3. Menghamili Wanita Bersuami

1394 Words
Serangan pertanyaan dari keluarganya membuat Dirga kewalahan. Belum lagi tatapan heran dari orang-orang yang kebetulan juga sedang berada di IGD. Demi menjaga harkat, martabat, dan nama baiknya, Dirga segera menggiring mereka semua meninggalkan IGD dan mencari sudut yang sepi untuk berbicara serius. "Ambu, Abah, Uwa, tolong dengarkan penjelasan saya dulu ya," ujar Dirga berusaha tenang. "Saya enggak menghamili Noia." "Aduh, Aa! Sudah kepergok begini masih mengelak juga.” Meilan menggeleng geregetan. “Jelas-jelas tadi dokternya bilang Noia hamil." Dirga menarik napas panjang dan mengembuskannya kuat-kuat. "Noia memang hamil, tapi bukan sama saya." "Wah!” Linda terbelalak tidak percaya. “Noia bohongin kamu?" "Jadi, Noia pacaran sama kamu, tapi diam-diam hamil sama laki-laki lain, begitu?" cecar Meilan tidak sabar. "Bukan, bukan!” Dirga menggeleng kuat-kuat, memejamkan mata seraya menggertakkan gigi. “Enggak begitu ceritanya." "Terus gimana?” tanya Ayunda tidak sabar. “Cepat jelasin dong, Aa!" Dirga kembali mengembuskan napas. "Noia itu memang sudah punya suami." "Astaga, Aa!” desah Ayunda lemas. Tangan Meilan melayang cepat menyabet lengan Dirga. “Kenapa Aa pacarin perempuan bersuami?" Sontak Dirga meringis merasakan perihnya sabetan tangan Meilan di lengannya. "Ya, Tuhan …. Enggak begitu situasinya!" desis Dirga putus asa. Bagaimana caranya membuat mereka mengerti? "Dari awal kan saya bilang kalau kami enggak pacaran. Uwa sama Ambu yang ambil kesimpulan sendiri." Ucapan Dirga kali ini rupa-rupanya berhasil didengar dan membuat semua terdiam. Kesempatan baik itu segera Dirga pergunakan untuk melanjutkan penjelasan, "Saya sama Noia itu kenal karena urusan kerja. Noia punya usaha katering dan saya pakai jasanya untuk menyediakan sarapan buat tamu SleepCabin. Cuma itu dan enggak lebih. Sama suaminya juga saya kenal." "Jadi, begitu ceritanya …," desah Ayunda lega. "Ternyata kayak gitu …." Meilan manggut-manggut perlahan. Linda berdecak heran. "Kenapa Aa baru jelasin sekarang?" Dirga mendelik tidak percaya mendengar reaksi Linda. Lagi-lagi embusan napasnya terdengar cukup keras. "Saya udah berusaha jelasin dari awal loh, tapi enggak ada yang percaya." Seketika Ayunda tersadar jika sejak awal Dirga memang tidak pernah mengiakan mengenai hubungannya dengan Noia. Perlahan dia mendekat, lalu memeluk lengan putranya. "Maaf ya, kita semua terlalu senang lihat Aa dekat lagi sama perempuan." Meski masih jengkel karena dituduh menghamili anak orang dengan sembarangan, tetapi Dirga lega. Kesalahpahaman itu akhirnya bisa teratasi. "Ya udah, saya urus administrasi untuk Noia dulu. Ambu, Abah, sama Uwa lebih baik pulang aja." Selesai dengan keluarganya, Dirga segera kembali ke IGD untuk membantu mengurus kepulangan Noia. Segala administrasi yang diperlukan, Dirga juga yang menyelesaikan. Tidak hanya sampai di sana, Dirga pun berinisiatif mengantar Noia pulang. Sekali lagi, bukan karena ada hubungan khusus atau perasaan istimewa. Semua ini semata-mata bentuk tanggung jawab Dirga karena meminta Noia bekerja di rumahnya. Lagi pula, Dirga tidak akan tega membiarkan seorang perempuan yang sedang sakit, pulang sendirian malam-malam. Jika itu sampai terjadi, dia pasti akan merasa bersalah kepada kedua adik perempuannya. "Mas, terima kasih banyak,” ujar Noia begitu mobil Dirga berhenti di depan rumahnya. “Saya benar-benar minta maaf udah bikin repot, bikin heboh, dan bikin Mas Dirga dituduh yang enggak-enggak sama keluarga." Dirga menggeleng seraya tersenyum sabar. "Saya yang minta maaf, Noia. Saya enggak tahu kamu sedang hamil dan membiarkan kamu kerja capek-capek sampai malam selama seminggu ini." "Saya juga baru tau, Mas." Sejujurnya, Noia begitu terkejut ketika diberi tahu jika dirinya tengah mengandung. "Pokoknya, terima kasih banyak untuk bantuan kamu selama satu minggu ini." "Saya juga banyak terima kasih sama Mas Dirga." "Apanya yang terima kasih?" balas Dirga heran. “Saya enggak ada bantu apa-apa, malah bikin kamu susah.” "Selama kerja di rumah Mas Dirga, saya terhibur dengan kehebohan Uwa Meilan, Uwa Linda, dan Ambu," sahut Noia tanpa dibuat-buat. Namun, tiba-tiba dia teringat sesuatu. "Eh, apa saya masih boleh panggil begitu setelah semuanya tahu kalau kita enggak ada hubungan apa-apa?" Dirga tertawa geli. "Enggak masalah, Noia. Uwa sama Ambu memang ramah dan cepat akrab sama orang." "Kalau gitu, saya turun ya, Mas. Sekali lagi terima kasih." "Cepat sehat lagi ya, Noia,” ujar Dirga sebelum Noia melangkah turun. “Semoga kehamilan kamu juga lancar." Tiba di dalam, Noia langsung disambut dengan pertanyaan dari Sagita. "Yaya, kenapa pulangnya malam sekali?" Noia sedikit tersentak karena tiba-tiba saja lampu menyala saat dia baru menutup pintu. "Mama belum tidur?" "Mama tunggu kamu atau setidaknya kabar dari kamu.” Wajah Sagita jelas menampakkan kekhawatiran yang sangat. "Kabar?" gumam Noia bingung. "Mama pikir kamu tidur di ruko." Senyum Noia langsung mengembang. "Mana mungkin Yaya biarin Mama sendirian?" "Jadi, kamu dari mana?" tanya Sagita penasaran. Noia tampak ragu sesaat sebelum akhirnya memutuskan untuk jujur. "Yaya habis dari rumah sakit, Ma." Kening Sagita langsung berkerut. "Siapa yang sakit?" Kembali Noia tampak ragu-ragu. “Ya …?” desak Sagita heran. "Tadi Yaya pingsan, Ma." "Aduh, Yaya!” Tangan Sagita segera terangkat memegangi bahu Noia. “Kenapa enggak kabarin Mama?" Noia meringis serba salah. "Kan Yaya pingsan, Ma." Sagita menggeleng gemas. "Terus gimana keadaan kamu? Apa kata dokter?" "Dokter bilang Yaya cuma kecapekan aja." Sagita memicingkan mata, sedikit ragu dengan jawaban Noia. "Benar dokter bilang begitu?" Noia mengangguk cepat seraya merentangkan kedua tangannya. "Buktinya Yaya langsung boleh pulang, 'kan?" Sagita tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia hanya terdiam memandangi Noia. "Ma, kenapa mukanya kesal begitu?" tanya Noia dengan nada membujuk. "Mama bukan kesal, Ya,” sahut Sagita lelah. “Mama itu khawatir sama kamu. Dari bulan lalu Mama sudah khawatir. Tiap hari kamu berangkat subuh, pulang malam, bolak balik rumah sama ruko, Mama takut kamu sakit, Ya." "Yaya kuat kok, Ma." Sagita berdecak jengkel. "Kuat, tapi pingsan." Noia meraih tangan Sagita, lalu menggoyang-goyangkannya. "Mama jangan cemberut begitu." Sagita kembali memandangi Noia sedemikian rupa, lalu mendesah. "Yaya …." "Ya, Ma?" Seketika itu juga perasaan Noia jadi tidak enak. Ada sesuatu yang salah dalam tatapan Sagita. "Kamu enggak mau tinggal di ruko aja?" ujar Sagita penuh harap. Noia berlagak cemberut, lalu bertanya sedih, "Mama bosen liat muka Yaya, ya?" "Yaya!” sentak Sagita senewen. “Kamu tahu kan bukan itu maksud Mama." "Yaya ngerti, Ma.” Senyum Noia kembali terukir manis di wajahnya. “Mama cuma khawatir sama Yaya." "Coba pertimbangin, Ya," pinta Sagita sungguh-sungguh. Noia menggeleng tegas. "Keputusan Yaya tetap sama, Ma." "Kenapa kamu keras kepala sekali sih?" desah Sagita putus asa. "Kalau Yaya tinggal di ruko, siapa yang temani Mama?” tanya Noia sedih. “Yang ada Mama bakal kesepian." "Ya, kamu tahu kan kalau kamu enggak punya kewajiban buat mengurus Mama?" "Kata siapa?" balas Noia penuh nada tidak setuju. "Aksa sudah pergi, Ya.” Sebenarnya, berat bagi Sagita untuk mengucapkan hal itu. Sebisa mungkin dia tidak ingin membahasnya, tetapi keadaan saat ini memaksa Sagita untuk mengungkit kembali luka mereka. “Kamu enggak perlu terbeban mengurusi Mama." Noia meraih kedua belah tangan Sagita, lalu menggenggamnya erat. "Apa kalau Aksa pergi, artinya kita enggak ada hubungan lagi, Ma?" "Yaya, jangan putar-putar omongan Mama dong!" keluh Sagita lelah. "Mama itu cuma mau kamu menjalani hidup kamu dengan tenang. Enggak perlu lagi pusingin soal Mama, itu bukan kewajiban kamu." Noia hanya tersenyum manis menanggapi ucapan Sagita. "Yaya, apa kamu sebenarnya masih menunggu Aksa pulang?" tanya Sagita hati-hati. Tanpa sadar Noia mengembuskan napas dan tatapanya menerawang jauh saat berkata, "Sejujurnya, Yaya memang masih berharap, Ma." Teriris rasanya hati Sagita mendengar kejujuran Noia. "Ya, kamu harus terima kenyataan." Namun, Noia tidak ingin berlarut-larut dalam suasana sendu. Dia segera menggeleng, menampilkan senyum terbaiknya, lalu menggenggam erat tangan Sagita. "Ma, ada Aksa atau enggak, sampai kapan juga Yaya akan tetap urus Mama. Sekali Yaya jadi anak Mama, selamanya Yaya tetap anaknya Mama." "Yaya …." Hati Sagita begitu terharu mendengar ketulusan Noia. Namun, hal itu justru membuatnya tambah merasa berat. "Mama itu ingin kamu bisa melanjutkan hidup. Mulai jalan kamu yang baru, lembaran baru, jangan terus terkurung di masa lalu." "Sampai kapan pun juga, Yaya enggak akan bisa lupain Aksa, Ma," sahut Noia mantap. "Mama enggak minta kamu melupakan Aksa, tapi Mama mau kamu melangkah.” Perlahan Sagita melepaskan genggaman Noia, lalu merangkum wajah perempuan itu. “Masa depan kamu masih panjang, Ya. Kamu masih muda. Mama yakin kamu bisa menemukan sosok pengganti Aksa." Noia menggeleng lembut. "Yaya enggak berniat memulai lembaran baru, Ma. Lagian, keadaannya pun enggak mengizinkan Yaya buat melangkah, Ma." "Kenapa begitu, Ya?" tanya Sagita sedih. "Karena akan selalu ada bagian diri Aksa yang hidup bersama Yaya," ujar Noia tenang. "Mama mengerti, Ya, tapi bukan berarti-" Noia tidak membiarkan Sagita menyelesaikan ucapannya dan segera berkata, "Yaya hamil, Ma." Seketika itu juga Sagita terbelalak dan tubuhnya gemetar mendengar perkataan Noia barusan. "Ha-hamil …?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD