Fitnah

1254 Words
Kali ini fitnah apalagi yang akan mereka lontarkan padaku. Setelah peristiwa itu, Siska bersikeras untuk tetap tinggal di rumah ini dengan alasan ia tak mungkin mengabaikan Karin yang membutuhkan pengasuhannya. “Mas, kumohon biarkan aku tinggal disini. Karin membutuhkanku, Mas. Dia nggak mungkin bersedia mengurus dan merawat Karin. Aku juga nggak setuju kalau Arum yang merawat Karin setelah perbuatan yang dilakukannya pada Karin. Mas tahu ‘kan? kalau kita nggak segera membawa Karin, nyawa Karin bisa terancam. Aku nggak mau hal itu terjadi lagi pada anak kita, Mas...” ujar Siska sambil terisak-isak. “Iya, Reno. Lagipula apa salahnya sih, kalau Siska tinggal sementara waktu di sini sampai Karin membaik.” Ujar ibu menambahkan. Mas Reno tampak bergulat dalam batinnya. Aku hanya menatapnya, tapi entah kenapa dia enggan melihatku. Apa Mas Reno benar-benar percaya kalau aku yang melakukannya? aku tidak mungkin meracuni Karin. Demi Allah, aku sama sekali tidak pernah berpikiran akan hal itu. “Baiklah, kau bisa tetap tinggal di sini sampai Karin membaik. Setelah itu aku akan mengantarkanmu pulang.” Mas Reno tetap bersikeras akan keputusannya. Siska tampak pasrah menerima keputusan itu. Tapi aku tahu ia pasti menyusun strategi agar Mas Reno tetap mengizinkannya tinggal. Entah kenapa rencana busuknya terbaca jelas olehku. Hanya saja mereka tidak tahu siapa aku? wanita hamil yang mereka anggap musuh?. “Mas apa mas yakin dengan keputusan mas?” “Diam Arum! aku tidak mau mendengar ocehanmu. Setelah apa yang kau lakukan pada Karin, seharusnya kau minta maaf padanya dan Siska. Jika terjadi apa-apa pada mereka, kau harus bertanggung jawab. Kau mengerti itu?” Mas Reno membentakku dengan nada keras. Sesuatu yang belum pernah kulihat dari diri mas Reno sebelumnya. Selama 8 bulan pernikahan kami, Mas Reno tipe suami yang lembut. Dia selalu bersikap santun, tapi kali ini aku seperti melihat sisi lain dari dirinya. Ia terlihat marah, seperti angkara murka. “Jadi mas tidak mempercayaiku?” aku balas bertanya dengan suara yang tidak kalah tinggi. Ibu dan Siska tampak terkejut mendengar suaraku yang lantang. Mereka tidak menyangka pertengkaran pertama kami terjadi di depan mereka. Tak hanya mereka, Mas Reno juga terkejut melihatku membalas kata-katanya dengan sengit. “Jaga nada bicaramu kepada suamimu, Arum!” bentak Mas Reno semakin keras. Aku balas menantangnya, “Mas juga jaga nada bicara Mas! aku ini istri Mas, tapi kenapa Mas malah tidak mempercayaiku, hah?” kataku penuh emosi. Aku bahkan mengabaikan denyut di dalam perutku yang mungkin terasa seperti kontraksi. “Bagaimana aku bisa mempercayaimu Arum ketika kau sendiri yang mengiyakan tuduhan mereka!” “Maksud mas?” “Kau mengiyakan memberi makanan pada Karin. Terus Mas harus berpikir apa?” “Ya Allah, ya Tuhan. Aku memang memberikan Karin makan karena dia lapar. Dia bilang ibunya lupa memberinya makan sejak pagi. Terus aku harus diam saja?” Mas Reno menarik napas panjang, “berarti memang ada kemungkinan kau meracuni Karin, ‘kan?” “Astagfirullah, kok pikiran Mas jadi seburuk itu padaku, hah? buat apa aku meracuni Karin, Mas? apa untungnya buatku?” “Karena kau tidak suka dengan aku, ‘kan? jadi kau mau membalas dendam padaku lewat Karin!” kali ini Siska yang menjawab pertanyaan yang kulontarkan untuk suamiku. “Jangan ikut campur urusan kami!” kataku memberi peringatan. “Bagaimana aku tidak ikut campur jika itu ada hubungannya dengan putriku?” Siska menjawab dengan lugas. “Pokoknya aku akan tetap tinggal bersama putriku sampai kapan pun. Titik!” Siska membalikkan badan, meninggalkan kami yang tengah berdebat dengan sengit karena dia. “Dia akan tetap tinggal!” putus Mas Reno sambil menunjuk ke arah wanita itu. Aku membuang muka dan berlalu pergi sebelum ketegaranku hancur dan aku mulai menangis. *** Karin dirawat selama tiga hari ini rumah sakit. Selama itu pula, Siska, ibu dan Mas Reno secara bergantian datang untuk menemaninya di rumah sakit. Sedangkan aku? aku hanya sendiri di rumah, menghabiskan sebagian waktuku dengan menonton tivi, berkebun, atau memasak. Ketiganya melihatku seperti orang asing yang tinggal satu atap bersama mereka. Bahkan kami tak saling bertegur sapa. Baik kepada ibu mertuaku yang lebih dulu mengacuhkanku, atau kepada Siska yang jelas-jelas menabuh genderang perang di rumahku. Mas Reno juga sudah beberapa hari ini mengacuhkan keberadaanku. Ia bahkan tidur memunggungiku, tampak jelas ia tak sudi melihat raut mukaku. Sepulangnya dari rumah sakit, semua orang menyambut kedatangan Karin dengan penuh sukacita. Mas Reno menghujaninya dengan banyak hadiah, Siska bahkan mendekor kamar yang ia tempati dengan hiasan unicorn kesukaan Karin. Ibu susah payah berbelanja ke pasar untuk membeli banyak sekali cemilan agar Karin tidak kelaparan di rumah. Aku hanya melihat kedatangan mereka dari balik pintu kamar. Percuma juga aku keluar untuk menyambut Karin, karena pada akhirnya mereka tetap akan mengacuhkanku dan menganggap aku tidak pernah ada. Yah, begitulah nasibku. Seorang istri yang hanya dianggap sebagai istri bayangan, yang kehadirannya bahkan tidak pernah dianggap. Esok paginya, kulihat ibu dan Siska sibuk membuat sarapan di dapur. Kebetulan saat itu aku sedang lapar, karena semalam aku lupa makan malam dan meminum vitaminku. Aku pun memutuskan keluar dan bergabung dengan mereka. Aku berharap suasana canggung ini akan mencair dengan keberadaanku. “Siska, kita buat roti cuma empat saja ‘kan, ya?” Kata ibu pada Siska yang sedang menggoreng telur di atas wajan untuk sarapan pagi mereka. “Iya bu. Memang cuma ada empat kok.” Sahut Siska sambil menabur garam di atas telur yang dimasaknya. Aku hanya tersenyum miring mendengar mereka. Tanpa basa-basi, aku menyeduh s**u hangat khusus ibu hamil. Ketika makanan mereka selesai dimasak, Mas Reno mendorong piringnya ke arahku. Aku terpaku menatap roti sandwich buatan Siska itu. Bentuknya sama sekali tidak menarik selera makanku. Aku tersenyum malas ke arah Mas Reno, “nggak usah, Mas. Buat kamu saja, aku sudah kenyang.” Kataku sambil berusaha memamerkan senyum, walau dengan paksaan. Siska tampak kesal ketika melihat Mas Reno memberikan sarapannya padaku. Itu tandanya Mas Reno masih peduli padaku. Ia bahkan rela memberikan makanan buatan Siska untukku. Walau sejujurnya aku juga tidak sudi makan masakan buatan Siska. “Bunda, kok tumben bayu keyiatan.” (Bunda, kok tumben baru kelihatan) Karin berkomentar. Aku tersenyum mendengar pertanyaannya, “maaf ya? bunda baru kelihatan. Soalnya Bunda terus berdoa sama Allah agar Karin sembuh dan bisa ceria lagi, terus bisa main deh sama bidadari.” “Bidadayi?” “Iya bidadari. Itu lho malaikat yang baik hati. Karena Bunda tahu, Karin anak baik. Pasti ditemeni sama malaikat. Iya ‘kan?” Karin mengangguk antusias. “Oh, iya. Bunda boleh tanya sesuatu nggak?” “Apa bunda?” “Waktu itu Karin sakit ya?” “Ho oh,” Karin mengangguk. “Kayin atit bunda, di cini, di peyut.” (Karin sakit bunda, di sini, di perut) Karin menunjuk ke arah perutnya. Aku memasang wajah iba, “ya ampun sakit ya? Kenapa kok bisa sakit?” aku pura-pura bertanya. “Iya, kayin atit peyut kayena kayin lapel. Teyus, Bunda kan macak tuh buat kayin. Jadi peyut Kayin endak atit agi.” (Iya, Karin sakit perut karena Karin lapar. Terus, Bunda kan masak tuh buat Karin. Jadi perut Karin enggak sakit lagi.) “Tapi, kok Karin harus dirawat di rumah sakit sama dokter. Memang Karin makan apa?” “Sebeyum bobo, Kayin minum cucu, bun. Tapi cucunya acem....” sebelum Karin menyelesaikan ucapannya, Siska membungkam mulutnya terlebih dahulu. “Sudah Karin, jangan banyak ngobrol. Cepat habiskan sarapanmu!” ujar Siska, mencegah Karin berbicara jujur. Karin mematuhi perintah Siska. Ia pun tak melanjutkan lagi cerita yang membuatku penasaran. Minuman s**u apa yang diminum Karin malam itu? aku melirik curiga ke arah Siska yang tampak rikuh ketika aku terus menatapnya tajam. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD