Nadine terdiam kala dinginnya alat USG menyapu halus permukaan perutnya. Tetapi telinganya enggan mendengarkan apa yang tengah dokter jelaskan pada Om Shak. Tentang apa yang ada di dalam perutnya dan bagaimana keadaannya.
Dulu sekali Nadine juga pernah mengalami hal seperti ini, yaitu kehamilan yang tak dirinya harapkan. Bedanya hanya, saat ini orang yang bertanggung jawab dengan apa yang terjadi ada di sebelahnya sedangkan dulu ia hanya bisa menangisi alat tes kehamilan bergaris dua sendirian. Bahkan wajah mana yang berhasil menitipkan benih di rahimnya ia pun tak tahu.
"Saya antar kamu pulang sampai ke rumah Nadine," ucap Shaka setelah mereka keluar dari rumah sakit.
"Nggak usah, aku naik taksi aja."
"Din, kita harus bicarakan pernikahan kita sesegera mungkin."
"Tidak akan ada pernikahan di antara kita, Om."
"Tolong jangan keras kepala Nadine. Kamu mengandung anak saya, dan dia juga butuh tanggung jawab seorang Ayah," jelas Shaka.
"Janin ini tidak akan merubah keputusanku tentang perpisahan kita, Om. Tolong mengerti."
Shaka menyugar rambutnya kasar. Tak tahu lagi harus membujuk Nadine dengan cara apa agar mau dia nikahi.
"Saya akan bicarakan ini dengan Ayahmu."
Nadine menghempaskan tangan Shaka yang tengah menggenggamnya dengan keras. Jangan sampai Ayahnya tahu apa yang terjadi.
"Jangan katakan apapun ke Papa, atau aku akan gugurkan anak ini, Om."
"Nadine!" Suara keras Shaka membuat Nadine terkejut dan hatinya sakit. Bahkan air matanya keluar tanpa bisa ia tahan padahal dia bukan tipe wanita yang cengeng.
"Aku tidak pernah menginginkan anak ini, Om yang dengan nekad membuatnya ada. Tolong diam atau aku akan benar-benar melenyapkannya."
Shaka menatap Nadine dengan mata berkaca-kaca. Ia benci ancaman Nadine dan airmatanya.
"Ada apa sebenarnya denganmu, Nadine?"
Nadine tak menjawab, ia juga bingung. Menerima Shaka jelas akan kembali mengorek luka lamanya. Jika menjelaskan apa alasannya, pasti akan berbuntut panjang dan Ayahnya akan tahu apa yang sudah terjadi di hidupnya. Jujur Nadine malu karena tak bisa menjaga diri, mengkhianati kepercayaan orangtuanya yang sudah memberinya kebebasan bermain.
Shaka menghembuskan nafas berat. Ia marah, tapi hatinya merasa iba, Nadine terdiam sendu dengan mata merah dan wajah pucat. Dirinya seorang duda yang memiliki anak dan pernah merasakan menjaga wanita hamil dengan segala kondisinya.
"Maaf. Tolong terima niat baik saya buat antar kamu sampai rumah. Saya janji tidak akan masuk dan menemui Ayahmu." Ucap Shaka seraya memberikan ciuman lembut di kepala Nadine.
Nadine mengangguk. Ia sudah cukup lelah untuk segala kejutan di hari ini. Jarak rumah Nadine dari rumah sakit tadi lumayan jauh. Butuh waktu tempuh sekitar satu jam lamanya. Dalam perjalanan, Nadine memilih memejamkan mata, lalu tidur. Tak ada sedikit pun percakapan dengan Om Shaka. Laki-laki itu pun membiarkan Nadine tidur dan beristirahat, bahkan ia menyelimutinya dengan jas yang tadi di kenakannya. Dengan kondisi Nadine yang tengah hamil, ia tak bisa memberinya tekanan berlebih.
Setelah sampai dan Shaka membangunkannya, Nadine segera merapikan penampilannya sebelum turun dari mobil. Tapi entah mengapa wajahnya tetap saja terasa kusam dan tidak bercahaya meski ia sudah memolesnya kembali dengan sedikit riasan. Mungkin suasana hati mempengaruhi raut dan rupa wajahnya saat ini.
Baik Nadine maupun Shaka tidak mengeluarkan sepatah kata pun saat mereka berpisah dan Nadine turun dari mobilnya. Kepala laki-laki itu di penuhi pertanyaan bagaimana ia bisa memberi pertanggung jawaban dengan menikahi Nadine dengan aman dan tanpa ancaman.
"Kok sampai malam Din?" tanya sang Ayah begitu ia sampai rumah.
"I...iya Pah, ada beberapa store yang kita kunjungi dan jaraknya cukup jauh," jawab Nadine berbohong. Wanita itu meremas tangannya sendiri, ia mulai berbohong lagi setelah sekian lama.
"Aku ke kamar dulu ya Pah," ucap Nadine.
"Apa ada masalah?" tanya sang Ayah sambil menahan tangan Nadine. Wajah sayu Nadine tak lepas dari penglihatannya.
Nadine menggeleng. "Enggak kok Pah, tapi aku capek banget."
"Kelihatan kok, wajah kamu pucat. Ya udah istirahat dulu, nanti kalau lapar turun lagi ya buat makan."
"Iya Pah, terimakasih."
Nadine segera berlari menaiki anak tangga. Tapi di tangga ke sepuluh dia berhenti, teringat akan apa yang saat ini ada di dalam perutnya.
***
Satu minggu setelah tahu dirinya hamil Nadine masih bisa merasa baik-baik saja. Tidak ada perubahan berarti dari segi bentuk tubuh maupun kesehatannya. Tapi pagi ini, apa yang terjadi pada dirinya mulai terasa mengganggu. Kepalanya terasa berat, perutnya sakit dan terasa mual. Untuk beranjak dari tempat tidur rasanya malas sekali. Tapi Nadine harus pergi, pagi ini dia ada jadwal rapat bersama orang perusahaan termasuk Ayahnya dan Om Shaka dan Nadine harus datang sebagai bentuk tanggung jawabnya.
Dengan susah payah Nadine bersiap, mandi, mengganti baju, dan merias wajah sebisanya karena ada aroma-aroma yang biasanya ia suka tapi saat ini terasa mengganggu indera penciumannya.
Turun dari lantai kamarnya, Nadine menemukan tiga anggota keluarganya tengah sarapan pagi bersama. Jantung Nadine berdetak takut. Ia takut jika ikut sarapan bersama dan tiba-tiba rasa mualnya datang akan membongkar semuanya. Dulu ia pernah merasakannya sebelum akhirnya membuat pilihan sulit berlumur dosa.
"Mah, Pah, Nando, maaf ya pagi ini aku nggak bisa ikut sarapan, lagi buru-buru banget soalnya," ucap Nadine memberi alasan.
"Loh kenapa? Baru jam segini, rapat juga pasti tidak akan di mulai sebelum kamu datang. Di sini kamu kuncinya, kamu ratunya, jadi nggak perlu takut telat. Memangnya siapa yang berani marahin kamu?"
Nadine tertawa mendengar seloroh Ayahnya. "Aku ada janji sama seseorang buat sarapan bareng Pah, maaf ya," bohong Nadine.
"Wah, beneran? Siapa orangnya? Jangan-jangan?"
"Ck, bukan siapa-siapa Papa jangan berpikiran terlalu jauh."
"Nggak tahu lah Din, belakangan Papa merasa jodoh kamu sudah dekat."
"Ah Papa ada-ada aja, udah ah nanti aku telat beneran. Aku pergi dulu ya, selamat sarapan semuanya."
Nadine menghembuskan nafas lega setelah bisa lolos dari acara sarapan pagi di rumahnya. Cepat atau lambat mereka pasti tahu apa yang tengah terjadi padanya. Sebuah kehamilan tidak mudah untuk di sembunyikan apalagi jika usianya bertambah dan perutnya membesar. Tapi untuk sampai di sana, Nadine masih punya waktu beberapa minggu lagi. Dia masih punya waktu untuk menyampaikannya pada sang Ayah dengan cara yang mungkin bisa mereka terima. Nadine berbohong tentang ancaman itu. Ia hanya tidak ingin menikah dengan Shaka. Untuk janin di perutnya, ia sudah memutuskan untuk mempertahankannya. Nadine tidak ingin mengulang perbuatan dosa itu untuk kedua kalinya. Kali ini dia akan menerima anak dari Shaka dan merawatnya, sendiri.