknya dagangan tersebut tetap ia tabah menghadapinya. Kadang jika ada tersisa dari jualan itu ia akan berikan pada orang orang yang dilihat Ibu memang pantas untuk di berikan. “Tidak harus miskin untuk menjadi pantas diberi dan tidak harus berada ketika ingin memberi,” begitu kata Ibu kala itu. Sementara sang Ayah adalah seorang pensiunan aparatur Negara yang sudah resign saat akan di angkat menjadi pegawai tetap. Sifat idealisnya yang begitu teguh ia pegang membuat ia harus kehilangan pekerjaan yang sangat di idam idamkan orang di zaman itu. Siapa sih yang tak ingin bekerja dengan cara kerja yang simple bahkan nyaris tidak ada tapi bisa mendapat penghasilan dan berbagai tunjangan, bahkan di tambah lagi dengan side income yang sedikit menyerempet. Saking teguhnya sang Ayah memiliki pendirian ketika surat pengunduran dirinya di tolak tetep ia keukeuh dengan keputusannya. Begitulah Ayah dari Rey dan Dion memberi contoh pada kedua anaknya. Pasca resign dari pekerjaannya, sang Ayah masih tetap memiliki kesibukan yang baru yaitu membantu sang istri dalam berdagang. Tentu saja dengan skill yang di miliki sejak lahir, karena Ayah adalah keturunan dari seorang nelayan. Jadi tidak heran jika ia jago dalam mengurusi soal ikan dan lauk pauk yang lain yang berhubungan dengan jualan Ibu. Selain membantu Ibu, Ayah juga kadang meluangkan waktu dengan hobinya yaitu memancing. Sudah menjadi kebiasaan beliau jika tiada hari tanpa memancing. Meski sebenarnya itu hanyalah kegiatan refreshing untuk menghilangkan kejenuhannya. Lokasi jualan sang Ibu adalah di pasar. Sudah menjadi kebiasaan hampir setiap pagi Rey dan Dion bahu membahu membantu Ibunya. Mulai dari mempersiapkan kelengkapan jualan hingga membuka duluan lapak jualannya. Setiap subuh sehabis solat mereka pasti menjemput rezeki. Dengan bantuan motor butut dari hasil kerja Ayah, Dion dan Rey bergoncengan membawa panci besar yang berisikan nasi dan lauk pauk jualan sang Ibu. “Bang, apaan tu di atas pohon?” tanya Rey kecil pada abangnya. “Eh kok lu bisa lihat? Sejak kapan Rey?” “Ga tau bang, bisa gitu aja, emang kenapa bang?” “Emang apa yang lu lihat?” “Cewek, baju putih, rambut panjang dan cantik bang.” “Hahaha, cantik apaan, itu bukan wujud aslinya de.” Rey hanya bisa celingukan sambil menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. Rasa penasaran masih menghantui saat sang kakak masih focus mengendalikan lajunya si roda dua. Tapi ia hanya bisa memendamnya untuk sementara waktu. Ketika kendaraan sudah semakin dekat dengan lapak jualan ibunya, Dion langsung menghentikan sejenak motor yang ia gunakan. “Kenapa Bang?” “Kamu lihat ga yang di warung ibu?” “Iya Bang, kok banyak orang gitu ya, masa subuh begini sudah pada lapar bang?” “Itu bukan orang Rey. Coba perhatikan lagi, wajah mereka rata semua dan hitam pekat.” “Hah, iya Bang. Balik aja yuk bang, Rey takut Bang.” Aryan tak mengindahkan keinginan adiknya justru ia semakin berani untuk mendekati warung jualan ibunya. Sedari kecil Bang Dion memang tak kenal takut menghadapi segala hal. Meski demit sekalipun akan ia kejar jika bertemu dengannya. Beda halnya dengan Rey yang masih awam soal perdemitan. Tapi ia justru berada terdepan jika soal tawuran atau membela orang yang lemah. “Lu diem aje, pokoknya ga usah banyak bacot, cukup lihat aja apa yang abang lakuin.” “Ok.” Jantung Rey langsung berpacu dengan cepat saat jarak mereka semakin dekat dengan lapak itu. Tiba di warung, semua sosok itu seketika menatap ke arah adik kakak tersebut. Setelah memarkirkan dengan benar motornya, sang abang membawa panci besar tadi dan meminta adiknya mengikuti dia dan jangan menghiraukan mereka. Namanya Rey yang belum pernah melihat yang begituan membuat semua bulu kuduknya meremang seketika. Tapi ia tak berani melawan perintah sang abang. Terpaksa ia menuruti dan berjalan di sisi abangnya. Setelah membuka warung dan selesai menaruh bawaannya, mereka kembali ke tempat parkir motor mereka. Sayang posisi kendaraan itu sudah rebah ke tanah. Merekapun coba memperbaiki posisi motornya dalam bersiap sedia mengambil langkah selanjutnya. “Hei kalian! Kalian anak Asih dan Nanang kan?” Tampak salah satu sosok yang paling besar badannya menegur kedua bocah itu. “Ayo bawa mereka!” sosok itu langsung memberi perintah karena merasa yakin ini adalah korban yang menjadi target mereka sebelumnya. Hawa di sekitar lokasi seketika berubah drastis. Suasana subuh yang begitu dingin langsung berubah jadi panas dengan kehadiran mereka. Beberapa orang pasar yang sudah lebih dulu berada di lokasi tampak gusar dan mulai menjauh. Mereka khawatir terkena imbas dari keributan tersebut. Apalagi musuhnya bukan makhluk biasa. “Lu siap siap ya de!” “Gue ape kate abang, gas keun dah!” Bang Dion langsung bersiap siap menghadapi mereka yang sudah tampak beringas. Ketika 2 sosok dari mereka mulai mendekat, si Abang langsung mengucapkan takbir sambil menjulurkan kedua tangannya. Seketika Rey terbelalak matanya ketika melihat sosok yang di lawan abangnya pada terpental jauh. Mereka pun juga ikut terkejut dengan ilmu bocah tersebut. Rey masih berada di belakang abangnya sambil memperhatikan semua gerakan musuhnya. Ia tak menyangka jika abangnya memiliki kemampuan demikian. Selanjutnya satu persatu sosok yang ingin membawa mereka berhasil di jatuhkan Bang Aryan. Namun sehebat apapun kemampuan Dion, ia hanyalah bocah ingusan yang masih memiliki keterbatasan. Menghadapi musuh yang bukan dari golongan manusia dan jumlahnya juga cukup banyak membuat ia jadi kelelahan. Belum lagi ia harus melindungi sang adik yang masih terlihat lugu. “Bang gimana nih, kita sudah terdesak, gimana nasib kita bang?” “Insya Allah de, lu kabur duluan sono, biar Abang yang halangin mereka.” Tampak si Abang mulai ngos ngosan nafasnya. Sekujur tubuhnya juga sudah penuh memar karena terkena beberapa pukulan. Namun ia masih kuat berdiri. Rey mulai khawatir tapi kali ini ia enggan menuruti keinginan sang Abang yang meminta ia pergi meninggalkannya. Beberapa kali sang Abang harus jatuh bangun menghadapi serangan mereka. Rey tak bisa berbuat banyak hanya bertahan di balik sang Abang. Situasi jadi terbalik, sang musuh sudah berada di atas angin. Kedua adik kakak ini sudah terpojok keadaannya. Ketika sang musuh sudah nyaris berhasil mengalahkan kedua bocah ini, dari kejauhan langsung terdengar suara teriakan seseorang yang tak begitu asing di telinga Dion dan Rey. Seketika sosok yang menyerang kedua bocah tadi terdiam. Tampak mereka sangat ketakutan mendengar suara teriakan tersebut. Woi!! Kedua bocah sudah tau suara siapa itu. Suara khas yang selalu mereka dengar setiap hari dalam kehidupan mereka. Pemilik suara yang sangat mereka segani dan hormati sepanjang hidup mereka. Siapa lagi kalau bukan Ayah mereka sendiri. Dion dan Rey tak menduga jika Ayahnya akan datang. Sang Ayah yang melihat kedua anaknya babak belur tanpa menunggu langsung masuk ke arena perkelahian mereka. Satu persatu terpental menjauh dari jangkauan Ayah. Bahkan ada yang hancur menjadi debu hitam ketika terkena hantaman sang Ayah. Rey yang baru pertama kali melihat tindakan sang Ayah langsung berdecak kagum. Tidak salah jika selama ini ia mengidolakan Ayahnya. “Kalian baik baik saja nak?” tanya Ayah sambil tersenyum. Tidak tampak raut kecemasan yang biasa di tunjukkan seorang Ayah. Jika biasanya seorang Ayah pasti khawatir dengan keadaan anak anaknya, tapi sepertinya beliau malah sebaliknya. Karena ia sudah tahu kemampuan sang anak. Apalagi sebelumnya juga setiap keturunan Ayah ada ‘penjaganya’ dari dunia lain. Setelah memastikan kedua anaknya baik baik saja, sang Ayah lalu berdiri dan bersiap memberi pelajaran pada mereka yang telah menganiaya anaknya. Tanpa ragu Ayah langsung maju sendirian dan menghajar mereka satu persatu. Sang pemimpin mereka juga tak luput dari kepalan Ayah. Meski ia melakukan perlawanan tetap saja bukan lawan yang sebanding dengan Ayah. “Gile lu ye, masih subuh begini udeh ngajak rebut bae… “ sang Ayah terlihat kesal dan memaki maki musuhnya. “Mane lawan bocah lagi, ga tengsin lu, kampret lu pade!” Tampak wajah mereka pada pucat mendapati kehebatan sang Ayah. Semuanya pada tersungkur di tanah tak mampu berdiri, termasuk sang pemimpin yang sok galak tadinya. Tak berapa lama tampak ramai orang berdatangan. Ternyata anak buah sang Ayah. Padahal tidak ada yang meminta bantuan mereka. Sekitar puluhan yang berdatangan dengan tangan kosong. “Udeh be, biar kami yang urus mereka. Babe bawa anak pulang dah.” Teriak salah satu anak buah Ayah. Musuh yang mengetahui situasi yang tak memungkinkan segera berpikir ulang untuk melawan Ayah dan genknya. Melawan satu orang saja sudah kewalahan apalagi di tambah anak buahnya yang semakin banyak. Satu satunya cara paling jitu adalah mengambil langkah seribu daripada mati konyol. Saat melihat musuh kabur, anak buah Ayah langsung bereaksi dengan mengejar mereka. Tapi segera di tahan Ayah karena merasa sudah cukup beri pelajaran tadi. “Udeh biar aja kabur, musuh cetek gitu buat ape di kejar…”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD