6. Perjuangan Shaka Belum Berakhir

1207 Words
Nadine menghembuskan nafas lega ketika rapatnya pagi ini bisa ia pimpin dengan baik. Meski rasa mual masih terasa ia tak sampai muntah dan meninggalkan rapat. Keputusannya untuk tidak mengisi perutnya pagi ini sudah tepat. Meski harus menahan lapar setidaknya tidak membuat geger seisi ruangan dan membongkar kondisinya. "Ra, bisa tolong belikan saya makanan?" ucap Nadine pada sekretarisnya. Rara melihat jam di pergelangan tangannya. Untuk memastikan makanan apa yang Nadine minta. Makanan untuk sarapan pagi atau makan siang di jam tanggung seperti ini. "Maaf Bu, makanan buat makan siang maksudnya?" "Bukan, saya belum sarapan tadi." "Ibu mau di belikan makanan apa Bu?" "Sushi, boleh deh." "Sushi?" tanya Rara sedikit tidak yakun dengan pendengarannya. "Iya, saya lagi pengin makan itu biar kenyang sampai siang." "Oh, baik Bu, sebentar saya belikan dulu di restoran biasa." Sambil menunggu Rara membelikannya makanan Nadine merebahkan diri di sofa. Jujur tubuhnya lemas karena perutnya belum terisi apa-apa. "Loh Din, kamu kenapa jam segini tiduran? Sakit?" Nadine terkejut, ia segera bangkit dan duduk di sofa. Di depannya sudah berdiri sang Ayah dan, Om Shaka yang tengah menatapnya tajam. Nadine tak mendengar pintu ruangannya di ketuk dan di buka. Itu berarti tadi ia ketiduran. "Din, kamu sakit?" tanya sang Ayah sekali lagi. "E...enggak kok Pah, Nadine baik-baik aja," jawab Nadine gugup. "Beneran? Soalnya biasanya kamu nggak pernah terlihat tiduran di kantor, apalagi di jam seperti ini," ucap sang Ayah khawatir. "Atau kamu belum sarapan? Tadi nggak mau sarapan di rumah kamu bilang mau sarapan sama temam di luar 'kan, jadi nggak?" "Jadi kok Pah," jawab Nadine berbohong. "Ya sudah. Kalau kamu nggak enak badan bilang ke Papa biar nanti istirahat dan kerjaan bisa Papa pegang dulu." "Iya Pah, siap. Nadine baik-baik aja kok." "Baguslah. Oh ya Din, Papa kesini anterin Om Shaka, beliau bilang ada yang ingin di bicarakan sama kamu. Tapi maaf, Papa nggak bisa temenin, masih ada urusan di luar," ucap sang Ayah. Nadine menatap Shaka sebentar. Sebenarnya ia keberatan, tapi tak bisa menolak ucapan Ayahnya. "Iya Pah, nggak apa-apa." "Ya sudah, Pak Shaka saya tinggal." Shaka mengangguk sopan. Hanya dengan cara seperti ini ia bisa menemui dan berbicara dengan Nadine. "Apa vitamin dan s**u untuk Ibu hamilnya tidak kamu minum Nadine?" tanya Shaka pada sang kekasih. Pipi Nadine terlihat sedikit lebih tirus dari biasanya. "Lupa," jawab Nadine singkat. "Apa kamu merasa mual dan tidak bisa makan?" "Tidak," jawab Nadine berbohong. Untuk mual yang sedikit parah ia baru merasakan hari ini. Tapi malas dan tidak nafsu makan sudah dari beberapa hari yang lalu. s**u hamil dan vitamin juga tidak rutin ia minum karena lupa dan malas juga. Apalagi setelah lelah bekerja dan pulang dari kantor malam hari. "Jalan terbaik adalah kita menikah Nadine. Saya bisa mendampingi kehamilan kamu, menjaga kamu, kamu tidak perlu lagi lelah bekerja. Kamu dan dia akan lebih sehat dan baik-baik saja," bujuk Shaka sekali lagi. "Kalau Om kesini cuma mau bahas masalah begini lebih baik Om pulang saja," ucap Nadine. "Masalahnya apa Nadine? Kita sama-sama single, tidak terikat hubungan dengan siapa pun. Untuk restu Ayahmu kita bisa mengusahakannya. Bahkan kalau kamu benar-benar sudah tidak ada rasa cinta sama saya karena perbedaan usia kita yang terlalu jauh, tidak masalah Nadine, saya bisa menerimanya, asal kamu dan calon anak kita baik-baik saja." "Om Shaka pulang aja. Aku baik-baik saja." "Baik-baik saja kamu bilang? Kamu kurusan Nadine, wajah kamu lesu dan pucat. Mau kamu sembunyikan ini dari siapa pun juga percuma, tidak akan bisa lama." "Tolong keluar, Om!" Shaka menghembuskan nafas berat. Ia kemudian berjongkok dan berlutut di bawah kaki Nadine yang tengah duduk di sofa. "Tolong jangan keras kepala seperti ini, Nadine. Saya tidak percaya kamu baik-baik saja. Saya sudah pernah menikah, mendampingi kehamilan istri saya dulu dan semuanya tidak mudah Nadine. Kamu tidak bisa menjalani semua ini sendirian." Nadine tak menjawab. Ia dulu juga pernah hamil meski hanya sebentar dan memang tidak mudah bahkan ia memilih untuk menyerah karena suatu alasan. Tapi Nadine merasa tidak ada pilihan lain yang lebih baik selain tidak menikah dengan Shaka. "Eh, maaf." Nadine dan Shaka kompak melihat kearah pintu. Di sana ada Rara yang berdiri kikuk. Posisi ambigu Nadine dan Shaka membuat sekretarisnya itu bingung. "Maaf Pak Shaka, saya mau mengantar pesanan makanan Bu Nadine," ucap Rara yang sedikit bisa menebak apa yang terjadi di antara dua orang di depannya ini. "Makanan di jam seperti ini?" tanya Shaka memastikan. "Iya, tadi Bu Nadine bilang belum sarapan," jawab Rara. "Ini Bu, kalau begitu saya keluar, maaf sudah mengganggu." Bukan Nadine yang menerima makanan itu, tapi Shaka. Dan dari gerakan dan tatapan mata Shaka pada Nadine, Rara sudah cukup tahu dan paham apa yang terjadi. Ini di luar urusan pekerjaan dan dia tidak akan ikut campur. "Yang begini kamu bilang baik-baik saja dan bisa jaga diri sendiri. Untuk masalah makanan saja kamu tidak bisa memilih mana yang boleh di konsumsi wanita hamil dan mana yang tidak. Ini ikan mentah Nadine, tidak baik di konsumsi Ibu hamil, banyak mengandung bakteri dan berbahaya untuk janin." "Aku nggak peduli, dan kamu terlalu cerewet." "Kalau begitu percuma saya tidak langsung melamarmu pada Ardian kalau pada kenyataannya kamu tetap mengancam nyawa dia." Nadine memghembuskan nafas lelah. Kapan perdebatan ini akan selesai, perutnya sudah lapar dan rasa mualnya datang lagi. "Om, udah dulu ngajak debatnya. Aku udah lapar banget," ucap Nadine memelas. Sayangnya apa yang di lakukan Shaka membuat hati Nadine begitu sakit. Ketika Nadine ingin meraih kotak makan itu Shaka menampiknya hingga kotak makan itu jatuh ke lantai dan makanannya tumpah. "Jangan makan itu!" Nadine menatap mata Om Shaka penuh amarah. Air matanya menetes deras tanpa bisa ia tahan. Ia tak nafsu makan dan hanya makanan itu yang terbayang nikmat di kepalanya. Tapi Shaka menghancurkan sedikit saja kebahagiaannya. "Buat apa Om datang kesini kalau cuma mau buat aku nangis? Aku akan pertahankan dia dengan caraku sendiri tapi tolong Om Shaka jangan lagi ikut campur sama kehidupanku selain untuk urusan pekerjaan." Ucap Nadine dengan nada begitu lemah dan tangis yang memilukan. Shaka segera membawa Nadine kedalam pelukkannya. Mengucap maaf dan mengusap punggungnya lembut. Dia mengaku salah sudah terlalu keras pada Nadine karena kecewa wanita itu masih tetap saja menolak untuk di ajak menikah. "Maafkan saya, Nadine." "Om, kasih aku waktu. Setelah ini jangan temui aku dulu kalau aku nggak minta. Kalau pertemuan kita akan berakhir seperti ini cuma bikin kepala sama perutku sakit," ucap Nadine sambil terisak. Berat. Lagi-lagi Shaka harus menuruti keinginan Nadine meski itu sangat berat. Tapi rasa sayangnya mengalahkan itu semua. "Apa kamu bisa berjanji, setelah ini akan menjaga diri dan dia lebih baik lagi? Makan dengan benar dan teratur?" Nadine mengangguk meski ia tak yakin bisa menepatinya. "Baiklah, tapi untuk hari ini saja. Saya minta waktumu Nadine, pulanglah bersama saya dan biarkan saya bertangung jawab atas kamu dan dia satu hari ini. Sampai malam, jam biasa kamu pulang kantor." "Hanya hari ini saja." Shaka mengangguk. Tapi dia tak akan diam saja untuk Nadine dan calon anaknya. Untuk hari ini cukup sampai disini dulu. Dia hanya tidak ingin Nadine pulang dengan kondisi hati yang tidak baik karenanya. Dia juga akan mengganti makanan milik Nadine yang tumpah sia-sia. Sampai kapan pun Shaka akan memperjuangkan Nadine apa pun alasan di balik penolakan bertubi-tubi wanitanya ini. Perjuangannya belum berakhir. Shaka tidak akan menyerah, karena ia yakin Nadine akan menjadi wanita terakhir dalam hidupnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD