"Saya berangkat dari kampung setelah pengajian tujuh hari meninggalnya ibu. Saya dipaksa menikah dengan juragan Tono. Paman tahu kan juragan Tono yang kaya raya itu. Saya tidak mau menikah dengan dia. Ibu saya juga menolak. Karena itu ibu menyuruh saya pergi ke Jakarta. Baru tiba di sini saya dikejar oleh anak buah ayah tiri saya. Tas saya mereka ambil, sehingga saya lupa dimana alamat rumah ini. Mereka terus mengejar saya, Saya bingung mau sembunyi di mana. Akhirnya saya masuk ke mobil. Dan tertidur di mobil. Ternyata mobilnya milik tuan yang punya rumah tujuan saya. Aduh capek sekali lari. Saya belum makan sejak tiba di Jakarta. Saya juga kehausan. Saya bau keringat."
Perempuan itu bicara begitu panjang. Seakan memiliki nafas yang sangat panjang.
Bik Amah sudah dipanggil agar menemui perempuan itu.
"Bik, bawa dia masuk. Suruh mandi. Pinjami pakaian kamu." Zhai meminta Bik Amah membawa Runi masuk ke dalam rumah.
"Baik, Tuan. Ayo, Runi mandi dulu. Ganti baju, setelah itu makan." Bik Amah mengajak Runi untuk masuk ke dalam rumah.
"Terima kasih, Bik. Terima kasih, Paman. Terima kasih, Tuan."
Runi mengikuti langkah Bik Amah yang masuk lewat pintu samping.
"Berapa usianya?" Zhai bertanya kepada Pak Arsad.
"Sembilang belas tahun, Tuan."
Pak Arsad menjawab pertanyaan Zhai.
"Ya sudah. Mobil masukkan ke garasi."
"Baik, Tuan."
Zhai melangkah masuk. Zhai sedang berpikir bagaimana Runi bisa masuk ke dalam mobilnya. Sedang mobilnya dalam keadaan terkunci. Dan kenapa pas sekali Runi masuk ke dalam mobil calon tuannya. Untungnya Runi masuk ke dalam mobilnya, sehingga bisa sampai ke tujuan yang diharapkan. Bagi Zhai, ini seperti sebuah keajaiban. Zhai memang meminta kepada Bik Amah untuk mencari ART baru, menggantikan Dilah yang berhenti karena hamil anak pertama. Bik Amah mencoba menelepon saudaranya di kampung. Saudaranya mengatakan bahwa anaknya bisa datang ke kota untuk menjadi ART. Tapi saudaranya minta anaknya diijinkan kuliah.
Beberapa hari lalu Bik Amah mengatakan kalau saudaranya itu meninggal. Anaknya akan segera datang ke Jakarta setelah pengajian tujuh hari meninggal ibunya. Zhai tidak menyangka kalau cara datang perempuan itu dengan naik di mobilnya. Cerita perempuan itu membuat Zhai penasaran. Seperti sebuah cerita di sinetron atau di film. Dipaksa nikah oleh ayah tirinya.
"Huh. Kenapa harus aku pikirkan. Itu urusan dia."
Zhai masuk ke dalam kamarnya. Rumahnya memang hanya memiliki lantai satu saja. Ada tiga kamar di depan. Dan dua kamar untuk ART. Saat menikah, Zhai jarang pulang ke rumahnya, karena tinggal di apartemen bersama Levina. Setelah bercerai, Zhai kembali ke rumahnya. Levina tetap tinggal disana. Sampai akhirnya apartemen itu dijual, dan Levina kembali tinggal di rumah orang tuanya.
Rumahnya memang tidak terlalu besar. Tapi Zhai sangat menyukai tinggal di rumahnya. Rumah yang dibeli setelah menabung sekian lama. Zhai tidak menyangka, apa yang menjadi impiannya bisa ia dapatkan. Dulu saat ia berjualan minuman dan gorengan, tidak menyangka akan sangat laris. Zhai tahu itu efek karena wajah tampan, dan tubuhnya yang gagah. Dengan ketekunan, usahanya bisa berkembang. Dan memiliki beberapa rombong di tepi jalan. Para mahasiswa pendatang yang membantunya berjualan. Hasilnya cukup melegakan. Bisa untuk kehidupan dan juga biaya kuliah. Meski orang tua angkatnya mengirimkan uang tiap bulan yang cukup untuk biaya kuliah dan hidupnya. Tapi, Zhai tidak ingin menyusahkan orang tua angkat. Mereka sudah begitu banyak membantunya. Zhai ingin berdiri di atas kedua kakinya sendiri.
Tentang ibunya, Zhai tidak pernah mendapat kabar sedikitpun. Begitu juga tentang ayahnya. Kedua orang tua kandung seperti ditelan bumi. Zhai juga tidak berusaha mencari mereka. Mereka sudah meninggalkannya, berarti tidak menginginkannya. Zhai tidak ingin menambah beban pikiran dengan urusan kedua orang tuanya. Baginya kedua orang tuanya sudah mati. Tidak perlu dicari lagi.
Zhai menikmati hidupnya saat ini. Meski sendiri dalam sepi.
Sementara itu di dapur.
Runi atau Arunita Sabira, sudah selesai mandi, dan sudah mengenakan pakaian. Runi memakai pakaian milik Bik Amah. Pakaian itu memang sedikit kebesaran. Karena tubuh Runi yang mungil. Runi sedang duduk di meja makan para.ART. Ditemani oleh Pak Arsad dan Bik Amah.
"Jadi tas kamu diambil mereka?" Tanya Bik Amah.
"Iya. Dompet ada di dalam situ. KTP saya hanya ada fotokopinya. KTP yang asli Saya tidak tahu ada di mana. Saya tidak menemukanmu. Ada uang pemberian almarhumah Ibu juga di tas itu."
"KTP dan ijazah serta berkas untuk masuk perguruan tinggi, sudah dikirimkan ibumu ke sini. Keterlaluan mereka. Orang tidak mau menikah kenapa dipaksa. Apakah ayah tirimu yang ini memang kejam selama ini?"
"Tidak kejam sekali. Tapi aku perkirakan, ayah punya hutang, dengan aku sebagai jaminan."
"Seperti cerita si n****+ dan di film saja."
"Aku tidak ingin mengecewakan ibu. Karena itu aku berusaha lepas dari kejaran mereka. Ibu berpesan agar aku mencari ayah kandungku. Tapi bagaimana aku mencarinya. Fotonya saja tidak ada. Hanya tahu namanya saja."
"Hal itu sebaiknya tidak usah dipikirkan. Sekarang kamu pikirkan apa yang ingin kamu lakukan. Aku berjanji kepada ibumu, tahun depan akan membiayai kuliah kamu. Ibumu memang ada mengirimkan uang, tapi uang itu tidak aku pergunakan dulu. Aku dengan pamanmu sudah sepakat untuk membiayai kuliah kamu.""
"Aku akan membantu kamu kuliah. Aku juga sudah bicara tentang ini dengan tuan. Tuan mengizinkan kamu kuliah sambil bekerja."
"Alhamdulillah."
Mata Runi berkaca-kaca. Ibunya memang tidak bisa menghadirkan ayah kandung dalam hidupnya, tapi ayah tirinya yang pertama sangat baik, hanya sayang tidak panjang umur. Ayah tirinya yang pertama meninggal karena sakit.
*