8. Ancaman

1150 Words
Siang ini, setelah Mas Reno pamit berangkat kerja. Seperti biasa aku sedang asyik memasak makan siang untukku sendiri. Masa bodoh dengan Siska yang terang-terangan mengajak ibu makan siang di luar, meninggalkanku sendiri tanpa basa-basi. Sekembalinya mereka, aku melihat ibu menggendong Karin sambil membawa balon di tangan satunya. Siska datang menghampiriku yang sedang mencuci piring bekas makanku. Ia melirik sinis ke arahku, “cuma makan telur?” Tanyanya dengan nada meremehkan. “Iya, ada masalah?” Aku balas bertanya. Ia mencebik, “dasar miskin!” Cacinya dengan suara yang cukup nyaring terdengar. “Aku memang miskin, tapi aku tidak menumpang hidup, apalagi mengemis pada laki-laki yang sudah bukan muhrimnya.” Balasku tak kalah sengit. Wajah Siska tampak memerah, ucapanku membuatnya tersinggung. “Aku hanya menemani putriku yang sakit karena seseorang yang hendak meracuninya. Ya Tuhan, aku tidak menyangka jika anakmu lahir nanti, apakah dia akan malu memiliki ibu yang jahat sepertimu.” “Oh, ya...? Apakah ada bukti aku yang meracuni Karin? Atau itu semua cuma akal bulusmu?” Aku memandangnya, penuh rasa curiga. Siska terdiam sesaat, sebelum akhirnya dia membalas, “aku tidak mungkin melakukan tindakan kotor seperti yang kau pikirkan. Karena aku yakin Mas Reno masih mencintaiku. Aku pastikan akan merebutnya dari tanganmu!” Aku tertawa kecut, “silakan kau ambil dia! Karena kurasa Mas Reno bukan pria bodoh yang akan menerima kembali mantan istri yang pernah mengkhianatinya.” Kali ini Siska terdiam. Ia tak mampu membalas perkataanku. Sedetik kemudian ia tersenyum lebar ke arahku, “kita lihat saja nanti, siapa yang Mas Reno pilih pada akhirnya. Aku atau dirimu, karena kurasa dalam segala hal aku melebihi dirimu. Lagipula aku sudah mengenal karakter Reno lebih baik darimu!” Ujarnya penuh percaya diri. Kemudian ia berbisik ke arahku, “sepertinya kau harus persiapkan dirimu untuk menjadi janda jika tidak mau dimadu. Karena tentu saja aku tidak keberatan menjadi yang kedua, karena aku pasti tetap menjadi nomor satu di hatinya.” Setelah mengatakan itu, Siska berlalu pergi sambil bersenandung riang. Ia berjalan menuju kamar, tempat dimana Karin dan ibu berada. Aku menatap pintu kamar yang tertutup kencang karena Siska memang sengaja menutupnya keras-keras untuk menguji kesabaranku. Ia memang berniat memancing emosiku. Tapi, aku bukan wanita yang ia pikirkan. Kita lihat saja nanti, siapa yang menang pada akhirnya. *** Tok... tok... tok... suara ketukan pintu terdengar hingga ke kamar. Beberapa kali suara ketukan itu terdengar, tapi sepertinya baik ibu maupun Siska tak berniat membukanya. Ia pun beranjak dari kamar sambil bergegas mengenakan kerudungku. Benakku berpikir, kira-kira siapa tamu yang datang berkunjung sore hari ini. “Ya, sebentar.” Aku berteriak sambil setengah berlari menuju pintu. Tak dapat kupungkiri, aku tampak sedikit terkejut melihat tamu yang datang. “Eh, pak RT. Tumben sore-sore datang berkunjung.” Kataku basa-basi. Sudah delapan bulan pernikahan kami, baru kali ini pak RT datang berkunjung ke rumah kami. Aku memang baru mengenalnya sekali, ketika pertama kali kami pindah ke perumahan yang kental dengan nuansa islami. Karena itu aku memilih tinggal di perumahan ini. Saat itu, aku dan Mas Reno bertamu ke rumahnya dan memperkenalkan diri kami sebagai pendatang baru, sekalian melapor diri bahwa kami akan menjadi penghuni baru rumah kontrakan ini. “Assalamualaikum, bu Arum. Apa kabar...?” Ujar Pak RT berbasa-basi. “Alhamdulillah baik pak. Pak RT sendiri, bagaimana kabarnya?” Aku pun menjawab sekaligus bertanya mengenai keadaannya. “Alhamdulillah baik juga bu Arum. Oh iya, boleh saya bicara sebentar dengan Pak Reno...?” “Oh, maaf pak. Pak Reno belum pulang kerja. Memangnya ada apa ya pak?” Pak RT tersenyum canggung, “boleh saja duduk. Ada hal yang ingin saya sampaikan pada bapak juga ibu.” “Oh, iya pak. Silakan masuk! Bapak mau minum apa?” “Hehehe, tidak usah bu, saya tidak akan lama kok!” “Baiklah pak kalau begitu. Kira-kira apa yang mau disampaikan ya pak?” Tanyaku penasaran. “Begini bu, sudah seminggu ini saya melihat ada dua wanita datang bertamu ke rumah ini. Satu sudah paruh baya, satu sepertinya masih muda—usia sekitar awal tiga puluh tahunan.” “Oh, iya. Benar pak! Saya memang menerima tamu. Yang satu itu adalah ibu mertua saya pak, alias Ibu kandung suami saya. Tapi yang satu lagi...” aku terhenti sejenak, merasa ragu untuk menceritakan tentang siapa sebenarnya wanita yang pak RT maksud. “Dia mantan istri suami saya, pak.” Akhirnya aku mengungkapkannya juga. Aku memilih untuk berkata jujur, apa adanya. Karena aku tidak berniat menutup-nutupi kehadiran Siska di rumah ini. “Duh, benar dugaan kami!” Pak RT terlihat tidak terkejut. Selama ini kami para warga selalu memperhatikan aktivitas setiap rumah di kampung kami, bu. Makanya kami curiga kenapa ada dua wanita di rumah ini. Sedangkan kami hanya mengenal ibu Arum sebagai pasangan resmi Pak Reno.” “Iya, pak. Saya juga bingung bagaimana menjelaskannya pada bapak. Tapi saya juga berusaha agar tidak menimbulkan keributan di antara para warga atas kehadiran mantan istri dari suami saya.” “Begini bu Arum. Saya mengerti masalah yang ibu alami. Tapi, kami para warga tidak setuju dengan kehadirannya karena bisa menimbulkan keresahan dan fitnah karena statusnya yang bukan muhrim. Mohon maaf sekali, saya harus berkata seperti ini sebagai ketua RT. Tapi saya hanya menyampaikan amanat warga atas keresahan mereka.” Aku tersenyum maklum, “saya sangat mengerti sekali pak. Kalau begitu saya akan sampaikan pesan bapak kepada suami saya nanti, jika beliau sudah pulang bekerja.” “Baik kalau begitu saya mohon izin pamit ya bu. Maaf kalau kedatangan saya menganggu waktu istirahat ibu.” Gumam Pak RT sambil mengangkat tangannya di d**a, memberi salam dengan sopan. Aku pun mengangkat tanganku, membalas salamnya. “Terimakasih banyak atas kedatangannya, pak.” Malamnya, setelah mas Reno selesai membersihkan diri, aku pun memutuskan untuk menyampaikan pesan dari pak RT. “Pak RT sudah memberi kita peringatan mas. Beliau tidak ingin kehadiran Siska di rumah ini karena bisa menimbulkan fitnah.” “Begitukah?” “Iya, mas. Tadi sore pak RT datang dan mengatakannya padaku.” Bukannya percaya, Mas Reno justru menyipitkan mata ke arahku, ia mencurigaiku. “Jadi mas tidak percaya padaku?” “Sebelum aku ke kamar, ibu sudah katakan padaku kalau kau pergi mengadu ke pak RT karena kau tidak suka kehadiran Siska di rumah ini untuk menemani Karin. Jadi, kau mengarang cerita akan para warga mengusir Siska dari kampung ini.” “Astagfirullah, fitnah apalagi ini?” Aku ternganga, tak mempercayainya. “Jadi, mas tidak mempercayai ucapanku?” Tanyaku frustrasi. “Bukan begitu, dek. Setelah apa yang kau lakukan pada Karin, Mas masih tidak mempercayainya. Kok kamu tega melakukan itu? Mas juga tidak pernah membayangkan kau bisa meracuninya.” “Jadi, mas masih percaya kalau aku yang meracuni Karin? Mas juga tidak percaya pada perkataanku tentang amanat pak RT...?” Aku memberondongnya dengan pertanyaan. Mas Reno membisu seribu bahasa, tak menjawab. Aku menghela napas panjang, “jadi mau Mas apa, sekarang?” “Mas akan menikahi Siska...!” “Apa....?” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD