Keputusan

1592 Words
Keesokan malamnya, sepulang Mas Reno pulang dari bekerja. Aku melihat Siska, ibu mertuaku dan Karin sedang asyik menonton sinetron di ruang tengah. Mereka bahkan duduk dengan santai seolah-olah mereka sedang berada di rumah mereka sendiri bukan menumpang di rumah orang lain. Aku sih tidak mempermasalahkan ibu mertuaku dan Karin. Tapi kehadiran Siska-lah yang menjadi prahara bagi keluargaku. Dia bukanlah siapa-siapa di rumah ini. Tapi gaya dan kelakuannya, seakan-akan dialah sang pemilik rumah. Sedangkan aku seperti orang yang menumpang tinggal di rumah ini. Aku melihat mereka dari balik pintu. Mas Reno menghampiriku, “ayo keluar, Dek. Ada yang ingin aku bicarakan sama kamu dan mereka.” Mas Reno berjalan keluar dari kamar. Aku pun mengikutinya dari belakang. “Karin, ayo waktunya tidur.” Mas Reno menggendong Karin ke kamarnya, Siska tanpa ragu mengikuti Reno ke kamar dengan wajah sumringah. Ibu mertuaku hanya tersenyum lebar melihat kelakuan Siska, tapi mencebikkan muka ketika pandangannya tertuju ke arahku. Aku duduk di sofa menunggu Mas Reno keluar bersama Siska beberapa puluh menit kemudian. Sekuat tenaga aku berjuang menahan pikiran buruk yang bersemayam dalam benakku. Semoga Siska tidak berhasil menggoda Mas Reno. Aku sangat berharap Mas Reno akan tetap setia padaku, karena aku sangat yakin dan percaya padanya. Mas Reno duduk di sofa tepat di seberangku, Siska pun ikut duduk di sisi kirinya, menaruh tangannya di atas pangkuan Mas Reno. Mataku mendelik melihat kelakuan wanita itu. Tapi aku mengabaikannya ketika Mas Reno mulai berbicara. “Ibu, Siska dan Arum. Ada yang ingin aku sampaikan kepada kalian.” “Apa itu?” sahut ibu mertuaku. “Mulai hari ini Karin akan tinggal di sini bersamaku dan Arum.” Kulihat mata Siska berbinar terang. Ia tersenyum lebar tak dapat menyembunyikan kebahagiaannya. “Untuk Ibu, kalau Ibu mau tinggal bersama kami ya... silakan. Tapi nanti bagaimana dengan Bapak? Sudah tiga hari Ibu tidak bertemu dengannya Bapak juga sudah menelepon katanya kapan pulang?” Ibu mertua merengut, “Ibu kesel sama bapakmy Ren, soalnya setiap hari bapak kerjanya main burung terus. Nggak pagi, nggak siang, burung terus yang dikelonin Bapak.” “Tapi Bapak ‘kan suami Ibu, jadi Ibu harus pulang kalau begitu!” putus Reno tanpa dibantah sedikit pun. “Dan untuk kamu Siska, besok pagi aku akan mengantarmu pulang!” “Apa?!” Siska terkejut mendengarnya. “Tapi Mas, bagaimana dengan Karin? Dia nggak mungkin dipisahkan dariku ‘kan?” “Karin akan tinggal disini bersamaku dan Arum, tapi kalau kau ingin bertemu dengannya silakan datang. Rumah ini terbuka untukmu bertemu dengan Karin!” “Nggak bisa begitu mas. Nanti Karin akan mencariku! Dia pasti akan sedih kalau aku nggak ada.” Siska mulai panik ketika Mas Reno sudah memutuskan kepergiannya. “Tenang saja, kau tidak perlu khawatir. Arum dan aku akan menjaga Karin. Lagipula aku yakin Arum akan bisa mengurus Karin, itung-itung dia belajar jadi ibu untuk anak kami nanti. Ya ‘kan, dek?” Mas Reno menoleh ke arahku yang langsung aku balas dengan anggukan kepala. “Nggak bisa! aku nggak rela putriku diasuh oleh ibu tiri seperti dia.” Siska menolak keputusan tersebut. “Reno, Ibu juga nggak setuju sama pendapat kamu itu. Siska itu ibu kandung Karin. Kau nggak mungkin memisahkannya dengan ibu kandungnya sendiri ‘kan? Masa kau setega itu Reno!” Ibu angkat bicara. Kedua wanita itu bekerja sama untuk menghakimi Mas Reno agar mengubah keputusan yang menurutku sudah sangat adil dan bijaksana. Siska tidak sepatutnya tinggal di rumah ini bersama kami. “Pokoknya Reno nggak mau banyak bicara. Siska besok harus pulang ke rumahnya. Kalau dia keberatan dengan Karin bersamaku, dia boleh membawa Karin juga.” Nada suara Mas Reno yang lantang membuat kedua wanita itu terdiam. Siska mulai menangis terisak-isak. Tangisan yang menurutku hanya akting belaka. Ibu pun menghampirinya dan berusaha menenangkan tangisnya. “Mas tega! aku nggak nyangka mas setega itu pada Karin karena memisahkanku dengan putriku sendiri.” Ujar Siska masih terus menangis. “Reno! Ibu juga nggak nyangka, putra yang ibu didik dengan baik bisa berbuat kejam pada anak kandungnya sendiri.” Kata ibu menambahkan. Kedua wanita itu terus mencaci dan menyudutkan Mas Reno. Aku hanya bisa menonton mereka layaknya sinetron azab, karena banyak sekali kudengar umpatan, cacian dan sumpah serapah yang mereka lontarkan pada Mas Reno. Kudengar helaan napas panjang Mas Reno mendapati perlakuan dari kedua wanita tersebut. Tak berselang lama, Mas Reno pun beranjak dari sofa. “Mau kemana kau Reno? Pembicaraan belum selesai!” Tukas Ibu menghentikan langkah Mas Reno. Mas Reno berputar, “apa lagi yang mau kita bicarakan, bu?” Ujar Reno berusaha menahan kesabarannya. “Siska akan tetap tinggal disini kan bersama Karin?” “Tidak! Besok pagi, aku akan mengantarnya pulang!” “Reno...!!!!!!” Teriak ibu memanggil putranya dengan suara memekakkan telinga, tapi Mas Reno tak menggubrisnya. Ia terus berjalan menuju kamar dan menutup pintunya. Kulihat ibu berusaha menenangkan tangisan Siska yang semakin menjadi-jadi. Aku pun memutuskan pergi meninggalkan mereka, sebelum aku memuntahkan isi perutku karena muak melihat kelakuan mereka. Setibanya di kamar, kulihat Mas Reno sedang duduk termenung di atas ranjang. Sesekali terdengar ia menghela napasnya. Aku tersenyum kecil melihat sosok Mas Reno yang tampak gagah serta berwibawa sebagai seorang suami. Ia lebih memilihku dibanding mantan istrinya. Aku sangat puas dengan keputusan Mas Reno yang menurutku sangat adil. Karin memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan Mas Reno, karena dia adalah putri kandungnya. Jadi jika aku mencintai Mas Reno, aku juga harus mencintai Karin seperti anakku sendiri. “Mas capek? Mau aku pijit?” Aku menawarkan diri untuk membantunya menghilangkan kesahnya. Dia tersenyum lembut padaku, senyum yang mampu melumerkan keresahanku beberapa hari ini. “Boleh, dek. Kalau adek nggak keberatan.” Tentu saja aku tidak keberatan. Aku pasti akan melakukan apapun untuk membuat Mas Reni bahagia dengan pernikahan kami ini. Apalagi buah hati kami akan hadir diantara kami berdua. Menambah kebahagiaanku dan Mas Reno. *** Tok... tok... tok Aku dibangunkan oleh ketukan pintu di kamar dan suara ibu yang nyaring memanggil kami. “Reno... Rum... bangun...!” Aku membangunkan Mas Reno yang tertidur pulas pukul tiga dini hari. “Mas bangun, mas!” “Apa sih, dek? Belum waktunya adzan subuh kan?” Ujar Mas Reno sambil menggeliat. “Ibu mas, coba lihat ibu di luar!” “Kenapa ibu?” “Aku nggak tahu mas? Dia mengetuk pintu kamar dan memanggil kita.” Benar saja, ketuka pintu terdengar makin keras dan tidak sabaran. “Renoooo.... Ren...!” Mas Reno beringsut turun dari kasur. “Ada apa bu?” Tanyanya ketika ia membuka pintu kamar dan melihat ibunya berwajah panik. “Karin, Ren...!” “Kenapa dengan Karin, bu?” “Karin demam tinggi. Dia bahkan meracau dan sepertinya nggak sadarkan diri, Ren.” “Ya Allah.” Mas Reno bergegas ke kamar tamu dan melihat putrinya meracau dengan subuh tubuh yang hampir mencapai 40’ celcius. “Aku kita bawa ke rumah sakit.” Reno dengan sigap membopong Karin dan membawanya ke mobil. Siska, aku dan Ibu mengikutinya dari belakang. Untungnya rumah kami berada tidak jauh dari rumah sakit. Sehingga Karin bisa langsung ditangani di IGD Rumah Sakit. Beberapa saat kemudian dokter yang memeriksa Karin segera keluar dari ruang IGD. Kami segera menghampirinya dengan cemas. “Bagaimana kondisi anak saya, dok?” “Putri bapak baik-baik saja. Kondisinya sudah mulai stabil. Dia hanya keracunan makanan. Tapi untung saja bapak segera membawanya, kalau tidak mungkin dia akan kritis.” “Syukurlah kalau begitu.” “Kira-kira kenapa putri saya bisa keracunan makanan, ya pak?” Tanya Siska pada sang dokter. “Mungkin dia makan makanan yang basi, atau ada makanan yang membuat dia alergi sehingga memicu reaksi keracunan seperti ini.” “Terimakasih atas penjelasannya, dok.” Kata Siska sambil tersenyum yang langsung dibalas oleh senyum ramah sang dokter. Siska langsung menatap tajam ke arahku, “apa yang kau berikan pada putriku, hah?” Dia menuduhku. “Apa maksud kamu?” “Tadi sore, aku melihatmu memasak sesuatu dan memberikannya pada Karin. Apa yang kau berikan padanya? Kau diam-diam yang meracuninya kan? Biar dia sakit?” “Astagfirullah, mbak. Aku nggak mungkin melakukan itu!” Sekuat tenaga aku menyangkal tuduhannya. “Iya, itu benar Ren. Tadi ibu lihat Arum memberikan makanan untuk Karin.” Kata ibu menambahkan. “Aku memang memberi Karin makan sore karena dia lapar. Tapi aku nggak mungkin memberinya racun.” Kataku membela diri. “Benar kan Mas? Dia memang memberi Karin racun.” Siska semakin mengada-ada. “Ya ampun, Arum. Ibu nggak nyangka kamu setega itu pada anak tirimu.” Ibu semakin memanas-manasi. Aku menatap ke arah Mas Reno yang dari sorot matanya kulihat ia meragu... “mas, kumohon percaya padaku. Aku tidak mungkin melakukan itu,” Mas Reno membisu. “Aku tidak akan mengampunimu jika terjadi sesuatu pada Karin.” Ujar Siska dengan tatapan penuh benci. “Ibu juga malu punya menantu sejahat kamu, Rum!” Ujar ibu dengan ketus. Keduanya berjalan pergi menjauh dari kami. Mas Reno membeku di sebelahku, “mas...” aku memanggilnya putus asa. Berharap ia akan memberiku pembelaan dan menyangkal semua tuduhan ini. “Mas,” panggilku lagi. Aku memohon kali ini, semoga ia mempercayaiku dibanding kedua wanita itu. “Ibu nggak akan mungkin berbohong, Rum.” “Maksud mas?” “Apa benar kau meracuni Karin?” Bagai disambar petir, aku merasa tubuhku seketika kaku. Bahkan suamiku sendiri lebih mempercayai mantan istrinya dan ibunya sendiri dibanding aku istri sah-nya. Aku hanya mendesah. Kata-kata seolah tak lagi berguna kulontarkan saat ini. Ketika peristiwa ini berbalik menyerangku. “Karin sudah siuman, mas.” Siska melongok dari dalam ruang rawat. Mas Reno berlari masuk ke dalamnya. Sedang aku tergugu disini tanpa kata. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD