4. Angan yang Patah Seketika

1640 Words
Sagita memandang tidak percaya ke arah Noia. "Aksa menitipkan bukti cintanya yang akan terus hidup bersama Yaya, Ma," ujar Noia seraya menyentuh perutnya yang masih datar. "Bayinya Aksa akan menemani Yaya dan Yaya enggak akan pernah kesepian lagi." "Yaya … ya, Tuhan …." Tangis yang coba Sagita tahan nyatanya malah pecah. Terang saja reaksi Sagita membuat Noia kebingungan. Alih-alih senang dengan kabar kehamilannya, Sagita malah meratap sedih. Noia mengajak Sagita duduk, lalu memeluk wanita itu sambil berusaha menenangkannya. "Ma, Mama kenapa nangis sampai begini?" tanya Noia tidak habis pikir. Sagita tidak bisa menjawab, hanya tangisnya saja yang terus terdengar. "Apa Mama enggak senang dengar Yaya hamil?" tanya Noia lagi. "Ya, Tuhan, Yaya …." Sagita merintih pilu. Dia meraih tangan Noia dan mendekatkannya ke d**a seraya terus terisak-isak. "Mama harus gimana?" "Ma, kenapa begini?" "Maafin Mama, Yaya," erang Sagita putus asa. Tingkah Sagita makin menimbulkan tanya bagi Noia. "Kenapa Mama minta maaf?" Sagita menggeleng nelangsa. "Mama benar-benar merasa bersalah sama kamu." "Kenapa harus merasa bersalah?" "Banyak hal yang membuat Mama merasa bersalah, Ya." Perlahan Sagita menyeka wajahnya yang penuh air mata, lalu menatap Noia. "Kepergian Aksa yang terlalu mendadak, susahnya kamu setelah Aksa enggak ada, dan sekarang kamu hamil." Diingatkan akan semua kemalangan yang menimpanya dalam dua bulan terakhir, Noia hanya mampu tersenyum miris. "Kenapa jalan hidup kamu harus begini, Ya?" Sagita memandangi Noia penuh iba berbalut rasa bersalah. "Seharusnya Mama larang waktu kalian memutuskan ingin menikah muda." "Mama kenapa bilang begitu?" tanya Noia sedih. "Kalau kalian belum menikah, kamu pasti enggak akan menjalani hidup yang menyedihkan begini," ujar Sagita sesak. Baru saja lima bulan yang lalu Aksa dan Noia menikah setelah menjalin hubungan selama enam tahun sejak keduanya masih SMA, tetapi hari ini semua keindahan itu tidak lagi bersisa. “Harusnya Mama tolak ide kalian untuk menikah begitu lulus kuliah. Harusnya Mama minta kalian tunda beberapa tahun lagi.” "Mama jangan bilang begitu.” Noia menggeleng sedih. “Menikah itu keputusan Yaya dan Aksa, sama sekali bukan salahnya Mama." "Padahal Mama sudah rela melepas kamu untuk memulai hidup yang baru.” Bagi Sagita, pernikahan yang baru seumur jagung itu biarlah berlalu bagai mimpi indah yang sebentar menguap dalam cerita hidup Noia. Tidak perlu berlarut-larut menyesalinya dan membuat Noia terpuruk. “Mama bahkan berdoa supaya kamu dipertemukan dengan lelaki baik yang bisa membahagiakan kamu, tapi tahu-tahu ada kabar seperti ini." Bukan Sagita tidak bahagia mendengar dirinya akan memiliki cucu, hanya saja rasanya tidak adil bagi Noia. Andai janin itu tidak hadir, Noia bisa melanjutkan hidupnya tanpa terikat dengan masa lalu. "Gimana kamu mau mulai kehidupan yang baru kalau ada anak Aksa di perut kamu?" "Ma, Yaya enggak kepikir buat cari lelaki lain," ucap Noia teguh. "Buat sekarang mungkin belum, tapi kelak kamu akan butuh pendamping, Ya.” Sagita tidak bisa membayangkan seorang perempuan muda yang usianya baru 23 tahun menikah dan kehilangan suaminya di tahun yang sama, bahkan hanya berselang tiga bulan dari hari pernikahan mereka, lalu memutuskan hidup sendiri sampai akhir. “Kamu enggak mungkin hidup sendiri terus." "Buat Yaya, kenangan Aksa dan kehadiran bayi ini udah cukup. Ditambah ada Mama yang temani Yaya. Yaya enggak butuh yang lain lagi, Ma." Ketulusan Noia tentu membuat Sagita terharu, tetapi dia tidak bisa seegois itu. "Yaya, kalau suatu saat kamu ingin melanjutkan hidup dengan orang lain, Mama enggak keberatan mengurus cucu Mama. Biar anak kamu nanti tinggal sama Mama, kamu bisa melanjutkan hidup dengan tenang." Noia langsung menggeleng kuat. "Ma, rasanya Yaya sulit jatuh cinta lagi. Tapi andai sampai kejadian, enggak mungkin Yaya jatuh cinta sama laki-laki yang enggak bisa terima anak Yaya.” Sagita bisa melihat tekad yang begitu kuat di mata Noia dan dia tahu perempuan ini tidak main-main. Sagita sudah menyaksikan sendiri bagaimana gigihnya Noia sejak remaja. Noia menggenggam kuat tangan Sagita seolah-olah tengah menekankan janjinya. “Andai suatu saat Yaya memang akan menemukan pengganti Aksa, laki-laki itu harus lebih dulu mencintai anak ini dibanding Yaya." *** Malam itu, Noia berbaring dengan tubuh yang terasa begitu penat. Seperti inilah perasaan Noia setiap kali memandangi kamarnya yang kosong. Tidak ada lagi sosok Aksa yang selalu menjadi tempatnya berbagi tentang segala dinamika keseharian mereka. Dari luar, Noia mungkin terlihat tegar. Orang mengira Noia baik-baik saja meski ditinggal Aksa, tetapi hanya kamar ini yang menjadi saksi betapa hancurnya Noia. Hanya di tempat ini Noia tidak perlu berpura-pura tersenyum dan bebas menumpahkan tangisnya. Namun, hari ini Noia tidak ingin menangis. Kehadiran benih dalam kandungannya membuat Noia mendapatkan kekuatan yang selama hampir dua bulan ini menghilang. “Rasanya masih enggak percaya,” gumam Noia seraya menyentuh perutnya. Aksa sudah meninggalkannya dua bulan yang lalu dan hari ini dia baru tahu jika ada benih yang suaminya titipkan. Benar-benar sesuatu yang tidak pernah Noia bayangkan. “Sa, terima kasih karena kamu enggak biarin aku sendirian.” Perlahan kantuk mulai menjemput dan tepat sebelum memejamkan mata Noia berbisik, "Baik-baik di dalam sana, Sayang. Terima kasih sudah bersedia menemani Mama, menjadi pengganti Papa kamu." Dalam lelapnya, Noia dibawa kembali pada masa indah yang baru saja terjadi lima bulan lalu. "Saya Aksa Jinantra, mengambil engkau Eunoia Maharani, menjadi istri saya, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya …." Aksa mengikrarkan janji sucinya di depan altar dengan pandangan yang hanya terfokus kepada Noia seorang. Begitu juga dengan Noia, tatapan Aksa seolah menguncinya. Hati Noia begitu penuh akan kebahagiaan. Pemuda gagah yang sudah Noia cintai sejak enam tahun lalu, kini akan segera menjadi suaminya. Aksa akan menjadi belahan jiwa, separuh napas, sandaran hidup, tempat berbagi keluh juga suka duka, dan teman melangkah bersama sampai akhir napas mereka kelak. Maka dengan penuh keyakinan Noia pun mengikrarkan janjinya. " … untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita. Inilah janji setiaku yang tulus." Ketika Noia dan Aksa selesai mengikrarkan janji suci mereka, pemuka agama yang memimpin upacara pernikahan hari ini berkata lantang, " … saya menyatakan bahwa saudara Aksa Jinantra dan saudari Eunoia Maharani resmi dan sah sebagai suami istri di hadapan Tuhan." Aksa maju selangkah, kemudian mengulurkan kedua tangannya untuk membuka cadar yang menutupi wajah Noia. Aksa tersenyum lembut, kemudian berbisik penuh cinta, “Hai, Istri!” Senyum Noia mengembang mendengar bisikan Aksa. "Yaya, kamu cantik banget hari ini.” “Aksa, you may kiss you bride,” ucap pemuka agama lagi. Sepasang pengantin baru itu tersenyum malu. Perlahan, Aksa membungkukkan tubuh, mendekatkan wajahnya ke arah Noia, kemudian mengecup lembut kening sang istri. "I love you, Ya." Di tengah kebahagiaan yang tengah meluap, perlahan tubuh Aksa terseret menjauh ke belakang. Lantai yang mereka pijak tiba-tiba terbelah, membuat keduanya terpisah oleh jurang dalam yang menganga. Sisi bangunan tempat Aksa berpijak perlahan terbakar dan runtuh, sementara bagian Noia baik-baik saja. Api di sekeliling Aksa kian membesar sampai akhirnya membakar habis tubuh pemuda itu. "AKSA!" jerit Noia penuh keputusasaan. Seketika itu juga Noia terbangun dengan napas tersengal-sengal. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat dingin dan air mata membanjiri pipinya. Perlahan Noia tersadar jika yang dilihatnya hanya mimpi. Baru saja Noia hendak mencoba kembali tidur, pintu kamarnya terbuka dan Sagita masuk tergopoh-gopoh. "Yaya, kamu kenapa?" "Cuma mimpi aja, Ma." "Mimpi buruk lagi?" tanya Sagita khawatir. Noia mengangguk lesu. "Mimpiin Aksa?" Kembali Noia mengangguk. Sejak Aksa pergi tanpa berpamitan, mimpi buruk itu kerap menghantui Noia. Polanya hampir selalu sama. Dimulai dengan momen bahagia mereka, lalu berujung petaka. Persis sama seperti yang Noia alami di kehidupan nyata. Pernikahan indah yang mereka angankan sejak masih di bangku kuliah nyatanya hanya bisa dinikmati selama tiga bulan, setelah itu semuanya kandas. Hancur berantakan dipermainkan takdir yang tidak kenal belas kasihan. Dua bulan yang lalu, dunia Noia mendadak gelap ketika melihat nama Aksa ada dalam daftar korban jatuhnya pesawat. Hari itu, rencananya Aksa akan berangkat ke Banjarmasin untuk mengikuti workshop demi mempertajam kemampuannya dalam mengelola WrapFit Kitchen. Namun, pesawat yang Aksa tumpangi jatuh ke perairan Kepulauan Seribu ketika baru beberapa menit saja lepas landas. Semua penumpang dinyatakan hilang, tetapi sampai hari ini masih ada jasad-jasad yang belum ditemukan, termasuk Aksa. "Yaya kangen Aksa, Ma," bisik Noia menahan tangis. "Sini, Sayang!" Sagita paham betapa dalam kehilangan yang Noia rasakan karena selama enam tahun ini mereka nyaris tidak terpisahkan. Bertemu saat SMA, menjalin kasih, menempuh pendidikan di universitas yang sama, meski berbeda jurusan, kemudian membangun usaha bersama, sebelum akhirnya mewujudkan mimpi untuk membangun keluarga di usia muda. Wajar jika Noia begitu kehilangan. "Kuat ya, Mama yakin kamu pasti bisa melewati hari-hari ini." "Maaf ya, Ma." "Kenapa minta maaf?" Noia memandang wajah Sagita dengan tatapan sendu. "Padahal ini juga pasti berat buat Mama, malah lebih berat, tapi Yaya malah cengeng begini." "Istri mana yang akan baik-baik aja saat ditinggal suaminya?" sahut Sagita sesak. Dirangkumnya wajah Noia penuh iba. "Apalagi pernikahan kalian masih indah-indahnya." Untuk pertama kalinya sejak kepergian Aksa, tangis Noia pecah. Entah mengapa, hari ini rasanya rindu yang dia simpan untuk Aksa begitu tidak tertahankan. Melihat Noia menangis begitu kencang, Sagita hanya bisa diam menemani, memeluk, dan berbagi duka bersama. Setelah tangis Noia reda, Sagita coba membujuk. "Sekarang kamu tidur lagi ya?" Cukup lama Sagita menemani hingga akhirnya Noia kembali terlelap. Dipandanginya wajah Noia yang tampak lelah. Kemudian, tatapan Sagita beralih ke bingkai foto di sisi tempat tidur. "Sa, bukan cuma Yaya yang kehilangan kamu. Mama juga, Nak," bisik Sagita nyaris tidak terdengar. Sagita mengambil foto Aksa yang tampak gagah ketika mengenakan toga. "Ibu mana yang bisa tetap baik-baik aja setelah ditinggal anaknya, Sa?" Baru setahun yang lalu dia menyaksikan Aksa diwisuda. Sagita bahkan masih bisa mengingat betapa bangganya dia kala itu. Putra yang dia besarkan seorang diri sejak masih berusia tiga tahun. Namun, kini dia hanya bisa memandangi foto Aksa saja. "Tapi Mama paling enggak tega lihat Yaya, Sa. Dia masih sangat mengharapkan kamu kembali." Kini, Sagita beralih memandangi foto pernikahan Aksa dan Noia. Wajah pasangan muda itu tampak begitu bahagia dan penuh mimpi. Tidak ada yang menyangka jika angan itu patah begitu cepat. "Sa, kalau boleh Mama minta, tolong kamu muncul secepatnya supaya Yaya enggak perlu menunggu-nunggu lagi dalam ketidakpastian."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD