Titik Terendah

2424 Words
“Saya tidak menjadikan pernikahan sebagai ajang permainan yang apabila lelah dapat digantikan oleh pemain lain, yang apabila waktunya habis dapat dengan mudah diakhiri, atau..yang apabila bosan tinggal hapus saja aplikasi permainannya. Semoga Bapak mengerti,” jelas Mira dengan menekankan pada tiap kalimatnya. Gadis itu berharap Edgar mengerti dengan perumpamaan yang dibuatnya. Sehingga setelah ini Edgar tidak lagi menunggu Mira berubah pikiran atau membuang-buang waktu untuk membujuk Mira sampai berubah pikiran. Di sisi lain, Mira menyadari sesuatu. Ia hanya manusia biasa. Bisa goyah kapan saja. Apalagi Edgar juga mengiming-iminginya uang. Bila Mira sebut seratus juta pun, Edgar pasti akan langsung mengabulkannya. Uang itu tentu akan Mira gunakan untuk melunasi seluruh hutang almarhum bapaknya yang selama ini menjadi bebannya dan sang ibu. Tapi Mira masih waras untuk tidak menyebut nominal barang satu angka pun. Berbeda dengan pikiran Edgar. Pria itu justru mengulas senyum miringnya. Menyimpulkan sesuatu yang terasa menggelitik. “Jadi, kamu ingin menjadi istri saya selamanya?” Inilah yang dikhawatirkan oleh Mira. Saat Edgar salah mengartikan ucapannya dan semakin menjadi-jadi dengan kepercayaan dirinya yang wahhh..tembus angkasa! Habis sudah stok sabar yang dimiliki oleh Mira. Gadis itu langsung mengamuk. “Bukan itu poin yang saya tekankan, Pak Edgar! Bapak sengaja ya menguji kesabaran saya!? Saya tahu Bapak cukup pandai dalam menangkap maksud perkataan orang lain! Jadi Bapak tidak perlu sok polos begitu.” Rosiana yang mendengar kegaduhan di depan, tergopoh-gopoh menuju sumber suara gaduh itu. “Mir, kenapa bicaranya harus teriak-teriak, sih? Pak Edgar ‘kan di depan kamu. Bukan di ujung gang sana,” tegur Rosiana yang mengenali suara gaduh itu bersumber dari bibir Mira. Mira yang posisinya masih dikuasai amarah, sebisa mungkin menarik-menghela napasnya. Begitu terus secara berulang sampai ketenangan kembali menguasainya. Ia mengunci bibirnya rapat-rapat. Menunggu apa tanggapan Edgar. “Tidak apa-apa, Bu Rosiana. Sepertinya Mira sedang melatih vokalnya.” Dan yahh..begitu tanggapan Edgar yang langsung membuat kedua mata Mira melotot seketika. Sejak kapan Edgar menjadi guru vokal!? ‘Sabar, Mir. Sabar. Anggap aja dia bener-bener pasien RSJ yang kabur. Keluarganya ada biaya. Tapi dianya kabur-kaburan. Meresahkan!’ *** Edgar pulang ke rumahnya dengan keadaan lesu. Ternyata senjata yang ia gadang-gadang akan bisa membuat Mira bersedia menerima tawarannya–tidak ampuh sama sekali. Wanita itu berbeda dari kebanyakan wanita di luaran sana. Edgar mengulas senyum tipisnya kala menyadari Mira bukanlah wanita matre. Berharap memasuki rumah dan disambut kesunyian, Edgar justru terkejut saat mendapati mamanya telah duduk manis di sofa ruang tamu. Pantas saja semua lampu di rumahnya ini menyala. Ternyata ada mamanya di sini. “Ma..sudah dari tadi?” Edgar mencium tangan mamanya dengan sopan. Seperti biasanya. Harini hanya berdeham. Kemudian menepuk-nepuk sofa di sampingnya. “Duduk. Mama ingin bicara sama kamu.” Edgar menurut dan duduk di samping sang mama. Pria itu sudah menduga. Pasti kedatangan mamanya ini mengemban suatu kepentingan. Mamanya jarang sekali mau mengunjungi rumahnya. Karena sebenarnya pembelian rumah ini belum begitu disetujui oleh mamanya. Mama Edgar mempunyai pemikirannya sendiri. Edgar belum berumah tangga, mengapa repot-repot tinggal sendiri di rumah sebesar ini? Apa tidak menyusahkannya? Yaa..memang ada asisten rumah tangga yang bekerja beberapa hari sekali membersihkan rumah ini. Edgar sendiri lebih sering makan di luar. Tapi, rumah kedua orang tuanya masih bisa menampungnya dengan segala fasilitas yang ada. Ibaratnya, tinggal menikmati enaknya saja. Tapi Edgar malah menolak dan memilih hidup mandiri. Dengan uang yang ia kumpulkan sendiri, Edgar berhasil membeli rumah besar ini secara cash. Benar-benar bujang berduit. Edgar mulai menerka-nerka tentang apa yang akan dibicarakan oleh mamanya. Apakah mamanya mendapat info dari Yuva, sehingga repot-repot datang kemari hanya untuk berbicara dengannya? Sudah pasti! Yuva ada di pihak mamanya. “Apa benar kamu akan tetap menikah? Dengan pilihan hatimu? Siapa wanita yang kamu bilang ‘pilihan hatimu’ itu, Edgar?” “Selain itu Yuva mengatakan apalagi, Ma?” Sepasang mata Harini yang semula tenang, kini menjadi gusar. “Tidak penting. Lebih penting pertanyaan Mama yang harus segera kamu jawab. Kamu jangan main-main, Edgar. Jangan lagi salah pilih wanita. Cukup satu kali saja. Kepala Mama sama Papa ikut berasap karena kelakuan Zola!” “Dia wanita baik-baik, Ma.” Entah mengapa yang ada di bayangan Edgar adalah Mira. Memang benar bukan? Mira wanita baik-baik. Harini mencecar Edgar dengan pertanyaan-pertanyaan lainnya. “Siapa? Dari keluarga mana? Apa Mama dan Papa kenal?” Kali ini sepasang mata tuanya berbinar. Ia tampak bersemangat ingin mengetahui sosok wanita yang menjadi pilihan hati Edgar. Semudah itu Edgar berpaling dari Zola. Maka Harini yakin dia bukanlah wanita sembarangan. “Dia dari keluarga biasa, Ma,” jawab Edgar dengan jujur. “APA!?” Binar di mata Harini menghilang. Ia terkejut karena jawaban Edgar mematahkan anggapannya. Harini mulai pusing dibuatnya. Wanita itu memijit-mijit pelipisnya. “Kamu nemu wanita-wanita yang enggak jelas dari mana sih, Edgar!? Mama heran sama kamu. Sebelumnya, Zola. Zola memang mengaku keluarganya tersisa mamanya yang tinggal di luar negeri. It’s okey, Mama dan Papa tidak keberatan. Toh, kelihatannya Zola bukan orang sembarangan. Papamu juga telah menyelidikinya kala itu dan benar, Zola dari keluarga yang berada, walau semenjak papanya meninggal kehidupan Zola berubah drastis. Tapi kali ini, bisa lebih spesifik kamu jelaskan wanita yang seperti apa yang akan menggantikan Zola? Jangan sampai dia lebih parah dari Zola, Edgar!” omel Harini panjang kali lebar. Di dalam omelannya masih membawa-bawa nama Zola sebagai biang perkara semua ini. Edgar tidak mengindahkan pembahasan mamanya mengenai Zola. Baginya tidak penting. Tapi Edgar dengan yakin dapat menegaskan sesuatu. “Edgar pastikan dia jauh lebih baik daripada Zola, Ma. Hanya saja..” Edgar menggantungkan kalimatnya karena mengingat penolakan-penolakan tegas Mira atas tawarannya. Bahkan iming-iming sejumlah uang belum juga menggoyahkan Mira. Dia..berbeda dari kebanyakan wanita yang pernah Edgar jumpai. “Hanya saja?” Harini menuntut kelanjutan kalimat putranya yang menggantung. “Dia belum menerima Edgar.” Kedua bahu Edgar merosot. Edgar putus asa. Sepertinya memang Edgar tidak jadi menikah. Usahanya mencari pengganti Zola pun, gagal total. Penolakan Mira terus saja terngiang-ngiang seperti radio rusak di kepalanya. Mengantarkan Edgar pada jalan yang benar-benar buntu. Cepat atau lambat, Edgar akan segera tiba di hari H Klarifikasi. Bersama harga dirinya yang telah lenyap tak bersisa. Sementara itu, Harini tak habis pikir. Omelannya semakin menjadi. “Astaga! Bukankah tadi katamu dia wanita biasa, dari keluarga biasa, lalu seleranya yang bagaimana!? Sampai-sampai berani nolak kamu yang luar biasa ini! Hm!?” Edgar tidak memberikan tanggapan sama sekali. Ia hanya duduk lesu di samping mamanya dengan mata yang memandang kosong lurus ke depan sana. Masa depannya hancur karena Zola dan Levon mengkhianatinya. Harini yang sadar akan kesedihan Edgar bermaksud membuka mata Edgar. Supaya pandangannya lebih luas. Misalnya, mulai memandang wanita lain yang cocok untuknya. “Sudahlah, memang paling benar kamu sama Yuva aja! Keluarga kita dan Keluarga Yuva ‘kan sudah lama saling kenal. Jalan kalian berdua kedepannya pasti akan mulus. Tidak ada tuh, drama pengkhianatan sampai kabur-kaburan ke Amerika segala! Paham kamu!?” Edgar menggeleng tegas. “Edgar tidak mau, Ma. Yuva bukan pilihan hati Edgar.” Ia mengatakan dua kalimat tersebut dengan penekanan pada tiap katanya. Berharap sang mama benar-benar mengertinya. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Harini naik pitam dan mengatakan hal yang tidak semestinya ia katakan. “Ya sudah! Tidak usah menikah sekalian!” Menyadari perkataannya bak busur panah yang menuju ke arahnya sendiri, Harini langsung menutup mulutnya sendiri. Ia menyesal telah mengatakan hal seperti itu. Untung saja Edgar tetap diam. Tapi keadaan Edgar tampak semakin mengenaskan di mata Harini. Pancaran matanya benar-benar kosong. Tubuhnya yang biasa tegap, kini lesu. Tidak ada semangat dalam dirinya untuk maju. Hal ini tidak bisa Harini biarkan. Kembali pada setelan lembutnya, Harini menuturkan, “Wanita yang seperti apa sih, seleramu? Yuva itu sempurna buat kamu Edgar. Kamu akan jadi pria paling beruntung kalau kamu bersanding dengan Yuva.” Edgar menoleh sebentar dan melempar tatapan tajam. Seolah menunjukkan ketidaksetujuannya dengan penuturan sang mama barusan. “Ah, ralat. Kalian sama-sama sempurna. Kalian akan beruntung bila memiliki satu sama lain.” Begitu ralat Harini seraya tersenyum lebar. Tangan lembutnya juga mengusap-usap punggung lebar Edgar. Berharap sisi keras hati atau keras kepala Edgar ini perlahan enyah. Karena saat ini tidak ada gunanya bersikap seperti itu. “Edgar tetap pada keputusan Edgar, Ma. Edgar tidak bisa bersama Yuva. Kalaupun Mama mengkehendaki Edgar tidak usah menikah, baiklah. Memang belum waktunya atau memang Edgar selamanya akan menjadi bujangan.” Inilah hal yang ditakutkan oleh Harini. Harini terkejut dengan ucapan Edgar barusan. Memang nada bicara Edgar normal. Tapi tiap kalimatnya sukses membuat Harini bersedih sekaligus ketakutan. Air mata Harini lolos begitu saja. Sebagai seorang ibu, Harini tentu tidak ingin Edgar berada di jalan itu. “Edgar permisi, Ma. Edgar lelah..” Edgar berdiri hendak melangkah pergi. Akan tetapi, baru beberapa langkah. Di belakang sana Edgar mendengar suara mamanya yang sama putus asa dengannya. “Edgar? Mama enggak bermaksud begitu. Mama hanya ingin yang terbaik untuk kamu. Sudah cukup sekali saja kamu salah memilih wanita! Seterusnya? Tidak akan Mama biarkan kamu mengulang kesalahan yang sama.” Membalikkan badannya. Edgar mengulas senyum merana sambil mengangguk kecil. “Ya, lebih baik memang Edgar tidak usah menikah saja, Ma. Supaya Edgar tidak frustasi merasakan sesaknya d**a yang sakit karena dikhianati, ditinggalkan, dan..tidak akan ada yang paham akan semua kesakitan yang Edgar rasakan itu.” Harini semakin sedih mendengarnya. Wanita paruh baya itu terisak seraya menggelengkan kepalanya berkali-kali. “Edgar.. Jangan begitu, Nak. Kamu harus bisa bangkit dari segala rasa sakit ini dan berusaha meraih bahagiamu. Membangun rumah tangga yang indah bersama wanita yang kamu cintai dan mencintaimu. Memberi Mama dan Papa penerus Abisena. Kamu harapan kami satu-satunya, Edgar. Maafkan Mama..” “Mama tidak salah. Edgar istirahat dulu, Ma.” Setelahnya barulah Edgar melanjutkan langkah kakinya. Bersama sisa tenaga yang ada. Bukannya merebahkan diri di ranjang empuknya untuk beristirahat. Edgar malah berjalan menuju kamar mandi. Ia berdiri di bawah guyuran shower yang mengucurkan air dingin. Sesekali menyugar rambutnya sekuat mungkin. Sampai sakit dadanya ditandingi oleh sakit rambutnya yang terjambak. Mungkin ini titik terendah Edgar dalam hidupnya. Ia meraung. Melampiaskan segala rasa sakit hatinya. Nyatanya, tidak ada lagi yang bisa Edgar lakukan selain mengklarifikasi batalnya pernikahannya dengan Zola. Seorang diri? Hah..mereka semua pasti berbisik-bisik meremehkan Edgar. Atau malah ada yang berani menertawakannya. Gosip mengenai kaburnya Zola dengan Levon juga telah terdengar dari telinga ke telinga. Meluas. Mereka seolah menunggu hari kehancuran Edgar–Hari H Klarifikasi. Harapan Edgar satu-satunya–Mira–pun sudah sirna. Jadi, memang benar. Ialah sosok yang paling tidak beruntung, paling tersakiti, paling menderita. Padahal..Mira juga. Malam ini, di warung sederhana ibunya. Siapa sangka kedatangan tamu agung. Mereka Devita dan Dhafi. Pengantin baru yang tengah berbahagia. Bersuap-suapan nasi goreng seolah dunia hanya milik mereka berdua. Tak peduli sekitar, termasuk Mira yang baru saja tiba di warung ibunya. “Mir..” Mira tersentak dari lamunnya memandangi pemandangan menyakitkan itu. Bahkan tanpa bisa ia cegah, air matanya lolos begitu saja. Segera Mira menghapus air matanya. Ternyata belum sejauh itu hati Mira menghapus nama Dhafi yang pernah dua tahun mengisi hari-harinya. Memaksakan senyumnya, Mira mencium tangan Rosiana. Mira teringat akan suatu hal. Ia akan menggunakannya untuk menghindari dua manusia yang tak sadar tindakan mereka telah menyakiti Mira. “Bu, gula untuk teh Ibu ‘kan habis. Biar Mira belikan sekarang. Nanti keburu tutup minimarketnya.” Padahal kalau dipikir-pikir, mereka tidak salah. Mereka telah bersatu dalam ikatan yang SAH. Hanya Mira dan hatinya yang sulit untuk ikhlas. Manusiawi. Semua membutuhkan waktu.. Rosiana mengangguk dan segera memberikan sejumlah uang pada Mira untuk membeli gula. Mira dengan menaiki sepedanya segera meluncur ke minimarket. Tanpa mempedulikan Dhafi yang sempat melihat kepergiannya dalam diam. “Kamu lihatin apa, Mas?” “Hm? B–bukan apa-apa, Sayang. Ayo Aaa lagi..” Dalam hati Dhafi berucap, ‘Maafkan aku, Mir. Seharusnya aku tidak pergi ke sini bersama istriku. Sungguh aku tidak bermaksud buruk padamu.’ Sementara itu, Mira mengayuh sepedanya dengan mengebut. Mira memutuskan pergi ke minimarket yang lebih jauh daripada biasanya. Sengaja. Supaya hatinya yang sedang panas mendingin akibat terpaan angin malam yang dingin dan semoga ketika Mira kembali Dhafi dan Devita telah pergi. Mereka tidak mungkin ‘kan menunggu kedatangannya? Atau jangan-jangan mereka sengaja memamerkan kemesraan mereka di hadapan Mira? Astaga..isi pikiran Mira benar-benar full hal negatif! Sebisa mungkin Mira mengenyahkan segala pikiran negatifnya itu. Tidak baik mempunyai penyakit hati. Walau hatinya berdarah-darah menyaksikan kebahagiaan sang mantan kekasih tercinta bersama istrinya. Setibanya di minimarket, Mira masih diuji. Ia disuguhi pemandangan dimana sepasang kekasih tengah menikmati makan malam alakadar mereka yang berupa mie instan cup dan minuman kaleng. Di depan minimarket ini memang disediakan beberapa set meja dan kursi. Tapi bukan untuk berpacaran! Mira menjadi sewot karena moodnya sudah rusak saat tiba di warung sederhana sang ibu. Kini semakin badmood saja Mira sampai-sampai Mira yang biasanya acuh tak acuh mulai mengurusi pasangan yang tengah makan malam bersama itu. Mira masuk ke dalam minimarket. Membeli gula yang biasanya digunakan sang ibu untuk membuat teh. Lalu, pandangannya tertuju pada cup-cup mie instan yang berjejer rapih. Entah mendapat dorongan dari mana? Mira mengambil satu cup mie instan itu. Setelah membayar belanjaannya. Mira turut makan mie instan cup yang diseduhnya di dalam tadi di depan minimarket. Ia duduk seorang diri di kursi paling pojok. Bersama penerangan minimarket yang luar biasa terangnya. Mengalahkan masa depan anak salah seorang artis papan atas! Pemandangan di depan Mira tidak mempengaruhi selera makannya. Gadis itu justru lahap memakan mie instan cup di hadapannya. Sesekali Mira mendumel. “Orang-orang apa enggak bisa ya, makan malam sendirian? Kenapa mesti berduaan? Seenggak berani itu mereka kesepian!” “Tapi memang benar. Sepi itu menyedihkan. Tapi bersama dengan perasaan yang tidak saling mencintai jauh lebih menyedihkan,” lirih Mira dengan bahu yang merosot. Punggungnya telah bersandar pada punggung kursi. Seusai mengatakan hal itu. Tiba-tiba pikiran Mira tertuju pada Edgar. Mira menggelengkan kepalanya. Tidak-tidak. Ia tidak jatuh cinta pada pria itu. Ia hanya mencocokkan apa yang baru saja diucapkannya dengan tawaran gila Edgar. Pasti jika Mira menerima tawaran Edgar, Mira akan semakin hidup dalam kesedihan. Menikah hanya untuk uang. Menikah dalam jangka waktu satu tahun. Pendidikan SMA-nya saja tiga tahun! Benar-benar kebangetan Si Edgar! “Bentar ya, Sayang. Ini bos aku telepon.” Mira samar-samar mendengar si wanita izin menyingkir sejenak dari prianya. Si pria tersenyum dan mengangguk. “Iya, Yuva.” Mira tertegun dengan cara pria itu memanggil kekasihnya. Dengan nama? Hah..yang benar saja!? “Cihh..enggak bisa apa manggil ‘Sayang’ kayak ceweknya? Cowok emang sulit dipahami. Disayangi, cuek bebek. Giliran kita sibuk sendiri, kabur. Semoga mereka bertahan sampai pelaminan.” Tatapan Mira kemudian tertuju pada si wanita yang tampak resah seusai mengangkat telepon dari bosnya. “Drama ditinggal nikah enggak seru buat diperankan, Mbak. Sumpah!” Malam ini Mira benar-benar nganggur. Sampai-sampai menjadi komentator orang pacaran! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD