Mendengar jawaban sekaligus pernyataan yang luar biasa percaya diri terlontar dari bibir Edgar, kekhawatiran Yuva akan kondisi kesehatan tubuh Edgar–sirna sudah. Kini Yuva yakin seratus persen bahwa Edgar benar-benar tidak semenyedihkan yang ia pikirkan. Cepat atau lambat, pria menyebalkan ini pasti segera sehat.
Yang terpenting untuk Yuva saat ini adalah menjaga kesabarannya yang setipis tisu dibagi lima. Sabar..
“Kenapa kamu menatap saya seperti itu? Tidak terima dengan perkataan saya barusan? Itu fakta, Yuva.” Edgar mulai sombong. Senyum miringnya ingin sekali Yuva balas dengan sebuah tabokan keras di bibirnya. Namun hal itu hanya ada dalam angan Yuva.
Mana berani Yuva bertingkah segarang itu pada bosnya? Mencari pekerjaan sekarang ini susah. Apalagi papanya mempersulit jalan Yuva melamar di kantor lain. Untung saja ketika Yuva akhirnya bekerja di Abisena Corp, papanya biasa saja. Mungkin beliau berpikir, Yuva bisa diawasi. Edgar dan keluarganya dipercaya dapat menjaganya. Padahal tidak juga. Buktinya hingga detik ini Edgar tetap tutup mulut walau mengetahui dirinya menjalin hubungan diam-diam dengan Ezra.
Itu artinya, Edgar sebenarnya orang yang bisa dipercaya bukan?
“Ya..yaa..yaaa. Terserah Bapak sajalah.”
Edgar tersenyum puas akan kemenangannya melawan Yuva. Hal ini mengingatkan Edgar pada Mira. Mira juga kerap kehabisan kata saat menghadapinya. Apakah ia sehebat itu? Astaga, mengapa sosok Mira mampir dalam pikirannya?
‘Sadarlah, Edgar..’ Edgar menggeleng-gelengkan kepalanya. Mengenyahkan sosok tak penting–Mira–dari pikirannya.
Gerak-gerik Edgar itu tidak lepas dari pengamatan Yuva. Membuat gadis itu bertanya, “Bapak kenapa? Kepala Bapak pusing lagi?”
“Tidak. Tapi saya bosan. Ingin berjalan-jalan keluar,” jawab Edgar menutupi fakta bahwa barusan ia sempat memikirkan Mira.
Sedangkan Yuva sukses dibuat heran oleh Edgar. Gadis itu melipat kedua tangannya di depan dan mulai mengomeli Edgar, “Bapak pikir, ini tempat wisata? Ini rumah sakit, Pak. Mau berjalan-jalan kemana? Lebih baik Bapak istirahat. Supaya nanti sore dokter mengizinkan Bapak pulang.”
Nasihat Yuva barusan dianggap angin lalu oleh Edgar. Pria itu malah menyingkirkan selimut yang membalut tubuhnya. Berusaha berdiri sendiri dengan susah payah. Menarik-menghela napas, menyesuaikan pergerakannya dengan tenaganya yang tidak sekuat biasanya. Tapi untuk berjalan-jalan, ia masih kuat. Kemudian mendorong tiang infus, berjalan lebih dulu menuju pintu ruang rawat VIP ini. Meninggalkan Yuva yang frustasi di belakang sana.
Sesampainya di luar ruang rawat inapnya, Edgar terkekeh puas kala mendengar teriakan frustasi Yuva. Untung hanya satu kali. Coba berkali-kali, bisa diringkus petugas keamanan sekretaris pribadinya itu.
“Memang sesekali kesabarannya harus diuji..” gumam Edgar sambil berjalan pelan-pelan dengan tiang infus sebagai pegangannya.
Tak lama kemudian, Yuva menyusul. Gadis itu enggan berjalan di sampingnya. Mungkin karena emosinya masih belum stabil. Menghindari interaksi, itu lebih baik.
Edgar acuh tak acuh. Biar saja sekretaris pribadinya itu menjelma menjadi bodyguard.
Mata Edgar memandang sekeliling. Kemudian mulai menyadari sesuatu. Ia tidak asing dengan rumah sakit ini. Ah, ternyata ini rumah sakit yang sama dengan rumah sakit tempat Cinta dirawat. Anak salah seorang karyawannya yang kebetulan tetangga Mira.
Ujung-ujungnya Mira lagi.
Edgar menggelengkan kepalanya. Berharap tidak peduli akan fakta yang baru diketahuinya barusan. Tetapi tidak bisa, karena langkah Edgar justru menuju area ruang rawat inap anak.
Ya, pria itu hendak menjenguk Cinta dengan kondisinya yang sedang sakit. Baik sekali ia!
Yuva yang merasa bosnya salah jalan, menegur. “Pak, sebenarnya Bapak mau kemana sih? Ini area ruang rawat inap anak lohh, Pak. Ayo ke taman rumah sakit saja kalau Bapak mau jalan-jalan. Kurang baik apa saya ini? Bapak mau jalan-jalan, saya temani.” Sebagai satu-satunya orang yang menjaga Edgar di rumah sakit ini, Yuva menanggung beban tanggung jawab akan segala polah Edgar. Walau polahnya menyebalkan bin bebal.
Dengan tetap melanjutkan langkahnya, Edgar memberi tanggapan sekenanya atas pidato Yuva. “Saya memang mau ke ruang rawat inap anak, Yuva.”
Sontak Yuva terkejut. “Hah? Anak siapa yang sakit, Pak?”
Edgar tidak menjawab. Tetapi langkah kakinya berhenti. Tubuhnya juga berbalik. Kini pria itu berhadap-hadapan dengan Yuva. Mencoba menetralkan kegugupannya setelah matanya tidak sengaja menangkap sosok yang tidak ingin ia temui saat ini.
Setelah tenang untuk sesaat, Edgar lantas berucap lirih, “Mmm..t–tidak. Tidak ada yang sakit.”
“T–tadi apa katamu? Hendak menemani saya berjalan-jalan ke taman rumah sakit?” tagih Edgar atas pidato Yuva sebelumnya. Walau sebenarnya Edgar tidak berminat pergi ke taman rumah sakit. Maka dengan terpaksa kali ini ia pergi ke sana untuk menghindari seseorang yang tak sengaja dilihatnya berada di dalam ruang rawat inap Cinta.
Yuva mengangguk kaku. Walau merasa aneh dengan perubahan sikap bosnya.
Bosnya kemudian melontarkan kata ajakan, “Ayo kalau begitu..”
Bahkan bosnya itu berjalan lebih dulu di depannya. Walau langkah kakinya tidak sesemangat sebelumnya. Mungkin ia lelah. Salah sendiri main nyelonong keluar ruang rawat inap. Padahal Yuva tadinya bermaksud mencarikan Edgar kursi roda. Walau tidak lumpuh, Edgar masih tampak lemas. Yuva peka akan hal itu.
“Bapak aneh banget. Gampang berubah keinginan. Tadi katanya memang mau ke ruang rawat inap anak. Terus tiba-tiba mau ke taman rumah sakit,” dumel Yuva masih mengikuti langkah Edgar di belakang.
Telinga Edgar panas mendengar dumelan Yuva. Sehingga membuat Edgar menghentikan langkah kakinya secara mendadak. Pria itu menoleh dengan menunjukkan raut wajah galaknya. “Kamu cerewet sekali, Yuva. Mau saya potong berapa persen gajimu? Hm?” ancam Edgar yang langsung mendapat gelengan cepat dari Yuva.
Yuva menciut bila pembahasan sudah merembet pada pemotongan gaji. Ini tidak bisa dibiarkan!
“Jangan dong, Pak! Ya ampun, enggak bisa banget diajak bercanda,” mohon Yuva.
“Mood saya sedang buruk.”
Yuva menghela napasnya. Berusaha lebih sabar lagi. “Oh okey..i’m sorry, Pak.”
Baru saja keduanya hendak melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Panggilan seseorang membuat dua kepala itu menoleh ke sumber suara.
“Pak Edgar?”
Judulnya : Menghindar? Mana Sempat!
Mira dengan seragam jualan yogurtnya berdiri tegap di belakang sana. Aksi tatap-tatapan itu tidak bertahan lama. Karena setelahnya Mira berjalan mendekat pada Edgar dan Yuva. Raut wajahnya tampak terkejut sekaligus tidak percaya dengan apa yang saat ini dilihatnya.
Sosok Edgar yang wajahnya selalu tampak fresh. Maka pengecualian untuk hari ini. Pakaian Edgar yang biasanya merupakan setelan jas rapih. Maka hari ini spesial Edgar mengenakan setelan pasien rumah sakit. Rambut Edgar yang biasanya rapih, klimis. Maka hari ini model rambutnya menganut model acak-acakan. Tentu itu bukan model rambut!
Mira membatin, ‘Pak Edgar sakit? Sakit apa?’ Tanpa sadar perasaan khawatir menyelinap dalam dirinya.
Keduanya masih bertahan dalam kebisuan. Hingga dehaman Yuva menyadarkan keduanya. “Pak, katanya mau jalan-jalan ke taman rumah sakit?” tanya Yuva mengabaikan sosok wanita yang sempat memanggil nama bosnya.
Yuva bertanya-tanya, siapa wanita itu? Dari penampilannya, mengenakan seragam. Tapi seragam apa? Yuva sepertinya tidak asing dengan seragam itu. Pernah melihat. Tapi di mana? Yuva lupa..
“Kamu kembali bekerja saja, Yuva.” Itulah kalimat yang pertama kali keluar dari bibir Edgar.
Dari nada bicara Edgar barusan tampak memerintah. Yuva lagi-lagi peka. Ditambah, saat mengatakannya tadi tatapan Edgar tidak beralih sedikit pun dari wanita asing itu.
“S–sekarang?” Yuva memastikan.
Hingga membuat tatapan Edgar beralih padanya. “Iya. Saya tidak apa-apa kok, jalan-jalan sendiri.”
“Beneran? Bapak ‘kan masih sakit..” Yuva tidak sedang perhatian. Cih, kurang kerjaan. Gadis itu hanya ingin mengetahui bagaimana reaksi wanita asing tersebut.
Tidak ada reaksi apapun. Bibir wanita asing itu tetap bungkam. Namun, ekspresinya tampak berbeda. Yuva melihat ekspresi wanita asing itu perlahan muram.
“Saya bisa, Yuva. Jangan khawatir,” tegas Edgar yang ingin segera mengusir Yuva.
Yuva paham sekarang. Edgar ingin berduaan dengan wanita itu. Segera saja Yuva kabulkan. “Oke. Kalau begitu saya permisi.” Lagipula ia malas berlama-lama bersama Edgar. Yang ada melatih kesabarannya terus.
Yuva permisi, “Mari..” Iseng menyapa wanita asing itu. Yang justru mendapat anggukan ramah darinya.
Dalam langkahnya menjauh itu, Yuva berpikir keras. Mungkinkah wanita itu merupakan pilihan hati Edgar? Tapi sosoknya sangat berbeda jauh dengan Zola. Intinya bak langit dan bumi. Penampilan Zola sempurna, mewah, menunjukkan bahwa ia dari kalangan atas. Antonim dari penampilan wanita asing tadi.
Sepeninggalan Yuva, barulah Edgar bersuara. “Cinta bagaimana keadaannya, Mir?” Ia memilih topik pembicaraan ‘keadaan Cinta’. Topik teraman menurutnya.
“Sudah lebih baik, Pak.”
“Oh..” Edgar mengangguk-angguk mengerti. Ia terdiam karena tak tahu lagi harus membahas apa.
Sampai pada akhirnya Mira menanyakan keadaanya. “Bapak sakit apa?” Hal yang tidak pernah Edgar duga, karena akhir pertemuannya dengan Mira kemarin cukup buruk.
“Tidak sakit apa-apa. Hanya kelelahan.”
“Kelelahan kok sampai dirawat inap? Saya meskipun lulusan SMA dan kurang begitu paham soal penyakit medis. Tapi menurut saya jawaban Bapak barusan kurang masuk akal,” sanggah Mira dengan berani. Kekhawatiran dalam diri Mira turut berperan di sini. Walau tanpa disadarinya.
“Iya-iya, kamu cerewet sekali. Saya demam, muntah-muntah, dan pusing. Kenapa? Kamu pasti senang sekali melihat saya sakit begini.”
Mira geleng-geleng kepala dengan prasangka buruk Edgar. “Astaghfirullah, Pak. Saya turut prihatin dengan keadaan Bapak, bukannya senang.”
Diam-diam, perasaan bahagia menyusup ke dalam diri Edgar. Tetapi belum diketahui alasannya apa. Yang jelas bukan cinta.
“Jadi, kamu sedih? Khawatir?”
“Y–ya enggaklah, Pak! Lagian, Bapak juga udah ada tuh, yang khawatirin.”
Edgar menaikkan sebelah alisnya. Tidak mengerti dengan maksud perkataan terakhir Mira barusan. “Siapa?”
Mira menggerakkan kepalanya, menunjuk seseorang yang baru saja pergi. “Itu tadi. Apa dia calon istri Bapak yang kabur? Dia sudah kembali? Syukurlah, Pak. Saya ikut senang. Jadi Bapak tidak akan lagi mengganggu saya dengan penawaran Bapak yang di luar nalar itu.”
Sejujurnya, perkataan Mira berbanding terbalik dengan yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Entah mengapa? Mira sedikit sedih. Tapi ia sadar, ia tidak boleh mempunyai perasaan ini. Memangnya Edgar siapa? Ia hanya pria asing yang sempat kukuh menawarinya sebuah tawaran gila.
Edgar kecewa saat Mira mengungkapkan ‘terganggu’ karenanya. “Kamu sangat terganggu, ya?”
“Iyalah, Pak!” sentak Mira.
Tak tahan lagi. Edgar pun mengatakan yang sebenarnya mengenai Yuva. “Dia bukan calon istri saya yang kabur, Mira.”
“Ohh..b–bukan.” Mira lega. Sedikit senang. Tapi kemudian ia tersadar. Membuatnya kembali menyerocos. “Ah, berarti dia calon istri pengganti Bapak? Syukurlah. Apa saya bilang, pasti ada kok yang tergiur dengan tawaran Bapak. Apalagi dengan iming-iming sejumlah uang. Semoga acara pernikahan Bapak nanti berjalan dengan lancar. Aamiin.” Entah mengapa? Mira semangat sekali mengorek info mengenai wanita cantik yang baru saja pergi. Sampai-sampai berbagai anggapan ia keluarkan. Tidak peduli dengan ekspresi Edgar yang sudah semakin masam.
“Hari ini kamu banyak bicara, ya.”
Mira sadar bahwa Edgar tengah marah. Tatapan tajam Edgar menjelaskan segalanya. Membuat bibir Mira pasrah mengucapkan, “M–maaf, Pak..” Diiringi dengan kegugupan.
“Ada waktu?”
“Hah?” Mira terkejut dengan pertanyaan Edgar barusan.
“Temani saya ke taman rumah sakit, saya ingin berjalan-jalan. Bosan di dalam ruang rawat inap. Kepala saya masih pusing, tubuh saya pun juga masih lemas. Tapi jika kamu terburu-buru mau lanjut berjualan. Silahkan. Saya tidak bisa menahan kamu. Semoga laris manis jualan yogurtmu hari ini.” Seperti Mira yang sebelumnya mendo’akan kelancaran acara pernikahannya–yang entah jadi atau tidak–Edgar pun juga mendo’akan Mira supaya lancar berjualan yogurt keliling.
Tanggapan Mira di luar dugaan Edgar. Gadis itu malah meniru nada bicara Edgar sebelumnya. “Hari ini Bapak juga banyak bicara, ya. Yuk, saya temani berjalan-jalannya!”
Senyum lebar Edgar tidak dapat tertahankan lagi. “Terima kasih, Mira.” Pria itu seolah lupa segalanya. Termasuk Mira yang harus ditakhlukkannya agar menyelamatkan harga dirinya.
Sesaat, Mira terlena dengan senyum lebar Edgar. Ini kali pertama Mira melihatnya. Tampan sekali. Andai pria itu setiap hari tersenyum selebar ini.
Ah, tidak mungkin. Mentari bisa-bisa insecure karena kalah hangat! Hehehe..
‘Astaga! Aku mikirin apa, sih!? Enggak jelas!’ batin Mira saat kembali memeluk kesadarannya.
Kini keduanya berjalan beriringan menuju taman rumah sakit. Sepanjang perjalanan itu, Mira menyesuaikan langkah kakinya dengan langkah pelan Edgar. Ia benar-benar percaya sepenuhnya bahwa Edgar sedang sakit.
‘Kasihan bos super baiknya Mas Andika ini.’
“Anggap saja ini balas budi saya atas kebaikan Bapak yang kemarin sudah menemani Aza belajar,” jelas Mira mengusir keheningan diantara mereka berdua.
Teringat akan gadis kecil penuh semangat itu, Edgar bertanya keberadaannya. “Aza mana, Mira?”
“Ya masih sekolah dong, Pak. Bapak gimana, sih?”
“Memangnya ini jam berapa? Maaf, saya tidak tahu.”
Mira mengembuskan napasnya. “Jam setengah sepuluh pagi, Pak.” Memang, saat ini Edgar tidak mengenakan jam tangan mahalnya. Makanya ia tidak tahu waktu.
“Masih pagi ternyata. Oh ya, kamu kemari hanya untuk menjenguk Cinta, Mira?”
“Iya. Sekaligus mengantar pesanan yogurt Mbak Erna.”
“Ohh..”
“Plus tidak sengaja ketemu Bapak dan Mbak yang tadi. Terus Mbaknya kabur. Akhirnya saya-lah yang menemani Bapak berjalan-jalan.” Mira membeberkan kronologi pertemuan mereka kali ini. Masih dengan sedikit kesal. Entah karena ia belum tahu betul siapa sosok wanita tadi atau karena kesal bertemu Edgar lagi? Masih menjadi misteri..
Edgar justru mengartikan lain. “Kamu tidak ikhlas? Ya sudah sana. Kamu lanjut berjualan saja,” usir pelan Edgar.
Mereka pun tiba di taman rumah sakit. Edgar langsung mendudukkan dirinya di kursi taman. Lelah sekali padahal baru berjalan sebentar. Efek tubuhnya yang tidak fit. Segala pergerakannya terbatas.
Mira sendiri kebingungan. Mengira Edgar marah. Gadis itu lantas melanjutkan perbincangan sebelumnya. “Ikhlas, Pak. Cuman kalau dekat-dekat sama Bapak, bawaannya saya emosi terus.”
“Itu berarti masalahnya ada pada hatimu sendiri, Mira. Kamu yang punya penyakit hati. Bukan saya.”
“Penyakit hati? Hati saya tidak penyakitan, kok. Sehat walafiat!” kukuh Mira. Membuat Edgar menahan tawanya.
Mira lucu sekali. Apakah Mira sepolos ini? Edgar rasa bukan polos. Tapi lebih ke..bodoh.
“Yakin? Yang saya maksud bukan penyakit medis, Mira. Bukannya kita ini sebenarnya senasib, ya?”
“Maksud Bapak apa?”
“Kamu ‘kan baru saja ditinggal menikah oleh mantanmu? Mantan terindahmu, mungkin.” Edgar sengaja menekan dua kata pada kata ‘mantan terindah’ sambil mengamati perubahan ekspresi Mira yang kini memerah karena emosinya tersulut.
“Sejak kapan Bapak senganggur ini? Sampai repot-repot mengurusi urusan saya!”
“Sejak saat ini dan seterusnya,” jawab Edgar masih tetap kalem. Ia bahkan membahas kembali topik yang paling tidak disukai Mira. “Bagaimana tawaran saya? Masih berlaku hingga sekarang, loh. Kamu sudah berubah pikiran belum?”
“Jawaban saya tetap sama, Pak. Maaf saya tidak bisa.”
Edgar dengan santainya mengedikkan bahu. “Baiklah. Saya coba lagi besok.”
“Saya heran sama Bapak. Kenapa harus saya?”
“Karena itu kamu, Mira.”
Cepat, tegas, dan sangat yakin. Begitulah cara Edgar menjawab pertanyaan Mira barusan. Namun jawaban itu tak lantas membuat Mira puas. Mira masih lanjut bertanya, “Iya, kenapa Pak? Beri saya alasan yang paling masuk akal!”
“Kamu benar-benar ingin tahu?”
“Sangat-ingin-tahu.”
Bukankah keantusiasan Mira barusan merupakan suatu kemajuan? Artinya, Mira sebenarnya memikirkan tawaran Edgar yang katanya tawaran gila.
Edgar tersenyum miring. Puas melihat keantusiasan Mira yang bertanya perihal ‘alasan’. Edgar telah menyiapkan jawaban dari pertanyaan itu, karena cepat atau lambat Mira pasti menanyakannya. Edgar telah memprediksi sebelumnya.
Bagi Edgar, berhubungan dengan Mira seperti berhubungan dengan bisnis-bisnisnya selama ini. Edgar merasa harus selangkah di depan Mira. Sehingga kemenangan pasti ada di tangannya.
Licik? Inilah sosoknya yang ternyata masih berambisi menyatukan harga dirinya yang dihancurkan oleh Zola. Atau..hanya setiap berhadapan dengan Mira, ambisi itu selalu muncul?
***