Bik Amah kenal dengan ayah tiri Runi yang pertama, tapi tidak tahu dengan ayah tiri Runi yang baru.
"Sudahlah. Lupakan saja ayah tirimu itu. Sekarang kamu sudah ada di sini. Mereka tidak akan mengganggu kamu lagi. Nanti bibi akan mencari informasi tentang penerimaan mahasiswa baru." Bik Amah tidak ingin bercerita tentang ayah tiri Runi lagi. Baginya saat ini yang penting Runi sudah selamat. Dan ia bisa memenuhi janji kepada almarhumah ibu Runi untuk memasukkan Runi kuliah.
"Terima kasih, Bik."
"Setelah makan, sebaiknya kamu tidur. Besok akan Bibi beritahu apa saja tugasmu di rumah ini." Bik Amah minta setelah selesai makan, Runi segera beristirahat.
"Baik, Bik. Terima kasih."
"Besok kita pergi ke pasar, membeli baju untuk kamu.'
"Saya tidak punya uang. Karena tak saya diambil oleh para suruhan ayah tiri saya." Rini bingung harus membeli baju dengan apa. Karena semua barang bawaannya diambil oleh orang suruhan ayah tirinya.
"Kamu tidak perlu khawatir. Selain mengirimkan ijazah kamu, ibumu juga mengirimkan uang. Uang kiriman ibumu sudah Bibit tabungkan. Itu untuk kuliah kamu." Bik Amah bercerita kalau ibu Runi sudah mempersiapkan segalanya, untuk keperluan Runi kuliah.
"Ibumu sangat menyayangi kamu. Dia wanita baik. Sayangnya umurnya begitu pendek. Usia ibu kamu belum 40 tahun. Masih sangat muda. Namun Allah menyayanginya. Sehingga cepat dipanggil oleh Nya." Mata Bik Amah. berkaca-kaca. Bik Amah menjadi asisten rumah tangga, sudah 25 tahun. Awalnya bukan bekerja di rumah Zhai. Lalu 12 tahun lalu pindah bekerja ke rumah Zhai. Walaupun berpisah jauh dari Ibu Runi, tapi beberapa bulan pulang dan mengikuti perkembangan kehidupan ibu Runi. Hanya beberapa tahun ini jarang pulang, karena kedua orang tuanya sudah meninggal. Tapi hubungan komunikasi dengan ibu Runi masih sangat baik. Karena Bik Amah sepupu ibunya Runi. Setelah 25 tahun menikah, Bik Amah dan Pak Arsad tidak memiliki anak.
"Iya, Bik. Aku sudah ikhlas. Sudah jalan ibu seperti ini. Ibu memang mengeluh sakit beberapa tahun ini. Gula darahnya tinggi, tekanan darah tinggi, ada sakit jantung juga. Aku rasa beliau mendapat tekanan juga dari ayah tiri. Sedih sekali melihat ibu tampak tidak bahagia di akhir hidupnya. Ibu seperti tahu akan meninggal dunia. Sehingga mempersiapkan dirinya. Ibu banyak bercerita dengan aku, menceritakan apa yang belum pernah ibu ceritakan. Menceritakan tentang ayah kandungku, pria yang tidak pernah aku kenal." Air mata Runi menetes di pipi.
"Pria itu adalah cinta pertama ibumu. Padahal mereka hanya bertemu satu minggu. Saat itu, pria itu sedang mengurus sesuatu di kampung kita. Entah bagaimana, ibumu dan pria itu tidur bersama. Pria itu pergi tanpa tahu kalau ibumu hamil. Ibumu tidak ingin menuntut tanggung jawab kepadanya. Karena pria itu sudah memiliki anak dan istri. Ibumu hanya berharap tidak hamil atas hubungan kilat mereka. Namun Allah yang berkehendak, hadirnya kamu di dalam rahimnya." Bik Amah mengingat cerita masa lalu ibunya Runi.
Nenek Runi adalah keturunan India. Nama ibunya Runi, Arpita Sarmila. Nama Runi, Arunita Sabira. Wajah Runi menuruni wajah ibunya. Roni dan ibunya bagai pinang dibelah dua. Rambutnya yang hitam panjang, matanya yang besar dengan bola mata hitam, alisnya yang tebal, hidungnya yang mancung, bibirnya yang seksi, benar-benar mirip dengan ibunya. Wajah mereka bukan wajah yang mudah dilupakan, karena berbeda dari orang biasanya.
"Apakah ibumu mengatakan siapa nama ayahmu?"
"Tidak. Ibu mengatakan aku tidak perlu mencari. Jika suatu saat kami bertemu, pria itu pasti tahu kalau aku anaknya. Karena wajahku persis sama dengan ibu. Ibu tidak ingin aku mengganggu kehidupan pria itu. Karena pria itu sudah punya keluarga. Jangan sampai kehadiranku mengganggu rumah tangga orang." Runi menceritakan tentang ibunya yang tidak ingin ia tahu siapa ayahnya.
"Ibumu sangat baik. Sudahlah. Bereskan bekas makan kamu, cuci perabotnya dengan bersih. Letakkan di rak piring yang ada di samping tempat cuci piring. Kamu harus membiasakan untuk mengatur segalanya sesuai dengan aturan yang ada di rumah ini.'
"Iya, Bik."
"Tuan Zhai sangat peduli dengan kebersihan dan kerapian. Jangan sampai ada barang kotor di rumah ini. Kita harus bekerja dengan teliti. Tuan Zhai, bisnisnya di bidang makanan. Jadi orangnya memang selalu rapi dan bersih."
"Bisnis di bidang makanan? Apa dia punya rumah makan?"
"Tidak. Dia punya pabrik makanan ringan dan minuman ringan. Pabriknya cukup besar, produksinya diekspor ke luar negeri."
"Oh. Dia galak tidak, Bik?"
"Dia tidak galak. Tapi bisa marah, kalau ada sesuatu yang di luar keinginan. Kamu jangan khawatir, dia bos yang baik. Karena itu bibi betah bekerja di sini."
"Syukurlah kalau Tuan baik. Aku khawatir, ayah menyusul ke sini. Karena tas ku yang berisi catatan alamat ini diambil anak buahnya. Mungkin saja dia akan datang ke sini untuk menjemput ku. Apa yang harus aku lakukan, kalau dia menjemput."
"Apapun yang akan terjadi. Aku akan minta dia untuk tidak menjemputmu. Di antara kita dengan dia tidak ada hubungan keluarga. Dia tidak berhak atas dirimu. Aku akan mempertahankan kamu."
"Terima kasih, Bibi."
"Kamu tidak usah berpikir yang buruk. Berdoa saja semoga semua berjalan dengan sesuai rencana. Meski awalnya ada kejadian tidak nyaman. Kita harus yakin ke depannya lebih baik lagi."
"Aamiin.'
Setelah selesai makan, Runi masuk ke dalam kamarnya.
*