Mild Pain

2498 Words
Antara kesal dan khawatir. Yuva baru saja menerima telepon dari Edgar–Bos Kampretnya! Dengan suara lemahnya, Edgar mengabarkan bahwa ia sedang sakit. Detail sekali beserta keluhan yang diterimanya antara lain lemas, demam, pusing, muntah-muntah, dan Yuva menyimpulkan itu gejala orang yang hendak menjemput ajalnya! Gadis itu kesal sekali pada bosnya yang memintanya segera ke rumah untuk mengantarnya ke rumah sakit. Untuk misi kemanusiaan, hati Yuva tergerak. Namun saat Yuva melihat jam di tangannya–pukul setengah sepuluh malam–Yuva mengumpat kesal. Pertama, jam kerjanya sudah berakhir pukul lima sore. Kedua, ini sudah larut malam. Ketiga yang paling penting, Edgar telah mengacaukan kencan sederhana Yuva dengan Ezra–kekasihnya. Edgar paket lengkap calon jenazah yang dikuburnya bakal susah! Andai Yuva bukan pegawainya di kantor. Andai keluarga mereka tidak saling mengenal baik. Dan masih banyak lagi ‘andai’ yang lain, sudah Yuva abaikan saja pasien setengah sekarat itu! Kini Yuva sedang menahan kekesalannya dan sejak tadi hanya diam, duduk manis di kursi penumpang depan. Sedangkan kekasihnya fokus menyetir di jalan raya yang mulai renggang. Kemudian sekelebat pikiran, menyadarkan Yuva akan suatu hal. Edgar kaya, mempunyai banyak koneksi, mengapa ia tidak menelepon dokter saja? Supaya datang ke rumahnya. Yuva tersenyum miring. Saking kesalnya ia, sampai mau gila rasanya. Gadis itu kini paham bahwa Edgar dasarnya ingin merepotkannya. Apalagi pria menyebalkan itu meneleponnya setelah melihat postingan privat kencannya dengan Ezra. Yuva menyesalkan keputusannya yang memasukkan Edgar dalam list orang yang dipercayanya. “Dasar pengganggu kencan! Bos nyebelin! Enggak bisa apa, sekali aja, biarin sekretarisnya cuman kerja di jam kerja!?” Meski sudah ditahan-tahan, emosinya tetap meluap tanpa bisa dikendalikan lagi. Memang tidak baik menahan emosi itu. Ezra yang sedang menyetir, terusik. Pria itu menoleh dengan mengulas senyum tulusnya. “Sudahlah, Yuva. Jangan marah-marah terus. Kita bisa melanjutkan kencan kita di lain waktu.” Begitu kalimat penenang Ezra yang justru memerahkan kedua telinga Yuva. Yuva sadar akan suatu hal. Ini menyangkut keduanya. “Lain waktunya kapan, Sayang? Kamu sibuk, aku pun juga. Waktu kita untuk bersama itu sangat sedikit, penuh perjuangan, harus benar-benar bisa membaca situasi, dan melihat peluang.” Sejenak, Ezra terdiam. Ia tidak setuju dengan ungkapan kekasihnya barusan dan sedang berpikir untuk memberi tanggapan sekaligus aksi menyadarkan sang kekasih. “Yuva..” “Hm?” Yuva enggan menatap Ezra. Pemandangan di kaca samping mobil ini jauh lebih menarik hatinya yang tengah panas. Ezra melempar tanya, “Kita ini sedang berpacaran atau berselingkuh? Kenapa kamu sekhawatir itu, Sayang?” Tangan besarnya pun turut terulur mengacak pelan rambut kepala Yuva. Selembut ini sosok Ezra. Lantas, bagaimana bisa Yuva kesal lebih lama? Kali ini Yuva akting. Ia masih mereog. “Iihh..aku lagi kesal! Jangan kasih aku pertanyaan enggak masuk akal yang udah jelas jawabannya! Dan, j–jangan panggil aku ‘Sayang’!” Yuva memang aneh. Dia tidak ingin dipanggil ‘Sayang’ oleh Ezra, karena berefek terngiang-ngiang berkepanjangan dan berakhir pada kerinduan berat. Pokoknya banyak tidak baiknya, mengganggu hari-hati Yuva. Padahal biasanya juga Yuva selalu merindukan sang kekasih dengan kata ‘sangat’. “Sayang..” goda Ezra, berharap kekesalan Yuva sirna. Tapi Yuva malah meneriaki namanya kesal, “Kak Ezra!” Ezra terkekeh. Kini ia sudah mengetahui bahwa kekasihnya sudah kembali seperti sediakala. Kesal-kesal-manja-menggemaskan. Ezra sangat menyukainya. Bila ada kata di atas ‘cinta’. Maka itulah penggambaran perasaan Ezra pada Yuva. “Sudah ya, ngambeknya. Pasti akan ada waktu yang lebih luang dan lebih baik, daripada malam ini. Lagipula, malam ini memangnya bisa disebut kencan? Kita cuman makan mie instan cup dan sekaleng bir di depan minimarket. Enggak romantis banget sih, pacarmu ini. Seharusnya ‘kan kamu diajak makan malam spesial di restoran mewah,” tutur lembut Ezra seraya menahan kesedihannya. Ia merasa belum mampu membahagiakan Yuva. Padahal Yuva putri seorang pengusaha terkenal. Putri dari keluarga tersohor Keluarga Sudirja. “Maafin aku, Yuva..” sesal Ezra. Yuva tentu tidak suka mendengar kata-kata menyedihkan kekasihnya itu. Karena baginya, dengan kebersamaan ini, ia telah sangat-sangat bahagia. Cukuplah ia dan Ezra. Maka bahagia akan mengikuti mereka. “Kenapa kamu minta maaf sih, Kak? Aku enggak suka kamu kayak gini. Lagipula aku enggak keberatan sama sekali makan di depan minimarket dengan menu selezat itu. Di mana pun itu, bagi aku yang terpenting ada kamu, aku bakalan selalu bahagia. Aku harap kamu pun juga. Jangan tinggalin aku ya, Kak. Kita harus terus berjuang buat yakinin orang tuaku.” Dua kalimat terakhir Yuva, terucap dengan nada tegas, sarat akan perintah yang tak terbantah. Ezra tak kalah tegas menanggapi. “Harus, Sayang. Sabar, ya..” Hening sesaat. “Kak Ezra?” panggil Yuva yang tak tahan dengan keheningan ini. Sekaligus Yuva ingin menghibur dirinya sebelum nanti berhadapan dengan Edgar. “Iya, Sayang.” Yuva tersipu. Tapi kegemasannya lebih mendominasi. Ia memukul-mukul pelan lengan kekar Ezra. “Ihh..makin ganteng kalau percaya diri kayak gini. Aku makin cinta! Cinta banget-banget-banget!” Alay! Yuva sadar betul akan hal itu. Mungkin jika Edgar mengetahuinya, ia bisa digantung! “Bos kamu lebih ganteng dari aku, Yuva.” Menaikkan sebelah alisnya, Yuva tidak setuju dengan perkataan Ezra. “Hellehhh! Kalau dia ganteng, enggak bakalan ditinggal kabur calon istrinya! Mana kaburnya sama sahabatnya sendiri yang menurut aku..eww, gantengan Bos aku, Sayang!” Yuva mengingat wajah Levon. Ia memang pernah bertemu dengan Levon saat Abisena Corp mengadakan pertemuan dengan Sudirja Corp. Di sana juga Yuva bertemu dengan Zola. Well, Yuva akui Edgar dan Levon sama-sama tampan. Walau masih tampan Papa dan kekasihnya. Namun, Yuva sama sekali tidak membenarkan pengkhianatan Levon. Di mata Yuva, Edgar jauh lebih baik, lebih-lebih segalanya daripada manusia pengkhianat seperti Levon. Diam-diam, Yuva mengetahui segala permasalahan yang menimpa bosnya. Ia hanya bisa tutup mulut dan tetap berdiri di batasnya. Dalam artian, tidak ingin ikut campur bila tidak diminta oleh yang bersangkutan–Edgar. “Ohh..jadi kesimpulannya Bos kamu itu ganteng?” simpul Ezra dengan ekspresi tenang. Ezra tahu bahwa cinta Yuva hanya untuknya. Walau terdapat sedikit kekhawatiran di dirinya. Khawatir bila kebersamaan Yuva dengan Edgar dapat menumbuhkan benih cinta. Tapi semua itu segera ditepis Yuva oleh pernyataan tegasnya. “Kamu tetap yang paling ganteng setelah Papaku!” CUP! Dihadiahi pula oleh sebuah kecupan singkat di pipi kirinya. “Jangan cemburu..” lirih Yuva meminta. Ezra menggeleng. “I’m happy with you.” Seraya mengedipkan sebelah matanya. Yuva tak mau kalah genit dan melakukan gerakan mata yang sama. “Me too.” Hingga akhirnya mereka tiba di rumah Edgar. Benar-benar rumah Edgar, karena Yuva pernah menyimak Harini bercerita mengenai anak tunggalnya yang memilih membeli rumah sendiri dan tinggal sendiri pula di sana. Yuva manggut-manggut seraya mengulas senyumnya. Menyukai desain rumah Edgar yang berwarna putih dengan paduan warna olive. Berlantai dua. Cukup luas dan pasti dalamnya mewah. Pintu gerbang di depan tadi tidak tertutup. Entah bagaimana bila ada maling masuk? Makanya mobil Yuva yang dikendarai oleh Ezra bisa masuk begitu saja. Atau mungkin Edgar sengaja membuka pintu gerbangnya guna menyambut kedatangan Yuva? Wow! Benar-benar sosok yang tak punya rasa bersalah seusai mengacaukan kencannya. Beruntung Yuva memutuskan mengajak sang kekasih ke kediaman Edgar. Dengan alasan, Yuva takut berduaan di rumah yang sepi itu bersama bos menyebalkannya. Ezra tentu bersedia menemani kekasihnya. Ia juga tidak rela kekasihnya berdua-duaan dengan pria lain. Walau status Edgar telah diketahui oleh Ezra sebagai Bos Yuva. Meskipun begitu, keduanya tetap berjenis kelamin pria dan wanita. Yang apabila ada setan mempengaruhi, dapat terjadi insiden di luar skenario. Ezra cukup terganggu dengan pikirannya itu. Makanya ia bersemangat turun lebih dulu dari mobil untuk segera mengusaikan kegiatan mengantar Edgar ke rumah sakit malam ini. Secepat itu pula Yuva menahan pergelangan tangan Ezra. Membuat langkah Ezra terhenti dengan ekspresi wajah bertanya. “Tunggu dulu, Kak! A–aku mau bilang sesuatu sebelum kamu ketemu Bos aku. Supaya kamu enggak kaget sama tingkahnya yang super nyebelin!” Ezra mengangguk dan mempersilahkan kekasihnya berbicara. “Kalau dia omongannya enggak enak, anggap aja nenek-nenek yang lagi rewel!” Sontak tawa Ezra menggelegar di kesunyian malam halaman luas rumah mewah Edgar. Ezra mengacak gemas rambut Yuva. “Kamu bisa aja! Tenang aja, aku bisa tahan, kok. Kamu aja bisa tahan kerja sama dia.” Sebenarnya Ezra telah mempersiapkan dirinya untuk bertemu Edgar. Entah bagaimana nanti sikap Edgar padanya, karena Ezra bukan dari kalangan orang-orang seperti Edgar dan Yuva. Ia pria biasa yang mempunyai usaha berupa kafe anak muda. Yang dibangunnya dengan modal sendiri. Mulanya menjadi pelayan kafe, mengantarkannya pada pemilik kafe. Ezra bangga dengan pencapaiannya. Begitupun dengan Yuva. Namun, dunia mereka yang sangat berbeda ini, akankah mendapat pemakluman dari semua orang? Tentu tidak. Papa dan Mama Yuva-lah yang termasuk di dalamnya, keduanya menentang hubungan mereka. Sehingga selama ini mereka menjalani hubungan diam-diam. “Dia ngatain kamu ‘Kekasih Simpananku’, gimana aku enggak khawatir kalau kamu akhirnya ketemu sama dia?” Yuva mengadu seperti anak kecil. Mengadukan perilaku Edgar yang sangat menyebalkan. Ezra cuek. Membuat gerakan mengangkat bahunya. “Biar saja seisi dunia berkomentar apapun mengenai hubungan kita. Yang terpenting kita saling cinta. Bukankah begitu, Sayang?” “That’s right! Siapa peduli? Dia dan seisi dunia ini tidak akan bisa menggoyahkan cinta kita!” Masalah selesai. Yuva menggandeng tangan Ezra, sedikit menyeretnya. “Ayo, Sayang. Jalannya agak cepat! Dia sudah hampir sekarat di telepon tadi.” “Masih ‘hampir’,” celetuk Ezra yang sama menyebalkannya dengan Yuva. Sikap mereka dalam menghadapi Edgar memang kompak. Salah sendiri Edgar mengganggu kencan mereka malam ini. *** Semalam, sesampainya Yuva di rumah Edgar. Pintu rumah ternyata tidak terkunci. Sehingga Yuva dan Ezra menerobos masuk begitu saja. Keduanya berpencar hendak mencari letak kamar Edgar. Namun teriakan Yuva membuat Ezra segera menghampirinya. Keduanya saling bertatap-tatapan dengan tatapan iba. Menyaksikan tubuh Edgar tergeletak di lantai ruang tengah. Astaga, candaan Yuva benar adanya. Edgar sekarat! Kini, pagi-pagi sekali Yuva berkendara menuju rumah sakit demi bosnya. Padahal Yuva telah mengabari kedua orang tua Edgar supaya menyusul ke rumah sakit. Namun setibanya di ruang rawat inap Edgar, orang tua Edgar tidak terlihat sama sekali. Ada apa sebenarnya? Apakah karena masalah ‘gagal menikah’ Edgar tidak akur dengan kedua orang tuanya? Malangnya nasib Edgar membuat hati Yuva teriris sepagi ini. Jadi, Yuva sarapan nasib malang Edgar. Hadeh.. Saat Yuva sedang menata sarapan Edgar yang disediakan oleh rumah sakit berupa bubur ayam itu, Edgar terbangun. Ini kali pertama Edgar terbangun setelah semalaman tidak sadarkan diri. Syukurlah..jadi setelah ini Yuva bisa menyuruh Edgar memakan sarapannya. Oh, jangan berpikir Yuva akan repot-repot menyuapi Edgar! “Selamat pagi, Pak. Syukurlah..Bapak sudah bangun. Saya pikir, kemarin itu terakhir kalinya Bapak menatap mentari pagi,” sapa ramah Yuva seraya mengalihkan pandangannya ke jendela ruang rawat inap ini. Di sana, mentari pagi bersinar begitu cerahnya. Bersamaan dengan wajah Yuva yang berseri-seri, bersyukur bosnya yang menyebalkan ini tidak jadi sekarat. Sekretaris laknat memang! Edgar mendengkus kesal. Andai tubuhnya tidak sedang lemas, sudah ia balas sapaan kejam Yuva itu dengan kata-kata kejamnya. Tapi kali ini Edgar memilih diam dan menurut ketika Yuva menata meja kecil di atas brankarnya untuk sarapan. “Selamat menikmati sarapan LEZAT ini ya, Pak..” ucap Yuva lagi. Yuva senang sekali melihat raut wajah kecut Edgar saat ia menekankan kata ‘lezat’. Itu sih, antonim. Masakan rumah sakit, yaa..you knowlah. Setelah menghabiskan sarapannya, Edgar berbincang serius dengan Yuva. Perihal sakitnya semalam sampai membuatnya tak sanggup berjalan kembali ke kamar seusai membuka kunci pintu utama rumahnya. Itu ternyata alasan tergeletaknya Edgar di lantai ruang tengah. Kasihan sekali bujang kesepian ini. Sudah paling benar tinggal di rumah mewah Keluarga Abisena. Tapi mencari susah dengan tinggal di rumahnya sendiri, seorang diri pula. “Saya sakit apa, Yuva?” “Cuman masuk angin sama telat makan, Pak. Bukan kanker stadium akhir, kok.” “Oh..” Edgar manggut-manggut mengerti. Ini semua pasti efek berdiri di bawah guyuran shower air dingin dalam waktu yang lama. Memang sejauh ini, Edgar belum menemukan pelampiasan emosi lain. Ke bar? Menyewa wanita? Bersenang-senang dengan cara dugem? Edgar belum pernah. Belum pernah artinya bisa menjadi tujuan pelampiasannya yang selanjutnya. Memikirkan hal itu, Edgar tersenyum miring. Ia tidak sabar untuk segera pulih dari sakitnya ini. “Bapak ngarepnya sakit apa emang?” Mendengar pertanyaan Yuva yang kurang ajar barusan, Edgar bisa nyolot dengan tenaganya yang belum pulih. “Enak saja! Saya inginnya sehat walafiat, Yuva.” Yuva menjentikkan jarinya di depan wajah Edgar. “Nah, begitu dong! Sekarang saya jadi yakin kalau Bapak masih mempunyai semangat hidup.” “Tentu saja..” ucap Edgar dengan lemah. Pria itu tak yakin masih mempunyai semangat hidup. Hidupnya saat ini begitu carut-marut. Sampai-sampai Edgar memprotes Tuhannya. ‘Ini tidak adil untukku, Tuhan. Mengapa bahagia yang kuharap, berubah dalam sekejap menjadi duka yang teramat dalam.’ Mendapati sang bos sedang benar-benar terpuruk. Yuva berusaha menguatkan. “Pak..jodoh itu enggak bakal kemana, kok. Yang sabar ya, Pak.” Kali ini serius, tidak ada nada mengejek di dalamnya. “Hm.” Yuva pun mengalihkan topik perbincangan berat itu. Edgar memerlukan waktu untuk menerima segala kekacauan yang ditimbulkan oleh mantan calon istri dan sahabatnya. “Ngomong-ngomong, saya sudah mengabari Om Abisena dan Tante Harini terkait kondisi kesehatan Bapak. Tapi mereka belum datang. Kita tunggu saja ya, Pak.” Yuva berusaha berpikir positif. Mungkin memang kedua orang tua Edgar masih sibuk. Pikiran Edgar justru bertolak belakang dengan pikiran sekretaris pribadinya itu. “Mereka tidak akan datang, Yuva. Apalagi kamu yang memberi mereka kabar ini.” “Kok Bapak bisa beranggapan seperti itu? Kenapa?” tanya Yuva yang tidak mengerti dengan jalan pikiran Edgar. Dengan santainya Edgar menjawab, “Karena kamu ada di sisi saya. Makanya mereka tenang-tenang saja. Kamu pasti juga sudah bercerita pada mereka terkait penyakit remeh saya ini ‘kan?” Yuva mengangguk. “Iya sih, Pak. Tapi Bapak sedang sakit, lohh! Masa Om Abisena dan Tante Harini tidak peduli. Ya tidak mungkin!” “Mereka juga sedang tidak baik-baik saja, Yuva. Saya-lah penyebabnya. Jadi, saya akan memaklumi segala sikap mereka pada saya akhir-akhir ini. Lagipula, saya yakin mereka diam-diam pasti mengirim seseorang untuk memata-matai saya. Dan, kebetulan sekali kamu ada di sisi saya. Jadi saya pastikan, mereka tenang di rumah dengan adanya kamu di sini menemani saya,” jelas Edgar panjang kali lebar dengan mengulas senyum tipisnya. Wow! Yuva tercengang dengan penjelasan Edgar. Masuk akal. Walau aneh bila terdengar oleh orang lain. Namun, Yuva teringat ia tidak sekurang kerjaan itu menemani Edgar di sini. “Waduhhh..saya tidak senganggur itu untuk menemani Bapak di sini. Maaf ya, Pak. Lagipula, nanti sore paling Bapak sudah diizinkan untuk pulang.” “Hm, ya sudah. Kembali bekerja sana.” Yuva sudah bersiap meraih tas kerjanya. Bosnya memang sakit. Tetapi pekerjaannya di kantor justru semakin bertambah karena ini. “Cih..padahal saya yang menggajimu. Atau, kamu ada janji makan siang dengan pria semalam?” Pergerakan Yuva terhenti. “Lohh, Bapak tahu kalau semalam saya sama Kak Ezra yang memapah Bapak!? Berat tau, Pak! Dosa Bapak banyak banget.” “Oh..namanya Ezra.” Edgar tersenyum penuh kemenangan. Lagi-lagi, ia mengetahui sebuah info tanpa mengoreknya lebih dalam. Yuva panik. Tetapi sebisa mungkin menunjukkan raut wajah tenang. Setenang air yang mengalir, padahal tsunami bisa kapan saja terjadi! “Iya..ganteng ‘kan Pak, pacar saya?” “Ganteng. Tapi hanya dijadikan simpanan. Buat apa? Ya mending saya-lah.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD