Kekecewaan Imelda

1607 Words
Kehilangan, selalu di artikan dengan sesuatu yang tidak ada. Kehilangan tidak harus selalu dia yang pergi menjauh. Namun kehilangan tentang yang selalu ada, duduk bersama, makan bersama, tapi tak terasa akan kehadirannya. Itulah yang di rasakan Santi saat ini, meski ia selalu ada buat Ela atau Sean. Namun kehadirannya tak mampu membuat Ela menyadari akan keberadaan Santi. Sekar yang kini menjadi sahabat Santi dan Sean seringkali mentertawakannya. Meski menyebalkan, namun Sekar selalu membuat Santi atau Sean kembali tersenyum saat berbincang dengan nya. Sementara Ruri, hanya menjadi pendengar yang baik, diam diam mencintai Santi. Sementara itu, Dusan yang sudah berada di Indonesia, tanpa sepengetahuan putrinya. Dusan memutuskan untuk tinggal di kota Jakarta demi putrinya. Santi yang tengah berjalan santai di tepi jalan raya bersama Sekar, menikmati udara malam sambil makan ice cream. Tidak berhenti tertawa mendengar celotehan Sekar. "Sekar, gue mau tanya." Kata Santi melirik sesaat ke arah Sekar. "Tanya apa lagi? nggak bosen apa ya? nanya terus." Sahut Sekar seraya menyeka bibirnya menggunakan ujung bajunya. "Pernah gak sih, lo diam diam mencintai seseorang?" tanya Santi. Sekar menggelengkan kepalanya. Menoleh ke arah Santi yang menghentikan langkahnya. "Belum pernah, dan gak akan pernah. Mungkin, kalau sebatas mengagumi atau menyukai pernah, lebih dari itu nggak." "Bagaimana lo bisa mencegahnya? cinta dan rasa suka tidak memilih tempat dan kepada siapa kita mencintai." Protes Santi. Sekar tertawa kecil, lalu membuang wadah ice cream yang sudah habis ke tong sampah. "Setiap orang berbeda cara berpikir, dan menilai sesuatu. Kalau kamu nyaman dengan caramu mencintainya diam diam, ya lanjutkan. Tapi kalau kamu sudah tidak merasa nyaman lagi, hentikan." Jelas Sekar, terdiam sesaat menatap kedua bola mata Santi. Santi menarik bibirnya, menatap wajah Sekar. "Halah, bicara sama lo selalu memberikan dua pilihan yang harus gue pilih." "Kamu ikuti saja kata hatimu, jangan ikuti apa kataku. Nanti aku suruh kamu terjun ke jurang, kamu ikutin juga?" goda Sekar. "Ah sial!" rutuk Santi, memukul bahu Sekar dengan tas nya. "Hahaha!" Sekar tertawa terbahak bahak. "Kalila!" Santi dan Sekar menoleh ke arah sumber suara. Mata Santi membulat, menatap pria paruh baya merentangkan tangannya. Di belakang pria paruh baya tersebut, ada tiga pria kekar berdiri tegap. "Papa?" ucap Santi tidak percaya. "Kalila sayang, papa datang!" "Papa!" pekik Santi berlari lalu memeluk tubuh pria tersebut yang tak lain adalah Dusan. "Sayang, papa rindu kamu." Ucap Dusan membelai rambut panjang Santi yang memiliki nama asli Kalila Khanza. "Aku juga, rindu papa..." balas Santi. Sekar tersenyum memperhatikan anak dan ayah saling berpelukan, melepas rasa rindu setelah sekian lama berpisah. Kalila meninggalkan rumah demi mengejar cinta Sean, pria yang sudah di jodohkan dengannya. Namun Sean tidak tahu, kalau Santi adalah wanita yang di jodohkan dengannya. "Papa apa kabar?" tanya Santi melepas pelukannya. "Papa baik sayang," jawab Dusan membelai rambut Santi. "Mulai sekarang, papa tinggal di kota ini." "Benarkah?" tanya Santi. "Kenapa papa tidak bilang dulu?" "Papa mau kasih kejutan buatmu, ayo pulang. Papa rindu makan malam bersama." Kata Dusan. Santi menganggukkan kepalanya, lalu menoleh ke arah Sekar. "Pa, itu sahabatku. Namanya Sekar." "Halo, nak!" sapa Dusan. Sekar membungkukkan badan sesaat. "Malam om." "Sekar, lo ikut ke rumah gue ya?!" tawar Santi. Sekar mengusap tengkuknya, tersenyum lebar. "Kapan kapan San, aku masih ada urusan." Ujar Sekar, tidak ingin mengganggu mereka berdua. "Kok gitu?" ucap Santi kecewa. "Masih ada lain hari, lain waktu. Ya sudah, aku pergi dulu. Om, San, Sekar pamit!" Sekar membungkuk hormat lagi pada Dusan. "Ya sudah, gue pulang dulu!" Sekar menganggukkan kepalanya, memperhatikan Santi dan Dusan masuk ke dalam mobil yang terparkir tak jauh dari tempatnya berdiri. Setelah mobil itu melaju meninggalkan tempat. Sekar kembali melanjutkan langkahnya menyusuri tepi jalan raya. Langkahnya terhenti di depan sekumpulan preman yang sedang duduk di bawah pohon besar. "Non!" seru si gondrong, melambaikan tangan ke arah Sekar. Sekar berjalan mendekati mereka. Lalu duduk diantara pria itu, sementara yang lain berdiri dan membiarkan Sekar duduk bersama si gondrong yang memiliki nama Rawon. "Ada kabar apa?" tanya Sekar, satu kakinya ia naikkan ke atas bangku. "Nyonya Wu sakit, Non. Dia meminta non untuk pulang." Kata Rawon, menundukkan kepala. "Ah, nenek cuma alasan saja. Paling juga mau menjebakku lagi, pura pura sakit padahal bohong." Bantah Sekar. "Tapi non-?" Rawon tidak melanjutkan ucapannya, saat Sekar memberikan kode kepada Rawon untuk diam. Sekar melihat Ela sedang berjalan sendirian menuju lampu merah. Sekar beranjak dari duduknya lalu berlari mengejar Ela. "Darrr!!" Sekar mengagetkan Ela dari arah belakang, dengan menepuk punggung Ela. Ela balik badan, matanya melotot menatap Sekar. "Eh Kurcaci! bikin kaget aja lo!" pekik Ela kesal. Sekar hanya tertawa terbahak bahak menatap raut wajah Ela yang kesal. "Itu muka atau buah kesemek?" goda Sekar. "Diem lu!" ucap Ela. "Gue lagi kesel!" Ela, melangkahkan kakinya lagi, di ikuti Sekar. "Kesel kenapa, bu?" Sekar terus menggoda. "Gue butuh duit!" sahut Ela, melirik sesaat ke arah Sekar. "Duit? buat apaan duit?" tanya Sekar. "Buat ngelamar lu! sungut Ela makin kesal. "Gue butuh duit buat ngelamar Anyelir, masa buat ngelamar Kurcaci kayak lu, hahahaha!" "Ngelamar Anyelir?" ucap Sekar mengulang. Ela mengangguk, "b***k apa lu ya?" "Bukan Santi?" tanya Sekar. "Santi?" Ela terdiam. "Nggaklah, gue sukanya sama Anyelir, bukan Santi. Yang benar saja!" jawab Ela, lalu berlari ke arah seorang pria gendut yang melambaikan tangannya pada Ela. "Anyelir? secepat itu? kapan pacarannya? di alam mimpi?" gumam Sekar menepuk keningnya sendiri sambil memperhatikan Ela sedang merayu seorang pria. Namun tak lama kemudian, Ela kembali dengan raut wajah kesal menghampiti sekar. Sekar berdiri di samping Ela, tertawa terbahak bahak sambil memegang perutnya sendiri. Sementara Ela, duduk di tepi jalan raya. Rambut palsunya ia lemparkan sembarangan ke jalan. "Puas lu ngetawain gue!" rutuk Ela. Sekar menurunkan volume suaranya, lalu duduk di jalan menghadap Ela. "Habisnya kamu itu lucu, orang tadi jelas mau anu sama nganu. Lah kamu mau duitnya doang, hahahahaha!" Sekar kembali tertawa terbahak bahak membuat Ela kesal lalu membekap mulutnya dengan tangan. "Diem lu, gue itu laki. Masa iya gue harus nganu sama dia? yang bener saja!" kata Ela, lalu menarik tangannya kembali. Sekar terdiam sesaat. "Aku serius tanya, kamu benar benar mau melamar Anyelir? kamu mencintainya?" Ela terdiam sesaat, lalu memalingkan wajahnya sambil tertawa kecil. "Aku nggak tahu, tapi dia lembut, baik, aku nyaman saat berada di sisinya." "Bagaimana dengan Anyelir?" tanya Sekar lagi. Kedua tangan Ela terulur, mencubit gemas kedua pipi Sekar. "Dengar ya kurcaci, gue dan Santi hanya sahabat, tidak lebih." "Sakit tau!" sungut Sekar, menurunkan kedua tangan Ela. Bibirnya manyun, dan pipinya merah karena cubitan Ela. "Sst, diem. Jangan bawel!" seru Ela, mengacak rambut Sekar sekilas. "Memalukan!" Ela dan Sekar menoleh ke arah sumber suara. Ela terkejut setengah mati. melihat wanita paruh baya di belakangnya. "Mom?" Ela berdiri, di ikuti Sekar. Keduanya menatap ke arah Imelda. "Kau benar benar mempermalukan keluarga kita, Sean." Ucap Imelda, menatap tajam Ela. "Mom, aku-?" Ela tidak melanjutkan kata katanya. "Diam." Imelda menunjuk ke arah Ela. "Mom, aku-?" "Sst, simpan semua pembelaanmu. Aku menyesal telah melahirkanmu ke dunia ini." Selesai bicara seperti itu, Imelda balik badan, melangkahkan kakinya menuju mobil mewah yang terparkir tak jauh dari tempat Ela berdiri. Ela menatap sedih ke arah Ibunya yang menggeleng gelengkan kepalanya. Ia sudah jauh jauh datang ke Jakarta tapi mendapati putranya berubah tampilan menjadi wanita. "Momy!" panggil Ela. Namun Imelda tidak menggubrisnya. Ela ingin sekali mengejar Imelda dan bersimpuh di kakinya dan meminta maaf. Mengingat ia juga lagi membutuhkan uang untuk melamar Anyelir. Namun niatnya ia urungkan saat tangan Sekar menahan tangannya supaya tidak mengejar Imelda. "Kenapa?" tanya Ela. "Bukan waktu yang tepat, kamu tenang saja. Aku akan membantumu kembali pada keluargamu." Kata Sekar. Ela menganggukkan kepalanya, lalu merangkul bahu Sekar dan memeluknya erat. "Lebay!" sungut Sekar. Ela tertawa yang di paksakan. Nyatanya, ia maupun Santi, sudah merasa nyaman dengan kehadiran Sekar di saat mereka tengah gundah. *** Ke-esokan harinya Sekar mencari informasi di mana ibunya Ela tinggal. Setelah dua jam menunggu anak buahnya mencari informasi. Akhirnya ia dapatkan lokasi di mana Imelda berada. Diam diam, Sekar mendatangi rumah Imelda yang baru. Ia berdiri di depan gerbang rumah megah tersebut, lalu ia membuka gerbang yang tak terkunci. Perlahan ia menghampiri Imelda yang tengah menperhatikan asisten rumah tangganya, merawat bunga bunga yang belum mekar. "Momy..." sapa Sekar. Imelda menoleh ke arah Sekar, tersenyum lebar memperlihatkan sederetan giginya yang putih. "Kau siapa? berani sekali memanggilku, 'mom'?" Sekar tertawa kecil, kedua tangannya di sembunyikan di belakang. Selangkah demi selangkah, ia memberanikan diri mendekati Imelda yang terlihat sangat angkuh. "E, eh, mau apa kau mendekat!" tunjuk Imelda ke arah Sekar. "Mom, jangan takut. Aku hanya ingin melihat wajahmu dari dekat." Kata Sekar. Imelda menyentuh wajahnya sendiri. alisnya bertaut menatap wajah Sekar. "Ada apa dengan wajahku?" tanya Imelda. "Mom..kau mengingatkanku pada ibuku yang telah tiada. Cantik, secantik momy." Jawab Sekar merayu penuh dengan penghayatan dan sedikit bumbu dramatis. Matanya berkaca kaca menatap wajah Imelda, membuat wanita angkuh itu sedikit melunak hatinya. "Oh, begitu?" Sekar menganggukkan kepalanya. "Mom, bolehkah aku memelukmu sekali? setelah itu, aku akan pergi." Imelda terdiam sesaat, meski ia ragu. Namun akhirnya ia mengizinkan Sekar memeluknya meski hanya sebentar. "Terima kasih mom!" ujar Sekar. "Heh, tunggu dulu. Bukankah kau, yang semalam bersama putraku?" tanya Imelda. Sekar terdiam cukup lama. Ia berpikir. kalau mengaku. Pasti Imelda, marah kepadanya. "Tidak mom, mungkin momy salah lihat." Kata Sekar berbohong. "Namaku Sekar, aku tinggal di ujung jalan sana!" tunjuk Sekar sekenanya. Imelda mengangguk anggukkan kepalanya, meski ragu. Ia berusaha mempercayai apa yang di katakan Sekar. "Mom, aku pulang dulu." Kata Sekar. Imelda menganggukkan kepalanya, memperhatikan Sekar berjalan mundur, lalu berlari. 'Anak yang aneh." Gumam Imelda. Sementara Sekar terus berlari meninggalkan rumah Imelda. Lalu ia menghentikan langkahnya di tepi jalan seraya memukul kepalanya sendiri. "Maafkan aku, sudah berbohong. Tapi kalau jujur bisa berantakan rencanaku membantu si Ela." Ucap Sekar pelan. Lalu tersenyum lebar. "Awal yang bagus Sekar!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD