Permintaan terakhir

1722 Words
Sekar, gadis bertubuh mungil. Rambutnya panjang dan ikal, periang, supel, ramah, membuat siapapun betah dan nyaman dekat dengannya, apalagi saat Ela, Santi atau Ruri ada masalah dengan hatinya, Sekar lah yang mereka cari. Namun, siapa yang menduga, di balik sikapnya yang supel dan ramah. Terdapat sisi gelap Sekar yang tidak di ketahui ketiga sahabatnya. Sekar bukanlah gadis biasa, ia meninggalkan rumah untuk memberikan pelajaran kepada neneknya, seorang ketua mafia yang di takuti di kotanya. Orang yang memiliki pengaruh di seluruh jajaran pemerintah. Bakat dan kepintaran sang nenek, mengalir di dalam darah Sekar. Tetapi gadis itu paling pandai menyembunyikan identitasnya. Sekar tengah berkumpul bersama anak buahnya, terkejut melihat Ela sudah berdiri di hadapannya. Sekar yang tidak ingin di ketahui identitasnya tiba tiba saja menampar wajah si gondrong dengan sedikit drama. "Plakk!!" Si gondrong awalnya terkejut, tapi dengan cepat ia memahami situasinya. "Aku tidak punya uang, kalau mau malak sana sama orang orang yang berduit!" seru Sekar. Ela menautkan kedua alisnya, lalu ia menarik tangan Sekar supaya menjauh dari mereka. "Berani sini lu! jangan sama wanita!" tantang Ela. "Bukankah kau wanita juga?" tanya gondrong. Ela menoleh ke arah Sekar yang tertawa cekikikan mendengar pernyataan si gondrong. "Eh gue laki, bukan cewek!" bentak Ela, lalu melepaskan rambut palsunya, memberikannya pada Sekar. "Sini lu, kalau berani." Ela mengepalkan kedua tangan bersiap untuk meninju wajah si gondrong. "Ampun bang, kami tidak cari ribut. Ayo!" Si gondrong mengajak kawan kawannya untuk pergi menjauh seolah olah tidak ada keberanian melawan Ela. "Huu! cemen lu, beraninya sama perempuan!" umpat Ela seraya menendang kaleng kosong ke arah gondrong, namun sasarannya meleset. Sekar terus tertawa, membuat Ela kesal. Lalu membungkam mulut Sekar dengan tangannya. "Lu diem!" perintah Ela, lalu menurunkan lagi tangannya. Mengambil rambut palsu di tangan Sekar, lalu menggunakannya kembali. "Oke aku diem." Kata Sekar, mengatupkan bibirnya. "Gue mau tanya, lu liat Santi?" tanya Ela, menatap wajah Sekar. Namun Sekar hanya diam, bibirnya masih mengatup. Membuat Ela memutar kedua bola matanya lalu menekan kening Sekar dengan telunjuknya. "Jawab kurcacii!" Seru Ela kesal. Sekar tersenyum lebar sekilas, lalu diam menatap wajah Ela dengan raut wajah datar. "Kamu baru ingat Santi? kemarin kemana saja?" tanya Sekar. "Maksud lu apa?" tanya Ela balik. "Lu jangan bikin gue tambah pusing, ayo antarkan aku ke tempat Santi." "Aku tidak mau!" sahut Sekar, melipat tangannya di d**a. "Gue di sini!" Ela dan Sekar menoleh ke arah Santi dan Ruri. Ela bergegas menghampiri Santi dan memeluknya sekilas. "Panjang umur, baru aja gue mau nemuin lu, San." Ucap Ela, lalu melepas pelukannya. Santi tersenyum lebar, hatinya senang sekali. Ternyata Ela merindukannya. "Lo kangen gue?" goda Santi. "Ya, gue kangen. Tapi ada hal penting yang mau gue bicarakan." Kata Ela, meraih kedua tangan Santi dan menggenggamnya erat. "Lo mau nembak gue? gak usah, gue terima lo kok." Celetuk Santi. Ela tertawa terbahak bahak menanggapi kata kata Santi. "Sejak kapan, lu bisa ngelucu?" "What? ngelucu?" ucap Santi. "Sudah, lupakan. San, gue butuh bantuan lu." Kata Ela. "Bantuan?" Ela menganggukkan kepalanya. "Gue mau ngelamar Anyelir, tapi papa nya Anyelir meminta gue menyediakan uang dua ratus juta buat mahar. Lu tau kan? boro boro duit sebanyak itu, seratus ribu saja gue irit irit." Santi menarik tangannya, membelakangi Ela, menghadap ke arah Sekar. "Ayolah San, lu sahabat gue. Bantuin gue sekali lagi." Pinta Ela. "Terus, kalau lo sudah nikah dengan Anyelir. Lu masih mau kerja beginian? mau di kasih makan apa si Anyelir?" tanya Santi tanpa menoleh ke arah Ela. "Gue mau kerja apa saja, demi Anyelir. Gue janji gak bakal jadi cewek lagi." Ela mengucapkan janji, demi seorang Anyelir. Padahal selama ini, Santi selalu meminta hal itu. "Baik, kalau lo bahagia dan nyaman bersama Anyelir. Gue bantu lo, La." Santi balik badan, menatap wajah Ela dan tersenyum. "Terima kasih!" Ela menarik wajah Santi lalu mencium keningnya, setelah itu ia berlari kegirangan untuk menemui Anyelir di rumahnya dan menyetujui permintaan papa nya Anyelir. Sepeninggal Ela, Sekar menghampiri Santi lalu mendekatkan wajahnya ke arah Santi. "Bodoh!!" Setelah mengumpat, Sekar balik badan. Melangkahkan kakinya menjauh dari Santi dan Ruri. "Sekar!" panggil Santi. "Sekaaarr!!" Namun Sekar tidak menggubrisnya, ia mengangkat jari tengahnya tanpa melihat ke arah Santi. Santi menggelengkan kepalanya, menatap punggung Sekar hingga hilang di belokan jalan. Lalu ia menoleh ke arah Ruri yang sedari tadi hanya diam memperhatikan. "Ru-?" kata kata Santi terputus. Ruri meletakkan satu jarinya di bibir Santi. Lalu balik badan, melangkahkan kakinya meninggalkan Santi dengan rasa kecewa. Santi duduk di tepi jalan, matanya basah, dadanya sesak. Mengapa Ela lebih memilih wanita yang baru ia kenal, dari pada dirinya yang sudah lama bersama dan selalu ada buatnya. Bulir air mata jatuh membasahi pipinya, kini dua sahabatnya pergi meninggalkannya. "Ini, jangan mewek!" Santi menoleh ke arah es cream yang di sodorkan Sekar. Lalu ia tengadahkan wajah menatap Sekar seraya mengusap air matanya. Sekar mengangguk, lalu duduk di samping Santi. "Ambil!" Santi bukannya mengambil es cream di tangan Sekar, tapi ia memeluk tubuh Sekar lalu menangis. "Menangislah, kalau itu buat kamu tenang." Kata Sekar. "Sampai kapanpun, papa tidak akan pernah menyetujui hubunganmu dengan si Sean b******k!" Santi melepaskan pelukannya, tengadahkan wajahnya menatap Dusan dan Ruri. Lalu ia dan Sekar berdiri menghadap mereka. "Papa?!" "Papa sudah punya calon suami buatmu." Kata Dusan datar. "Pa, aku tidak mau di jodohkan." Tolak Santi. "Joe!" Dusan memanggil anak buahnya. "Saya tuan!" sahut Joe berjalan mendekat. "Seret putriku, dan bawa dia pulang ke rumah!" perintah Dusan. "Pa!" protes Santi. Namun Dusan tidak mau tahu. ia sudah tahu semuanya dari Ruri. Dan Dusan memutuskan menjodohkan Santi dengan Ruri. Kebetulan Ruri adalah putra, sahabatnya. Santi berusaha memberontak, namun cengkraman Joe terlalu kuat. Akhirnya, mau tidak mau, Santi mengikuti langkah kaki Joe. Di ikuti Dusan dan Ruri di belakangnya. Sekar masih berdiri terpaku di tempatnya. "Dramatis." Gumam Sekar, menggelengkan kepalanya. *** "Kamu mau jadi apa? pengemis cinta?" tanya Dusan. "Kau habiskan waktumu, masa depanmu, hanya untuk laki laki b******k seperti Sean atau si Ela? menjijikkan!" umpat Dusan. Santi diam menundukkan kepala, matanya basah oleh air mata. "Aku beri satu pilihan." Kata Dusan menatap marah ke arah Santi. "Menikah dengan Ruri, atau kau pulang ikut papa, dan jangan harap kau dapatkan lagi kebebasanmu." Santi melirik sekilas ke arah Ruri yang duduk di sampingnya. "Tentukan pilihanmu, jangan buat papa marah!" Dusan menggebrak meja, membuat Santi dan Ruri terkejut. Santi tengadahkan wajahnya menatap Dusan. "Baiklah pa, aku setuju dengan keputusan papa. Tapi, aku punya satu permintaan untuk terakhir kalinya." "Katakan cepat!" Seru Dusan sudah habis kesabaran. "Izinkan aku bertemu Sean sekali lagi pa." Kata Santi. Dusan diam sejenak. "Baiklah, aku izinkan. Setelah itu, jangan pernah temui Sean lagi!" Santi menganggukkan kepalanya, ia tersenyum seraya menyeka air matanya. Lalu ia meminta izin untuk menemui Sean di antar Ruri. Sementara di kafe. Sekar janjian bertemu dengan Aldo, mantan suaminya Anyelir. Setelah memesan dua cangkir kopi, Sekar memulai pembicaraan serius dengan Aldo. Ia penasaran, mengapa Aldo sampai berhutang banyak kepada Alex dan tega mempertaruhkan Anyelir di meja judi. Yang lebih membuat Sekar ada yang ganjal adalah, orang tua Anyelir meminta uang dengan jumlah yang banyak kepada Sean. "Aku bukan suami sebrengsek itu." Kata Aldo. "Semua yang aku lakukan, demi memuaskan keinginan papanya Anyelir. Ia selalu memintaku uang dalam jumlah banyak, sampai aku di pecat dari perusahaan dan terpaksa bermain judi, itu pun bukan kebiasaanku. Tapi, aku menggantikan posisi papa nya Anyelir. Aku menyetujui bukan untuk mempertaruhkan istriku di meja judi, tapi untuk membebaskannya. Namun sayang, aku benat benar apes." Jelas Aldo panjang lebar. Sekar mengangguk anggukkan kepala, menatap kedua bola mata Aldo. "Siapa nama papanya Anyelir?" tanya Sekar. "Max!" sahut Aldo. "Max?" kedua alis Sekar bertaut, ia seperti mengenal nama itu. Namun Sekar sendiri belum yakin. "Aku peringatkan." Kata Aldo. "Apa?" tanya Sekar. "Alex dan Max, sedang bekerjasama untuk memeras Sean atau si Ela itu. Dengan cara, mendekati nyonya Imelda. Sekarang ini, mereka tengah melakukan pendekatan." Pesan Aldo. "Apa aku percaya?" tanya Sekar lagi. "Kau tidak harus percaya, dan aku rasa. Kau bukan perempuan bodoh." Ungkap Aldo. "Terima kasih atas infonya." Sekar mengeluarkan kartu nama dari dalam tasnya, lalu di berikan pada Aldo. "Datanglah, jika butuh pekerjaan." "Terima kasih!" sahut Aldo. Setelah berbincang, Sekar berpamitan untuk pulang. Namun di tengah perjalanan, ia melihat Ela dan Anyelir tengah berjalan bersama. Sekar meminta sopir pribadinya menurunkan dia di tempat yang jauh dari Ela dan Anyelir. Setelah itu, Sekar bergegas menghampiri mereka berdua. "Elaaa!!" teriak Sekar, seraya tertawa lebar. Padahal posisi antara Sekar dan Ela berhadapan. "Kurcacii! bisa ga? lu gak teriak?" tanya Ela kesal. Sekar menutupi mulutnya sekilas dengan tangan. Lalu mengalihkan pandangannya pada Anyelir. "Halo Anyelir!" sapa Sekar. Anyelir tersenyum, tangannya menyentuh lembut lengan Sekar. "Halo juga Sekar, kemana saja baru kelihatan?" tanya Anyelir dengan lembut. "Aku sibuk!" sahut Sekar. Ela yang berada di samping Anyelir, memajykan bibirnya mendemgar pernyataan Sekar. "Sok sibuk lu, tiap hari juga lu mondar mandir di jalan." Sungut Ela. Lagi lagi Sekar tertawa lebar. "Itu juga suatu pekerjaan yang tidak mungkin di lakukan oleh orang lain, hahahahaha!" "Tep!" Ela membekap mulut Sekar, Anyelir hanya tersenyum melihat ke-akraban Sekar dan Ela. Bukan sekedar gosip, mereka layaknya adik dan kakak, lebih dari sahabat. "Hei, kamu nggak boleh begitu." Kata Anyelir, menarik tangan Ela. "Habisnya kalau bicara suka seenak hatinya." Rutuk Ela, menatap jengah Sekar. "Sean!" Ela dan yang lain menoleh ke arah sumber suara. Nampak Santi dan Ruri berjalan mendekat ke arah mereka. "San?" sapa Ela. Santi tersenyum, lalu menyodorkan amplop berwarna coklat kepada Ela. "Apa ini?" tanya Ela, lalu mengambil amplop coklat di tangan Santi. "Uang untuk melamar Anyelir, ini terakhir aku membantu dan bertemu denganmu." Jelas Santi. "Kenapa San?" tanya Ela menatap wajah Santi. "Aku mau menikah dengan Ruri." Santi melirik sesaat ke arah Ruri yang hanya diam. "Oya?" mata Ela melebar, tersenyum lalu memeluk Santi dengan erat. "Akhirnya lu ketemu sama jodoh lu, San!" ucap Ela. Santi mengangguk, lalu melepas pelulan Ela. "Lo juga, moga bahagia bersama Anyelir." Kata Santi. "Makasih San, gue nggak bakal lupa sama kebaikan lu." Ucap Ela. "Gue dan Anyelir secepatnya akan menikah." Santi mengangguk lagi. "Jaga diri lo baik baik." Setelah bicara seperti itu, Santi dan Ruri meninggalkan Ela dan yang lain. "Sean, ada hal penting yang mau aku bicarakan." Kata Sekar. "Penting apa? paling juga lu cuma mau candain gue. Sudahlah, aku masih ada urusan, lu main saja sendiri dulu ya!" Sean mengacak acak rambut Sekar sesaat, lalu menggenggam erat tangan Anyelir. "Sean!" panggil Sekar, namun Sean tidak menggubrisnya. "Dasar bocah kuntul, nyesel baru tau rasa!" rutuk Sekar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD