5. Hadiah untuk Istri Orang

1682 Words
"Aa, Noia gimana kabarnya?" Uhuk! Dirga langsung tersedak mendengar pertanyaan ibunya saat mereka tengah sarapan bersama. “Pelan-pelan makannya, A.” Ayunda segera mengambilkan segelas air untuk putranya. “Makasih, Mbu,” ujar Dirga dengan suara tercekik karena tenggorokannya masih sakit akibat tersedak bihun buatan sang ibu. “Aa kenapa kayak kaget begitu ditanya soal Noia?” Dirga mengangguk jujur. “Sedikit sih.” “Kenapa harus kaget?” tanya Ayunda heran. “Agak aneh aja Ambu nanyain Noia.” “Aneh di bagian mananya coba, A?” balas Ayunda geli. “Ambu kan tau Aa enggak ada hubungan apa-apa sama Noia. Semua udah clear, ‘kan?” “Iya, Ambu tau.” Ayunda mengangguk tenang. “Tapi enggak ada salahnya bertanya, ‘kan?” Kali ini Dirga terpaksa mengangguk karena tidak bisa membantah ucapan ibunya. “Jadi, gimana?” “Gimana apanya, Mbu?” tanya Dirga bingung. “Noia sudah sehat belum?” “Aa enggak tau, Mbu,” jawab Dirga polos. Kening Ayunda langsung berkerut. “Loh, kok enggak tau?” “Aa enggak tanya-tanya, Mbu.” Ayunda berdecak tidak suka. “Enggak tanya juga setidaknya ketemu, ‘kan?” “Enggak ketemu juga.” Wajah Ayunda makin terlihat heran. “Katanya tiap hari Noia kirim makanan ke tempat Aa?” “Memang, Mbu, tapi enggak selalu ketemu. Malah jarang." "Kenapa jarang?" Dirga menggeleng geli. "Tugas kirim makanan itu bukan bagiannya Noia, tapi ada orang lain. Cuma kadang-kadang aja, mungkin pas kurang orang." Ayunda mengangguk-angguk perlahan. "Oh gitu, tapi kalau pas kirim makanan pasti ketemu?" "Enggak juga, Mbu." Kembali Dirga menggeleng. "Aa kan selalu gantian, kadang di Pajajaran, kadang di Riau." Sejauh ini, Dirga sudah berhasil membangun hotel kapsul miliknya di dua tempat. Untuk selanjutnya, Dirga berencana menambah area lagi. Mengingat SleepCabin adalah tempat menginap dengan kapasitas kecil dan minim pelayanan, pengelolaannya jauh lebih mudah dibanding hotel biasa. Bagi Dirga yang sudah belasan tahun bekerja di hotel, bahkan lama menduduki jabatan sebagai general manager, mengelola SleepCabin jelas tidak rumit. "Terus kalau pas kebetulan Noia lagi bantu pengiriman, belum tentu Aa ada di tempat,” lanjut Dirga lagi karena wajah ibunya tampak masih bingung. “Begitu ya ….” Akhirnya Ayunda mengangguk-angguk kecil. “Memangnya kenapa, Mbu?” “Enggak apa-apa, A.” Cepat-cepat Ayunda menggeleng. “Mbu cuma keinget aja.” Di balik kata ‘tidak apa-apa’ yang ibunya ucap, Dirga menangkap sesuatu yang lain. Menilik wajah ibunya pun, Dirga bisa melihat ekspresi kecewa di sana. "Ambu kenapa mukanya kayak sedih gitu?" Tanpa sadar Ayunda mengembuskan napas perlahan. "Mbu cuma merasa sayang aja, A." "Sayang gimana maksudnya?" "Sayang karena ternyata Noia itu bukan pacarnya Aa." "Dari awal Aa udah bilang loh, Mbu," ujar Dirga membela diri. Dia tidak ingin dianggap memberi harap, lantas mengecewakan begitu saja. "Iya, A.” Ayunda mengangguk lesu. “Mungkin Mbu aja yang terlalu berharap kalau Aa cepat-cepat dapat pengganti. Apalagi Noia itu juga baik sekali kelihatannya. Baru seminggu aja Mbu rasanya sudah jatuh sayang." "Ambu jangan ngaco, ah!” tegur Dirga kaget. “Noia itu udah punya suami loh." "Iya, A, Mbu juga enggak mungkin suruh Aa rebut istri orang." "Udah gitu Aa juga kenal sama suaminya Noia." "Oh, Aa kenal?" sahut Ayunda sedikit terkejut. "Kenal, Mbu.” Dirga mengangguk yakin, lalu memberikan penjelasan agar ibunya tidak lagi menebak-nebak. “Mereka itu usaha bareng. Rintis sama-sama dari nol. Waktu nawarin kerja sama juga datangnya bareng." "Oh gitu?" "Mereka berjuang keras banget loh, Mbu. Aa salut lihatnya,” ujar Dirga kagum. Sampai hari ini dia tidak akan melupakan bagaimana gigihnya Noia dan Aksa ketika datang untuk menawarkan kerja sama. Keduanya berkali-kali datang untuk meyakinkan Dirga sampai akhirnya kerja sama itu terjalin. “Makanya Aa berani kasih kesempatan dan ternyata enggak mengecewakan." "Suaminya Noia masih muda juga?" Dirga berpikir-pikir sejenak, lalu mengangguk. "Setau Aa mereka seumur. Teman sekolah kalau enggak salah." "Wah, Mbu kira suaminya jauh lebih tua, makanya menikah muda." "Dua-duanya punya mimpi buat nikah muda, Mbu." "Semoga saja rumah tangga mereka langgeng karena usia muda begitu suka banyak aja kendalanya," ucap Ayunda sungguh-sungguh. "Muda atau tua sama aja, Mbu, yang penting kesiapan hati," sahut Dirga bijak. Ucapan Dirga langsung disambut decakan gemas oleh Ayunda. "Itu Aa padahal tau teorinya. Kenapa dong enggak dipraktekin?" Dirga langsung paham maksud ibunya, tetapi berlagak pilon. "Maksudnya gimana, Mbu?" "Cari atuh pasangannya biar bisa nikah," ujar Ayunda geregetan. Melihat ibunya begitu frontal, Dirga jadi meringis. "Ambu pengin banget Aa nikah ya?" "Ya iya jelas, Aa!” sahut Ayunda gemas. “Ambu pengin lihat Aa move on." "Aduh, Mbu, bahasanya!" Antara tertusuk dan geli rasa hati Dirga gara-gara ucapan ibunya. "Aa jangan mengalihkan pembicaraan," desis Ayunda gemas. Dirga tidak lagi menyahuti, tetapi memilih menunduk saja. "A, sudah tiga tahun lebih loh.” Perlahan Ayunda menyentuh lengan putranya. “Kapan Aa bisa bangkit?" Dirga tersenyum lembut seraya menggeleng. "Aa enggak terpuruk, Mbu." "Tetap aja enggak mau buka hati," ujar Ayunda sedih. Dirga memang tidak menunjukkan gejala keterpurukan setelah rencana pernikahannya tiga tahun lalu berujung kandas. Pria itu tetap bersikap tenang seperti biasanya, bahkan masih bisa tersenyum ramah kepada semua orang. Hanya hatinya saja yang terluka dan butuh waktu lama untuk bisa berdamai. Bukan Dirga membenci mantan tunangannya, dia bahkan mendoakan segala yang terbaik untuk kebahagiaan wanita itu. Hanya saja, bukankah manusiawi jika sedih itu ada? Bukankah wajar jika Dirga butuh waktu untuk berdamai dengan hatinya sendiri? Lantas, untuk persoalan membuka hati lagi bagi cinta yang baru, sejujurnya Dirga takut. Sudah dua kali dia nyaris menikah, tetapi berujung gagal. Tidak mudah bagi Dirga untuk kembali mengangankan kehidupan berumah tangga yang rasanya sulit untuk singgah pada jalannya. "Aa cuma enggak mau buru-buru. Pengin mengalir aja," jawab Dirga apa adanya. "Mengalir mengalir enggak taunya Aa keburu tua," gerutu Ayunda senewen. Usia putranya terus merambat. Lima tahun lagi akan menginjak kepala empat, tetapi kekasih saja belum digenggam. Melihat kekesalan ibunya, Dirga malah tersenyum geli. "Apa salahnya kalau udah tua, Mbu?" Ayunda mendelik sebal gara-gara pertanyaan Dirga yang terdengar cuek. "Nanti enggak ada yang mau lagi." "Ya, enggak masalah juga buat Aa." "Ih, ya jelas jadi masalah, A!" seru Ayunda keki. "Masalahnya apa, Mbu?" "Nanti Aa enggak nikah." "Ambu, sendiri juga buat Aa enggak masalah.” Dirga mengambil tangan Ayunda, lalu menggenggamnya erat-erat. “Bahagia itu bukan ditentukan dari menikah atau enggaknya seseorang." "Kalau bisa menikah, kenapa harus sendiri?" balas Ayunda tidak mau kalah. "Kalau sendiri bisa bahagia, kenapa harus menikah?” bantah Dirga tenang. “Menikah enggak jadi jaminan pasti bahagia kok, Mbu." Meski tidak suka, mau tidak mau Ayunda harus mengakui jika ucapan Dirga ada benarnya. Tidak selamanya pernikahan itu berjalan mulus, bahkan mungkin lebih banyak badai ketimbang masa tenangnya. Namun, tetap saja sebuah pernikahan layak untuk diperjuangkan. Ayunda menatap Dirga dengan pasrah, lalu bergumam, "Setidaknya kita punya tempat berbagi, A.” "Mbu, buat Aa, kalau memang Tuhan pertemukan lagi, Aa enggak akan nolak. Tapi kalau memang enggak ada, Aa enggak akan pusing cari-cari," ujar Dirga mantap. "Masalahnya Aa mau ketemu di mana?” Lagi-lagi Ayunda mengembuskan napas. “Tiap hari cuma kantor rumah kantor rumah." "Kalau jalannya Tuhan, pasti ada aja. Aa percaya itu, Mbu." Lelah berdebat, akhirnya Ayunda pasrah. "Terserah Aa aja deh." *** "Hai, hai, Sahabat WrapFit pasti udah pada enggak sabar ikut keliling dapur siang ini, 'kan?" Siang itu, Putri tengah bercuap-cuap ceria di depan ponsel, menyapa para pengikut akun WrapFit Kitchen di sosial media mereka. Rutinitas ini memang biasa dilakukan demi menjangkau lebih banyak konsumen dan menjaga pelanggan yang sudah ada. "Penasaran enggak sih Kakak Cantik hari ini siapin menu apa buat kita semua?" Baru saja Putri hendak melenggok meninggalkan meja kerjanya menuju dapur untuk mendatangi Noia, sebuah sapaan mencegahnya berdiri. "Selamat siang .…" "Guys, sebentar ya! Ada tamu nih. Aku enggak bohong, 'kan? Di sini tuh enggak pernah sepi, ada aja tamu yang datang." Sebelum menanggapi sapaan tamu yang datang, Putri terlebih dahulu kembali berbicara dengan para pengikutnya. Barulah dia mengangkat wajah dan saat itu juga tersentak kaget. "My oh my, oh no wow! Sempurna banget ciptaan Tuhan yang satu ini .…" Di depan Putri, berdiri Dirga dengan tatapan bingung berbalut geli melihat keceriaan gadis itu. Sebenarnya, ini bukan kali pertama mereka bertemu. Mungkin Putri yang tidak sadar karena biasanya selalu sibuk dengan urusannya sendiri. "Permisi …," sapa Dirga. "Iya silakan katakan keperluannya Mas Ganteng," balas Putri dengan wajah terpesona yang demikian kentara. "Saya Dirga dari SleepCabin. Saya mau bertemu Noia." "Ah, dari SleepCabin." Putri mengangguk sigap. "Mbak Noia lagi di dapur, Mas Dirga. Sebentar saya panggilkan." "Boleh saya ikut ke dapur aja?" pinta Dirga ragu-ragu. Segera saja Putri menggoyangkan jari telunjuknya. "Jangan, Mas, nanti bau masakannya nempel semua di badan Mas Dirga. Kurang cocok." "Tapi …." "Mas Dirga tunggu di ruang tamu aja yuk!" Putri langsung menghentikan ucapan Dirga dan melenggang ke dapur. Tidak lupa dia mengarahkan kamera ke sosok Dirga dan berjalan mundur untuk memanggil Noia. Gadis itu masih sempat-sempatnya menggosipi Dirga kepada para pengikut WrapFit Kitchen. "Guys, gila gila! Sumpah ganteng banget tamunya. Masih pada ragu buat katering di sini? Amati baik-baik masnya yang tadi ya, sebening itu loh hasil konsumsi makanan di sini." Setelah menunggu sekitar sepuluh menit, akhirnya Dirga bisa bertemu dengan Noia. "Mas, maaf agak lama,” ujar Noia tidak enak hati saat menghampiri Dirga di ruang tunggu. “Tadi saya tanggung lagi selesaikan masakan dulu." "Enggak apa-apa, Noia. Saya yang maaf datang tiba-tiba tanpa mengabari dulu." "Kalau boleh tau, ada apa, Mas?" Dirga tersenyum sopan seraya menyerahkan sebuah paper bag ke tangan Noia. "Saya datang hanya untuk membawakan ini buat kamu." Belum sempat Noia mengucap terima kasih, perhatiannya keburu teralih. "Mas, ada Ambu." "Hm?" sahut Dirga bingung. Noia menunjuk ke arah seorang wanita yang baru saja turun dari mobil. "Itu Ambu datang." Dirga pun menoleh dan tampak lebih terkejut dari Noia. Segera keduanya menyambut Ayunda. Melihat putranya berjalan di sebelah Noia, spontan Ayunda bertanya, "Aa kenapa di sini?" "Ngg, itu …," sahut Dirga salah tingkah. Kening Ayunda berkerut makin bingung melihat kegugupan putranya, apalagi ketika menemukan paper bag di tangan Dirga yang belum sempat Noia ambil. Celetukan itu langsung mengalir dari mulut Ayunda. "Aa katanya enggak mau ganggu istri orang, tapi kenapa malah bawa-bawa hadiah segala?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD