Nadine berniat keluar dari ruangan bersama Shaka setelah bisa menenangkan dirinya. Membasuh wajah serta membenahi riasan wajahnya. Dia tidak mau mata merahnya menjadi tanya beberapa orang di kantornya.
Selama menunggu Nadine, Shaka membersihkan kekacaun yang ia buat yaitu makanan yang ia jatuhkan ke lantai.
"Kalau kamu masih pengin makan sushi banyak kok sushi yang matang Din. Itu lebih aman untuk kamu makan." Ucap Shaka karena melihat Nadine menatap sayang makanan itu ketika ia membuangnya.
"Udah nggak pengin."
Shaka mendekati Nadine dan mendaratkan ciuman di keningnya. "Nanti ke restoran biasa kita makan."
Setelah Nadine sudah bisa menetralkan kondisi hatinya ia mengajak Shaka keluar ruangan.
"Ra, saya pergi ya. Kalau ada yang cari suruh kembali lagi besok. Dan kalau Papa saya tanya, tolong bilang sedang ada urusan di luar dan akan langsung pulang kerumah," pesan Nadine pada Rara sekretarisnya.
"Baik, Bu."
Nadine keluar dari kantor dan menuju parkiran khusus dirinya. Mereka mereka pergi ke tempat yang sama tapi dengan mobil berbeda, milik mereka masing-masing. Tapi di tengah jalan Shaka menyalip mobil Nadine dan meninggalkan mobilnya sendiri di pinggir jalan dan masuk ke mobil kekasihnya.
"Kamu pindah, biar saya yang setir mobilnya."
Tak ingin lagi berdebat, Nadine menurut. Toh saat ini dia juga sedang tidak punya begitu banyak tenaga. Bahkan dia sudah mulai berpikir untuk mencari sopir pribadi saja untuk mengantar ia kemana-mana. Nadine merasa tubuhnya lebih mudah lelah jika di gunakan untuk pulang-pergi dari kantor kerumah.
"Aku nggak mau makan di restoran. Om beliin aja buat makan di apartemen," ucap Nadine pada Om Shaka.
Shaka mengangguk. Ia lalu membelokkan mobil ke sebuah restoran seafood kesukaan Nadine dan membelinya untuk di bawa pulang.
Sesampainya di apartemen dia segera menyiapkan makanan itu untuk Nadine. Memilihkan daging dari Ikan Bakar dan mengupaskan kerang agar Nadine bisa memakannya dengan mudah.
Awalnya Nadine bisa makan dengan nyaman dan enak-enak saja. Tapi ketika ia menyuapkan kerang ke mulutnya, merasakan tekstur kenyal dan aromanya, perutnya tiba-tiba terasa mual. Ia segera berlari ke kamar mandi dan memuntahkan makanan yang sudah masuk kedalam perutnya. Membuat perutnya kembali kosong dan sakit.
Nadine kesal, kenapa hamil selalu se-merepotkan ini. Memberi siksaan tersendiri pada tubuhnya.
Nadine merasakan Shaka menyusul dan memijit tengkuknya.
"Nadine, apa kita perlu ke dokter? Dulu, istri saya sewaktu hamil hanya muntah di pagi hari saja dan perutnya masih bisa di isi makanan. Tapi kamu sampai seperti ini."
Nadine diam tak menjawab pertanyaan Shaka. Kata-katanya justru mengingatkan dirinya pada Melvin dan Ibunya. Istri Shaka yang dia bilang hamil, itu berarti hamil Melvin. Sejujurnya, ada banyak sekali pertanyaan di benak Nadine, tentang Melvin juga pernikahan terdahulu Shaka. Sebelumnya Nadine tidak pernah bertanya atau mencari tahu lebih lanjut tentang siapa Shaka. Yang ia tahu hanyalah Shaka seorang duda cerai, dan punya satu anak. Orangtua dan saudara Shaka kebanyakan tinggal di Belanda. Sebelumnya ia tak pernah berniat mencaritahu dan menanyakan di mana mantan istri dan anak Shaka berada. Di usia Shaka yang baru 40-an awal, ia tidak pernah mengira jika anaknya sudah dewasa bahkan seusia dirinya.
"Din?"
"Aku mau istirahat aja, nggak mau pergi kemana-mana apalagi ke dokter," ucap Nadine.
Shaka menuntun Nadine ke kamarnya, menidurkan sang wanita di ranjang yang biasa mereka gunakan untuk bercinta.
"Di usia berapa dulu Om Shaka menikah?" tanya Nadine setelah ia berbaring dan perutnya terasa lebih nyaman.
"Saya menikah di usia saya yang belum genap 18 tahun, Din."
"Semuda itu? Kenapa?"
Shaka menghembuskan nafas berat sebelum menjawabnya. Sudah lama tidak ada yang menanyakan masa lalunya yang berisi banyak aib.
"Saya menghamili anak teman Ibu saya yang di titipkan tinggal di rumah kami karena dia bersekolah di Belanda," jawab Shaka sedikit menjelaskan bagaimana ia bisa menikah di usia semuda itu.
"Dulu gaya pacaran Om liar begini juga?"
"Tidak Din, saya menghamili dia bukan karena dia kekasih saya. Saya tidak pernah berpacaran dengannya, hanya menidurinya sampai ada anak yang tumbuh di perutnya."
"Kalian teman tapi tidur bareng?"
"Tidak, itu terjadi hanya karena kesalahan semalam. Kita melakukannya dalam keadaan sedang terpengaruh minuman beralkohol saat merayakan pergantian tahun."
"Itu berarti Om menikahinya bukan karena cinta?"
"Saya bukan orang yang mudah jatuh cinta tapi memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi, Nadine."
"Lalu kenapa kalian bercerai?"
Shaka duduk di ranjang sebelah Nadine dan mengusap pelan kepala wanitanya.
"Kenapa kamu menanyakan ini? Apa pertemuan kamu dengan anak dan mantan istri saya beberapa waktu lalu membuatmu merasa tidak nyaman, Sayang?"
Nadine menggeleng. "Nggak Om, aku cuma pengin tahu aja."
"Kita bercerai tiga tahun setelahnya, alasannya banyak. Salah satunya karena saya tidak bisa menghidupi dia dengan cukup. Setelah menikah orangtua dia meminta saya pulang ke sini, tinggal di rumah mereka. Di usia yang masih sangat muda saya belum bekerja dan tidak punya penghasilan. Uang saku yang orangtua saya berikan meski banyak tetap saja habis apalagi saya juga meneruskan pendidikan di sini. Orangtua dia tidak terima ketika akhirnya dalam rumah tangga kita sering bertengkar salah satunya tentang masalah ekonomi, gaya hidupnya cukup tinggi dan penghasilan saya belum bisa mengimbanginya saat itu . Tiana yang lahir dari orang tua kaya raya selalu saja mempermasalahkan sedikitnya nafkah yang saya berikan karena saat itu hanya bisa bekerja sampingan. Sampai pada suatu hari Tiana di jodohkan dengan laki-laki lain yang lebih mapan bahkan sebelum kita bercerai."
Nadine cukup terkejut, ternyata masa lalu pernikahan Om Shaka sepahit itu.
"Apa dulu Om tidak berusaha mempertahankan dan memperjuangkan dia?"
Shaka menggeleng. "Saya sudah memperjuangkannya ketika hendak mempertanggung jawabkan perbuatan saya, Nadine. Percaya atau tidak, dia sama seperti kamu. Begitu mudah mengatakan akan membuangnya alih-alih meminta pertanggung jawaban. Dan saya tidak bisa menerimanya. Saya mempunyai Ibu yang untuk memiliki anak butuh begitu banyak perjuangan bahkan harus bertaruh nyawa, Nadine. Saya membenci seorang wanita yang bisa dengan mudah hendak membuang darah dagingnya sendiri."
Nadine menggigit bibirnya. Dia bukan hanya berniat, tapi bahkan sudah pernah melakukannya. Melenyapkan darah dagingnya sendiri.
Tak terasa sebulir air matanya jatuh ke pipi. Tiba-tiba Nadine merasa sudah menjadi orang yang sangat jahat.
"Kalau Om pernah mempunyai masa lalu yang kurang baik, kenapa sekarang mengulanginya lagi? Menghamili wanita di luar pernikahan?" tanya Nadine dengan suara parau.
"Maaf Nadine, tapi untuk saat ini kasusnya berbeda. Saya terpaksa melakukannya untuk memperjuangkan kamu, mempertahankan kamu. Saya juga sudah lebih dari mampu untuk membiayai hidup kamu dan anak kita nanti. Satu lagi, saya mencintaimu Nadine."
Nadine menatap mata Shaka cepat. Ini adalah ungkapan cinta pertama Shaka untuknya. Selama ini hanya Nadine yang biasa mengungkapkan rasa sayang dan cintanya. Sayangnya ungkapan manis itu ia dengar sudah dalam waktu dan kondisi hatinya tak bisa lagi berbunga-bunga.
"Tapi apa yang Om lakukan membuat posisiku sulit," keluh Nadine.
"Itu karena kamu sendiri yang mempersulitnya, Nadine."
Nadine tak menjawab, ia belum siap memberitahu pada siapa pun alasan ia tak bisa menikah dan meneruskan hubungan dengan Shaka. Ia belum siap dunia tahu tentang apa yang pernah terjadi di masa lalunya.
Shaka yang tidak tega dengan kondisi Nadine tak memperpanjang kata-katanya. Ia tak ingin Nadine tertekan, stres, dan banyak pikiran. Jika Nadine tidak mau memberikan alasan yang jelas ia akan mencari tahunya sendiri. Shaka lalu membawa Nadine kedalam pelukkannya. Wanita itu tidak menolaknya, membuat Shaka masih memiliki harapan Nadine akan kembali padanya. Jika Nadine masih bisa merasa nyaman berada di sisinya, di pelukkannya, mengapa menolak untuk menikah dan hidup bersamanya?
Tak lama Shaka mendengar dengkur halus Nadine dalam pelukkannya. Nadine yang sampai tertidur di ranjangnya menandakan jika wanitanya itu lelah sekali.
Setelah ini, Shaka berniat membuatkan Nadine makanan yang kiranya bisa masuk ke perut dan tidak membuatnya mual.
Shaka baru saja menyelimuti Nadine saat ia mendengar denting suara ponselnya. Ternyata Melvin puteranya yang mengirim pesan. Meminta dirinya mengatur waktu untuk bertemu kembali. Melvin baru saja menyelesaikan pendidikannya di luar negeri dan kembali dua bulan yang lalu. Sebelum ini Shaka juga masih menyempatkan diri untuk rutin mengunjungi Melvin di luar negeri setahun tiga kali. Melvin tak pernah menuntut kehadirannya tapi ia tak lupa akan tanggung jawabnya sebagai seorang Ayah. Dan tumben sekali Melvin meminta bertemu dengannya lebih dulu.