Sang Putri Kecil

1037 Words
Aku berjalan mondar-mandir dengan perasaan gelisah di dalam kamar. Berulang kali aku mencoba menelepon Mas Reno, tapi panggilanku selalu dialihkan. Beragam pikiran buruk merasuki otakku. Aku takut hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Karena sejak siang hingga malam, Mas Reno tak kunjung kembali. Kulihat ibu menonton tayangan sinetron dengan santai. Ia bahkan tak tampak khawatir, berbeda denganku yang terlihat cemas menunggu kedatangan suamiku yang belum juga kembali. “Kau ini katanya kehamilanmu lemah, tapi dari tadi ibu lihat kau terus mondar-mandir kayak setrikaan.” Komentar ibu seperti biasa, ketus. “Kok Mas Reno belum pulang juga ya bu? Padahal sudah jam delapan malam.” Aku tak bisa menyembunyikan kecemasan dari nada suaraku. “Halah, baru juga setengah hari belum seharian suamimu pergi. Palingan pesawatnya delay, kau kan tahu pesawat kalau delay bisa berjam-jam.” Tukas Ibu, tak mau ambil pusing. “Tapi tumben Mas Reno nggak angkat teleponku, bu. Biasanya mas Reno selalu ngomong kalau ada apa-apa dengannya.” “Bentar lagi juga pulang kok! kamu ini cerewet banget sih jadi istri. Jangan kaget kalo nanti Reno cari istri lain, lah istrinya aja nyebelin kayak kamu!” seperti biasa Ibu senang sekali membuat perasaanku terluka dengan kata-katanya yang tajam. Sayangnya aku lebih memilih untuk mengabaikan ucapan ibu dan fokus pada gawai di tanganku. Benar saja, beberapa menit kemudian aku mendengar suara deru mesin mobil Mas Reno memasuki pelataran parkir. Aku bergegas menuju pekarangan rumah. Ibu pun mengikutiku di belakang. Aku terkejut ketika melihat Mas Reno menggendong gadis kecil di pelukannya. Gadis bermata besar dengan rambut ikal tersenyum lebar ke arah kami. Ya Allah, gadis itu amat menggemaskan. Aku membayangkan Mas Reno akan menggendong anak kami seperti itu nanti, terlihat gagah dan mempesona. Belum apa-apa aku sudah membayangkannya. “Arum, kau belum tidur?” tanya Mas Reno dengan senyum lebar di wajahnya. “Aku dari tadi nunggu mas pulang, takut ada apa-apa dengan Mas. Karena ‘kan tadi Mas bilang pesawatnya landing jam sebelas pagi, tapi sampai malam mas belum juga pulang. Aku sabgat khawatir.” “Ayyo, tante. Tadi ayin main duyu cama ayah.” (Halo, tante. Tadi Karin main dulu sama ayah). Suara lucu nan menggemaskan itu yang lebih dulu berbicara mewakili Mas Reno. “Jangan panggil tante, tapi panggil Bunda.” Mas Reno memperkenalkanku sebagai bunda. Aku tersipu malu dibuatnya. Padahal aku belum jadi bunda, tapi seorang gadis kecil lucu memanggilku bunda. “Eh, iya deh. Bunda...” aku tersenyum lebar melihat kelucuannya. Apalagi cara bicaranya yang masih cadel untuk anak seusia tiga tahun seperti dirinya. Siska tampak tidak suka mendengar Karin memanggilku Bunda. Ia juga berusaha menjauhkan Karin dariku dengan sengaja. Wanita itu mengambil Karin dari gendongan Mas Reno. Tapi sayangnya, Mas Reno mencegah Siska mengambil Karin. Ia tak berhasil menjauhkan Karin dariku dan Mas Reno. Wajahnya terlihat kesal tatkala pandangannya bersirobok denganku. Aku hanya membuang pandanganku darinya dan berfokus pada gadis menggemaskan yang ada dalam pelukan Mas Reno saat ini. “Ayah, ayin apek nih. Ayin pegel, tuyunin ayin dong!” (Ayah, Karin capek nih. Karin pegel. Turunin Karin dong!) Aku menahan senyum melihat tingkah polah Karin yang lucu dan menggemaskan. Pun juga dengan Mas Reno yang terlihat sangat memanjakan dan menyayangi putrinya tersebut. “Duh, peyut bunda kayak bayon... gede...” (Duh, perut bunda kayak balon... gede...) Karin mengomentari perutku yang besar seperti balon. Ia mengusap perutku dengan lembut. “Disini ada dedeknya.” Mata Karin membelalak tidak percaya. “Maca?” (Masa?) Ia menatapku dengan bola matanya yang besar. Tapi, aku tidak menemukan wajah Mas Reno di kontur mukanya. Karin sangat tidak mirip dengan Mas Reno, pun dengan Siska. Ia terlihat seperti orang lain. Tapi meski begitu, gadis kecil yang ceria memang sangat menggemaskan. Aku bahkan lupa dengan kecemasanku beberapa saat lalu. Mas Reno mengajaknya masuk ke dalam rumah, disusul Siska dan ibu Mertua yang berbisik-bisik sesuatu, entah apa itu. Aku pura-pura mengabaikan mereka, dan menyibukkan diri dengan kehadiran malaikat lucu yang menggemaskan itu. Akankah anakku nanti akan selucu Karin...? Aku tidak sabar menunggu kelahiran anakku. *** “Mas, tadi habis darimana saja? Kok tumben pulangnya lama sekali?” Setibanya kami di kamar, aku langsung menanyakan kemana Mas Reno mengajak Karin bermain. Bukan maksud apa-apa, tapi aku tak ingin memberikan kesempatan untuk Siska merebut kembali suamiku. Aku belum sekuat wanita lain yang siap untuk dimadu. “Kami hanya bermain di mall dan makan disana, dek. Karin kangen sama aku, karena itu aku mengajaknya bermain.” Aku terdiam sebentar, “benar hanya ke mall dan makan disana? Nggak pergi ke tempat lain?” tanyaku mulai curiga, kok bisa Mas Reno mengajak putrinya main bersama mantan istrinya tanpa sepengetahuanku yang saat ini adalah istri sah-nya. “Iya dek.” Kata Mas Reno penuh keyakinan, tapi entah kenapa aku tidak mempercayainya begitu saja. Aku merasa kepergian Mas Reno sudah menjadi rencana licik Siska untuk kembali ke pelukan Mas Reno. “Adek nggak percaya sama mas?” tanya Mas Reno ketika melihat tatapanku yang skeptis. “Bukan begitu maksud aku mas, cuma harusnya mas bilang ke aku jadi aku nggak khawatir di rumah. Takut mas ada apa-apa di jalan.” “Maafin mas ya...? Tadi Karin minta diajak main karena kami memang sudah lama tidak bertemu. Dia senang sekali hari ini dek. Mas merasa bersalah karena meninggalkan dia dulu.” “Memangnya apa yang terjadi diantara kalian mas? Kalau boleh aku tahu? Siapa tahu itu akan jadi pelajaran bagiku ke depannya?” “Itu hanya akan jadi rahasia kami, dek. Cukup Mas disini bersama adek dengan mengubur masa lalu mas bersama Siska dulu.” “Tapi tetap saja, hati adek tidak tenang dengan Siska berada satu atap di rumah ini. Mas tetap harus tegas untuk mengusirnya dari sini. Karena dia bukan siapa-siapa lagi. Aku nggak mau nanti karena kehadiran dia, keluarga kita jadi omongan orang-orang.” “Iya dek, nanti mas bicarakan baik-baik ke mereka, ya...?” Aku menganggukkan kepala sambil tersenyum lembut. “Janji ya Mas?” aku mengulurkan jariku ke arah Mas Reno. Seperti anak kecil dulu yang saling menautkan jari kelingking ketika membuat janji. Mas Reno terpaksa menautkan jarinya, “iya dek, mas janji.” “Nah, gitu dong.” Aku langsung memamerkan senyumku yang paling manis ke arah Mas Reno. Tentu saja, suamiku akan terpesona melihat senyum istrinya yang cantik ini. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD