Tidak bisa menghindar

1032 Words
Dukk! Dyra meringis ketika kepalanya terbentur dinding tembok koridor sekolah. Membuat Fania yang berjalan di sampingnya menatap aneh. "Lo lenapa dah, dari tadi jalan gak bener? Mata lo masih ok kan?" Dyra mengusap kepalanya dengan kedua bibirnya yang masih meringis, "Masihlah, kenapa emang?" "Jalan lo gak bener. Koridor tuh masih luas Dyraaa. Lo ngapain jalan nempel ke dinding kaya cicak gitu? Heran!" Dyra terkekeh, kalau dipikir-pikir ia benar-benar terlihat seperti maling. Ah, ini gara-gara kejadian kemarin ketika ia melihat Dewa memukuli seorang laki-laki di dalam bengkel itu. Dewa terlihat amat menakutkan, tapi Dyra berhasil kabur dari pegangan tangannya Dewa, kemarin. Namun bagaimana nasibnya hari ini? Apakah Dewa akan mencarinya? "Anjirr! Yang bener lo jalan!" Kali ini Dyra malah tidak sengaja menginjak kakinya fania. Masalahnya, kedua mata yang seharusnya Dyra gunakan untuk melihat jalan, malah ia gunakan untuk mengintip kelasnya Dewa dari jendela. Dyra nyerngir watados, "hehehe, sorry. Mata gue masih ngantuk kayanya." Dan Fania hanya bisa menggeleng pasrah saja. Berdebat dengan sahabatnya itu tidak akan menang. Dan lagi, ia pun terlalu malas untuk memperpanjang masalah spele itu. Mereka terus berjalan menuju kelasnya, dengan Dyra yang terus saja mencuri tatapan ke arah kelasnya Dewa, atau pun ke arah koridor. Sangat ber-harap kalau laki-laki itu tidak ada di sana. Sampai tiba di depan pintu, Dyra segera melesat dan berjingkrak girang. "Yeas! Gue selamat!" Melihat sikap absurd sahabatnya itu, Fania memilih menggeleng saja. Masuk ke bangkunya, dan meletakan tas di kolong meja. Dyra yang sudah merayakan kebebasannya segera ikut duduk dan meletakan kepalanya di atas meja, menatap Fania yang tengah sibuk dengan ponselnya. "Kenapa lo? Sikap lo aneh banget." Dyra menarik napas dalam, kedua matanya terpejam sejenak. "Gue mau nginep ya di rumah lo?" Fania menautkan kedua alisnya, "Kenapa?" Dyra tidak menjawab, gadis itu memilih mendesah lelah dan menyembunyikan wajahnya dibalik meja itu. Fania menatap sekilas sahabatnya, "Nyokap lo?" Dyra mengangguk, "Gue enggak tahan. Masa tiap kali gue pulang, dia bawa cowok yang beda lagi." lirih Dyra terdengar nelangsa. "... gue enggak mau jadi anak durhaka, dengan marah tidak karuan tiap kali ketemu Mamah." Fania amat mengerti dengan apa yang dialami Dyra. Tangannya ter-ulur dan mengusap pundak Dyra pelan. "Ya udah, nginep aja. Mamah gue pasti seneng ada lo ke rumah." Dyra tersenyum, ah mamahnya Fania memang sangat baik. Perempuan baik hati itu, selalu memasak enak kalau Dyra berada di sana. "Kalau papah lo gimana?" sebenarnya Fania tidak mau menyentuh privasi Dyra. Tapi rasa penasarannya selalu timbul setiap kali melihat wajah Dyra tampak murung setiap harinya. Dan seperti saat ini, Dyra hanya menggeleng lemah ketika Fania bertanya. Gadis itu tidak pernah menceritakan keadaan sang Papah seperti apa. Namun Fania amat yakin, kalau keadaannya tidak baik-baik saja. "Ah, udah lah Fan. Lo enggak usah bahas mereka. Mending Kakak lo kasih ke gue. Biar gue happy." Menaik turunkan sebelas alisnya, Dyra terlihat sumringah. Gadis itu memang sangat pintar menyembunyikan semua perasaannya, terutama ketika berada di sekolah saat ini. Fania tau, kalau saat ini Dyra sedang ber-sandirwara. Tapi ia pura-pura tidak tahu agar bisa menjaga perasaan sahabatnya itu. "Bukannya lo lagi naksir si Dewa?" Mendadak Dyra kembali menyembunyikan wajahnya. Ia berharap bisa lupa pada setiap apa yang ia lihat kemarin. "Hey! Gue tanya, lo mau deketin Kakak gue? Kalau mau, lo harus serius. Karena kalau cuma maen-maen, gue enggak akan ijinin! Lagian bukannya lo suka mahluk beku itu?" "Jangan bahas dia terus deh!" Dyra terlihat risih. Tentu saja Fania merasa sangat aneh, sikap sahabatnya itu mendadak berubah hanya dengan satu malam. Bukankah kemarin-kemarin, ia selalu antusias setiap kali mendengar nama laki-laki itu. Fania mendekat, dan menjentikan jarinya. "Lo beneran udah gak suka sama si Dewa? Ah, lo udah nyerah ya? Doi suka si Naya kan?" Dyra menggeleng, "Kagak tahu." jawabnya lemas. "Lah, terus kenapa?" "Enggak mau aja. Eh, gue boleh minta tolong gak?" "Apa?" "Tolong balikin jaketnya si Dewa dong," "Dih, ko gitu? Lo aja. Kan lo yang pinjem, kenapa mesti gue yang balikin?" "Gue lagi gak mood ketemu dia." Fania berdecak, "Yaudah deh, " meski enggan, Fania mengambil jaket yang Dyra berikan. *** Sekarang, Dyra dan Fania sedang dikoridor. Mereka akan pulang ke rumahnya Fania, tapi sekali lagi sikap Dyra terlihat aneh. Gadis itu berjalan sembunyi-sembunyi seperti maling. Tentu saja Fania risih dibuatnya. "Lo mulai deh, aneh lagi!" fania berdecak kesal, karena Dyra sekali lagi menginjak kakinya. "Duh, maaf banget." Dan Fania malas untuk menanggapinya. Gadis itu memilih melanjutkan langkahnya, ketika melihat Dewa dan Alysa sedang mengobrol di parkiran. "Eh, tuh si Dewa kan?" Mendadak Dyra mencengkram lengannya kuat. Membuat Fania meringis. "Anjiir! Lo ngapain? Sakit gila!" Dyra yang merasa kalau suara sahabatnya itu terlalu kuat ia segera memukulnya. "Diem, bodoh!" "Lo kenapa sih? Katanya mau balikin jaket. Lo balikin sana, mumpung ada orangnya." Bukannya menjawab, Dyra malah berbalik arah kembali ke kelas. Berhasil membuat Fania ikut berbalik dan mengikuti. "Dyra! Lo itu kesurupan atau gimana sie?" Memilih tidak menggubris kalimat yang diutarakan Fania. Dyra berjalan cepat menuju kelasnya, ketika seseorang malah berdiri di depannya dan menjadi penghalang. Dyra mundur, dan mengangkat kepalanya. "Gue mau minta maaf!" Ah, kenapa harus bertemu dengan mahluk itu disaat kondisi seperti ini. Dyra kini membeku, bukan karena orang di depannya. Tapi karena orang yang saat ini sedang berada di parkiran sana. Dan ia yakin, saat ini laki-laki itu sudah mengetahui keberadaannya. Dyra tidak akan lupa, bagaimana ia menggigit tangannya Dewa kemarin demi agar ia bisa kabur darinya. Sialan Edgar! Karena tidak lagi bisa menghindar. Dyra mengangguk saja, "Ok," memilih sedikit berbelok, Dyra hendak melanjutkan langkahnya. Tapi Edgar kembali berhasil meraih tangannya. "Please pulang sama gue, gue pengin banget makan lagi bareng lo!" Mengusap keningnya kasar dan frustrasi, Dyra menepiskan tangan itu, "Sejak saat itu kita udah gak ada hubungan apa-apa lagi! Dan lo, boleh aja gue maafin. Tapi enggak dengan nemanin lo makan. Maaf, gue gak bisa." Edgar terdengar bernapas lemas. "Berarti lo belum maafin gue?" Memejamkan kedua matanya sejenak. Dyra mulai kehilangan kesabaran, ia sepertinya akan memilih pergi saja dari pada berdebat tidak karuan dan malah bisa menimbulkan pertengkaran lagi. Dyra hampir saja melangkah, ketika... "Dewa! Ini jaket lo!" Gila! Dyra menegang, terdengar langkah yang semakin mendekat. Gadis itu meringis pelan membuat Edgar menatapnya dengan kedua alis bertaut. "Kalau lo maafin gue, lo enggak akan hindarin gue. Iyakan?" "Nanti kita bahas! Maaf gue harus pergi!" Dyra segera melangkah cepat, ketika sebuah suara tegas menghentikannya. "Dyra!" Tidak ada pilihan lagi, tidak mungkin jika ia harus berlari. Akhirnya dengan pasrah gadis itu memutar diri, dan mendapati tatapan tajam Dewa yang pada saat itu juga membuatnya lemas seolah tak bernadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD