6. Wanita Muda yang Tegar

1370 Words
Pertanyaan bernada tuduhan itu langsung membuat Dirga panik. "Eh, bukan gitu, Ambu!" Noia juga merasa tidak enak hati karena seolah-olah tertangkap basah melakukan hal buruk, padahal dia juga tidak tahu barang apa yang Dirga bawakan. Ayunda membalas blak-blakan, "Terus apa atuh?" Alih-alih menjawab, Dirga balas bertanya, "Ambu sendiri ngapain ke sini?" "Ambu mau nengok Noia,” jawab Ayunda cepat. “Memangnya enggak boleh?" "Ya, boleh sih.” Dirga meringis salah tingkah. “Cuma kenapa enggak bilang? Kan bisa sekalian bareng Aa." Ayunda mengernyit gemas. "Aa enggak bilang mau ketemu Noia, mana Ambu tahu?" Kali ini Dirga menggaruk kepalanya serba salah. "Iya sih." "Sekarang coba jelasin ke Ambu, kenapa Aa ke sini?" desak Ayunda. "Ini Aa bawain vitamin dari dokter yang waktu itu belum ditebus," jawab Dirga sembari menunjukkan paper bag di tangannya. Kening Ayunda berkerut. "Dari rumah sakit?" "Iya, waktu kemarin lagi kosong persediaannya di sana,” jawab Dirga apa adanya. “Ini juga Aa cari di tempat lain." Akhirnya, Ayunda mengerti dan tidak lagi mencurigai putranya. "Ini vitamin buat saya, Mas?" tanya Noia tidak enak hati. Dirga mengangguk, lalu kembali menyerahkannya ke tangan Noia. "Ada beberapa macam, aturan minumnya udah saya tulisin di kertas. Ada di dalam juga." "Makasih banyak ya, Mas,” ujar Noia sungkan. “Maaf jadi merepotkan." "Sama sekali enggak, Noia," balas Dirga santai. "Ini jadi berapa, Mas?” tanya Noia hati-hati setelah memeriksa isinya dan tidak menemukan nota pembayaran di dalam. “Biar saya ganti." Cepat-cepat Dirga menolak. "Enggak usah dibayar, Noia." Wajah Noia tampak makin diliputi perasaan bersalah. "Kemarin soal biaya rumah sakit Mas Dirga juga enggak mau diganti.” "Itu udah tanggung jawab saya karena kamu sakit pas di rumah kami. Iya enggak, Mbu?" ujar Dirga meminta dukungan ibunya. Ayunda langsung mengangguk cepat. "Iya, betul." "Saya jadi enggak enak," ujar Noia lirih. "Jangan sungkan begitu," sahut Ayunda lembut. Kemudian, sama seperti Dirga, dia pun menyerahkan sesuatu ke tangan Noia. Bedanya, bawaan Ayunda jauh lebih banyak ketimbang Dirga. "Ambu juga datang ke sini sekalian bawa sesuatu buat Neng Noia." Noia tampak terkejut melihat dua paper bag berukuran besar di tangan Ayunda yang kini diambil alih oleh Dirga. "Apa ini, Mbu?" tanya Dirga ikut penasaran. "Cuma camilan aja.” Ayunda meraih tangan Noia, lalu menepuknya lembut. “Hamil muda biasanya suka susah makan, siapa tahu bisa sedikit terbantu." "Saya jadi makin enggak enak, Ambu sampai repot-repot begini," bisik Noia terharu. "Repot apanya?” balas Ayunda geli. “Ambu malah senang jalan-jalan, sekalian cuci mata. Di rumah terus bosan. Abah suka pergi urus kerjaan. Aa tiap hari kerja. Ambu sendirian." "Mbu, Aa harus ke kantor sekarang,” ujar Dirga setelah mereka berbincang lagi sekitar sepuluh menit. “Ambu masih mau di sini atau mau ikut sama Aa?" "Ambu ikut Aa aja, takut ganggu di sini," putus Ayunda cepat. "Enggak keganggu kok, Mbu," sahut Noia tulus. Ayunda tersenyum hangat, lalu bertanya penuh harap, "Nanti kapan-kapan Ambu main lagi, boleh?" Tanpa ragu Noia mengangguk. "Boleh, Mbu." Akhirnya, Dirga dan Ayunda berpamitan. "Mbu, kenapa buru-buru pergi?" tanya Dirga saat mobilnya melaju meninggalkan WrapFit Kitchen. "Memangnya kenapa, A?" "Aa kira Mbu masih mau lamaan ngobrol sama Noia." Bukan Dirga keberatan mengantar ibunya pulang, dia hanya heran saja. Dirga yakin ibunya berniat berbincang lama dengan Noia karena sengaja datang dengan menggunakan transportasi online. Andai hanya berniat mampir, Ayunda pasti diantar oleh supir pribadi. "Tadinya begitu, tapi enggak jadi," sahut Ayunda jujur. "Kenapa, Mbu?" Lama tidak ada jawaban dan Dirga menoleh heran. "Ambu …," tegur Dirga bingung. Ayunda menatap Dirga dengan wajah bimbang. "Bilang aja, Mbu," ujar Dirga lembut. Dia yakin ada hal yang tengah mengganggu pikiran ibunya. "Ambu agak bingung, A." "Bingung apa, Mbu?" "Apa suaminya Noia tidak tersinggung kalau Aa seperhatian itu sama istrinya?" tanya Ayunda hati-hati. Sebelum menjawab kegelisahan ibunya, Dirga kembali bertanya, "Perhatian gimana maksud, Mbu?" "Datang khusus buat bawain vitamin yang Aa beliin.” Bukan Ayunda tidak rela Dirga memberi perhatian kepada Noia. Dia hanya merasa bersalah kepada suami Noia. Ayunda takut perhatian Dirga akan menjadi bumerang bagi Noia. “Apa suaminya Noia enggak mikir, dia juga bisa beli sendiri. Kenapa harus Aa yang beliin?" "Itu sebenarnya …," jawab Dirga ragu-ragu. "Jangan bilang Aa benar-benar menaruh rasa sama Noia?" tanya Ayunda waswas. Cepat-cepat Dirga menggeleng. "Bukan gitu, Mbu." "Terus kenapa dong?" desak Ayunda senewen. "Ambu khawatir jadi masalah." "Suaminya Noia itu udah meninggal, Mbu." Sebenarnya, Dirga tidak ingin memberi tahu hal ini. Bagi Dirga, bukan porsinya untuk membicarakan masalah Noia kepada orang lain, termasuk keluarganya sendiri. Namun, kini dia terpaksa menjelaskan demi mencegah kesalahpahaman lebih lanjut. "Meninggal …?" desah Ayunda tidak percaya. "Ambu kira Noia masih pengantin baru." "Mereka memang masih pengantin baru, Mbu." Dirga mengangguk sedih. Jangankan Noia yang mengalami, Dirga yang hanya tahu kisah mereka saja ikut merasa sesak. Bagaimana bisa takdir berjalan sekejam ini untuk perempuan semuda Noia? "Seingat Aa, mereka menikah sekitar lima bulan yang lalu." Wajah Ayunda tampak sangat terkejut. "Terus suaminya sekarang sudah meninggal?" Dirga kembali mengangguk sedih. "Dua bulan yang lalu, suami Noia meninggal dalam kecelakaan pesawat." "Ya, Tuhan …." Seketika itu juga tubuh Ayunda terasa lemas. "Kecelakaan pesawat yang sempat ramai itu?" Dirga mengangguk membenarkan. "Sampai hari ini, jasadnya masih belum ditemukan." "Berarti, belum ada pemakaman?" tanya Ayunda dengan suara tercekat. "Belum, Mbu, dan Aa rasa itu jauh lebih berat. Andai jasadnya ditemukan dan sudah dimakamkan, Noia pasti lebih lega." Lama Ayunda terdiam sebelum akhirnya bergumam lemah, "Aa benar, kalau Ambu di posisi Noia, mungkin Ambu bakal berharap Abah masih hidup dan terus menunggu." Tetes demi tetes aliran bening mulai membasahi wajah Ayunda. Sesak rasanya membayangkan posisi Noia saat ini. "Ya, Tuhan … kasihan sekali," bisik Ayunda pilu. "Ambu tidak bisa membayangkan hancurnya perasaan Noia. Perempuan semuda itu, kenapa nasibnya menyedihkan sekali?" Cukup lama Ayunda menangis tersedu-sedu dan Dirga hanya diam mendengarkan saja. Setelah tangis ibunya reda, Dirga baru berani bertanya, "Ambu kenapa nangis?" "Ambu membayangkan gimana kalau Devi yang mengalami. Hanya sempat merasakan menikah selama tiga bulan, lalu ditinggal selamanya dalam kondisi sedang hamil juga," sahut Ayunda nelangsa. "Usia Noia saja bahkan masih lebih muda dari Devi, A." Devina, adik bungsu Dirga, tahun ini berusia 25 tahun. Namun, gadis itu masih belum menikah. Di keluarga mereka, baru Disty yang sudah menikah. Tepatnya tiga tahun lalu saat usianya 28 tahun. "Memang sedih kalau dengar kisahnya, Mbu, tapi Aa salut sama Noia," ujar Dirga tulus. "Dia tetap berusaha tegar dan melanjutkan hidup walau enggak mudah." "Ambu juga sama sekali tidak membayangkan kalau Noia baru saja ditimpa kejadian berat seperti ini karena dia terlihat tenang," sahut Ayunda kagum. Tidak terlihat sedikit juga rasa ingin mengasihani diri dan menyalahkan nasib dalam sikap yang Noia tunjukkan. Wanita muda itu tampak demikian tabah menjalani kisahnya. "Itu juga yang Aa lihat, Mbu.” Dirga mengangguk setuju. “Dari pertama Noia mendengar berita tentang suaminya, belum sekali juga Aa lihat dia menunjukkan wajah berduka." Ketika kabar duka itu datang, sebagai seorang kenalan, Dirga tentu datang untuk mengucap belasungkawa. Kala itu, Dirga sempat membayangkan betapa terpuruknya Noia. Namun, pada acara doa bersama yang digelar kerabat untuk Aksa, Noia tampak begitu tegar dan tenang. "Kita tidak tahu saat dia sendirian, A," ujar Ayunda sedih. Lama setelah itu Ayunda memilih duduk diam sepanjang perjalanan, tenggelam dalam pikiran dan dukanya untuk Noia. "Ambu kenapa mukanya begitu?" tanya Dirga ketika mereka hampir tiba di rumah. "Ambu masih kebayang-bayang terus sama Noia," bisik Ayunda sedih. "Kalau nanti Ambu ketemu Noia lagi, jangan tunjukin perasaan kasihan ya, Mbu,” pinta Dirga penuh harap. “Aa rasa Noia enggak ingin dikasihani." "Iya, tapi duh …!" Tiba-tiba saja Ayunda menepuk-nepuk dadanya. "Kenapa, Mbu?" tanya Dirga khawatir. "Sesak rasanya d**a Mbu, A." "Sesak kenapa?" "Coba bayangkan, A. Bagaimana kehidupan Noia selanjutnya?" Dirga mengernyit bingung. Dia belum bisa mengikuti pikiran ibunya. "Apa Noia bisa menemukan kebahagiaannya lagi?" tanya Ayunda iba. Dirga tidak berani langsung menjawab, tetapi akhirnya berusaha bersikap optimis. "Mungkin setelah waktu berlalu, Noia bisa kembali bahagia." Namun, Ayunda malah menggeleng lesu. "Rasanya enggak semudah itu, A." "Kenapa Ambu mikir begitu?" tanya Dirga heran. "Coba pikirkan, A. Apa menurut Aa, masih ada laki-laki yang mau terima Noia nantinya?” tanya Ayunda ragu. “Maksud Ambu, laki-laki yang tulus mencintai dan menerima Noia. Bukan cuma Noia, tapi anaknya juga." Wajah Dirga tampak tersenyum lembut ketika dia membalas, "Kalau Ambu sendiri, apa mau menerima menantu seperti Noia?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD