7. Jatuh Hati Kepada Calon Menantu

1565 Words
"Mbu, kenapa dari kemarin melamun terus?" tegur Handi khawatir. Jarang dia melihat istrinya banyak diam seperti ini. Biasanya, Ayunda selalu ceria dan banyak bicara. Apalagi di saat mereka menikmati waktu sore berdua seperti sekarang. Selalu ada cerita yang Ayunda bagikan dan membuat kebersamaan mereka terasa begitu hidup. "Siapa yang melamun?" balas Ayunda setengah melamun. Pandangannya tetap lurus ke depan. Sejak tadi, dia hanya memainkan cangkir teh tanpa meminumnya, sementara bagian Handi sudah habis sejak beberapa saat lalu. "Ya, Ambu itu!" balas Handi gemas. Barulah Ayunda menoleh dan memasang wajah heran. "Masa sih?" Handi berdecak geli. "Masih mengelak." Perlahan Ayunda mengembuskan napas, lalu menjawab jujur, "Ambu cuma kepikiran obrolan sama Aa kemarin aja, Bah." "Obrolan soal apa?" Alih-alih menjawab, Ayunda malah mengajukan pertanyaan. "Bah, Ambu mau tanya." Melihat wajah istrinya saat ini, Handi mulai dihinggapi rasa waswas. Pasalnya, Ayunda kerap kali memberi kejutan yang membuat Handi jantungan. "Tanya apa?" "Andai Abah punya menantu yang statusnya janda, Abah keberatan enggak?" Benar saja dugaan Handi! "Kok, pertanyaannya aneh begitu?" "Jawab dulu, Bah," desak Ayunda tidak sabar. Handi memikirkannya beberapa saat, lalu mencoba memberikan jawaban bijak. "Buat Abah, status janda bukan masalah untuk menentukan kepantasan jadi menantu atau enggak sih." Ayunda mengangguk-angguk senang, kemudian memastikan lagi. "Jadi, Abah enggak keberatan?" Kening Handi otomatis berkerut. "Memangnya Aa mau menikah sama janda?" "Ih, kenapa tiba-tiba jadi ke Aa?" protes Ayunda kaget. "Ya, anak kita yang laki-laki kan cuma Aa,” balas Handi heran. “Masa Disty sama Devi yang menjalin hubungan sama janda? Lagian Disty juga sudah menikah." "Ambu cuma berandai-andai, Bah. Ayo, coba jawab!" Kembali Handi berpikir sejenak. Dia tidak mau sembarang memberikan jawaban. "Menurut Abah, baiknya dilihat dulu. Kenapa menjanda? Pasti ada alasannya." "Kalau menjanda karena cerai mati?" tanya Ayunda hati-hati. "Selama perempuannya memang baik, kenapa harus dipermasalahkan?" "Kalau sudah punya anak?" tanya Ayunda lagi. "Ya, enggak masalah juga. Masa ibunya diterima, anaknya ditolak?" "Begitu ya …." Kembali Ayunda manggut-manggut. "Jadi, siapa yang mau menikah sama janda, Mbu?" tanya Handi penasaran. Akhirnya, Ayunda menceritakan obrolannya dengan Dirga kemarin. "Kalau Ambu sendiri, apa mau menerima menantu seperti Noia?" "Memangnya Aa mau menikah sama Noia?" bisik Ayunda kaget. "Aa menaruh hati sama Noia?" "Bukan begitu, Mbu.” Cepat-cepat Dirga menjelaskan sebelum ibunya terhanyut dalam kesalahpahaman. “Aa cuma membalikkan pertanyaan Ambu aja." "Hm?" Ayunda mengernyit tidak paham. "Ambu kan tanya, apa ada laki-laki yang mau terima Noia dengan masa lalu juga anaknya?” Dirga mengulangi pertanyaan ibunya tadi. “Nah, Aa pengin tau, kalau dari sisi orang tua, Ambu keberatan enggak terima menantu dengan latar belakang seperti Noia?" Perlahan Ayunda mengangguk paham, lalu memberikan jawab yang terlintas dalam benaknya, "Kalau Ambu sih, rasanya enggak keberatan ya. Apalagi Noia baik begitu." "Nah, kalau dari sisi Aa sebagai laki-laku pun sama, Mbu.” Dirga tersenyum manis, lalu menimpali jawaban ibunya, “Memang apa salahnya menikah dengan perempuan yang sudah pernah berkeluarga dan punya anak? Selama memang saling cinta dan saling bisa menerima, kenapa enggak?" "Benar juga sih, pemikiran Aa. Memang apa salahnya punya menantu dengan latar belakang seperti Noia?" ucap Ayunda setuju. "Maka itu, Mbu. Aa yakin suatu saat Noia pasti menemukan kebahagiaannya lagi,” ujar Dirga tulus. “Tuhan enggak tutup mata kok, dan Aa percaya Tuhan itu sayang dan peduli sama Noia." "Begitu pemikiran anak sulungnya Abah," ujar Ayunda setelah menceritakan rangkuman percakapan bersama putra sulungnya kemarin. Perlahan senyum bangga tampak menghiasi wajah Handi. "Ternyata kita berhasil didik Aa jadi orang dengan pemikiran yang dewasa ya, Mbu. Pandangannya enggak sempit." Setelah mengungkapkan hal yang mengganggu pikirannya sejak kemarin, kini Ayunda sudah kembali ceriwis seperti biasa. Obrolan hangat sore itu terus berlanjut meski teh di cangkir Ayunda telah dingin. "Bah, ada yang datang kayanya," ujar Ayunda ketika mendengar suara motor berhenti di depan gerbang rumah mereka. Kebetulan keduanya tengah duduk santai di teras depan, sehingga bisa langsung mengetahui jika ada yang mendekat. "Siapa ya?" Ayunda segera melihat tamu yang datang lewat layar monitor di dekat pintu utama. "Wah, itu Noia, Bah!" "Ambu ada janji sama Noia?" "Enggak ada." Ayunda segera meraih tangan Handi dan mengajaknya berdiri. "Ayo, kita temui!" Diam-diam Handi tersenyum geli melihat betapa senangnya Ayunda menyambut kedatangan Noia. "Neng, ada apa datang ke sini?" ucap Ayunda begitu membukakan gerbang untuk Noia. Noia mengangguk seraya tersenyum sopan, lalu menyerahkan sebuah paper bag ke tangan Ayunda. "Saya datang cuma mau mengantarkan ini buat Ambu." Ayunda tampak terkejut menerima pemberian Noia. "Apa ini, Neng?" "Hari ini saya masak dendeng balado, saya ingat Abah suka sekali waktu itu. Jadi, saya bawakan sedikit buat Abah," sahut Noia sopan. "Wah, terima kasih sekali, Noia!" ujar Handi senang. "Sekalian saya juga buat cenil, Ambu waktu itu bilang sudah lama ingin makan cenil, tapi susah nyarinya," ujar Noia lagi. "Aduh, Neng!” seru Ayunda kaget. “Kenapa repot-repot begitu?" "Enggak repot, Mbu, saya sekalian buat. Kebetulan ada urusan ke daerah sini juga." Sejak kecil, Noia diajarkan untuk sebisa mungkin membalas pemberian orang lain. Alhasil, dia jadi sungkan jika menerima kebaikan orang tanpa balas memberi. "Terima kasih ya, Neng," ujar Ayunda terharu. Sudah jarang rasanya dia menemukan anak muda seperti Noia yang seperhatian ini kepada orang tua. "Sama-sama, Mbu, terima kasih juga sudah perhatian dan baik sama saya," balas Noia sungkan. "Kalau begitu saya permisi." Cepat-cepat Ayunda menahan lengan Noia. "Kenapa buru-buru sekali?" "Saya harus kembali ke dapur untuk membantu anak-anak menyiapkan jadwal pengiriman sore." Namun, baru saja Noia hendak naik kembali ke atas motor, perutnya tiba-tiba terasa bergejolak. "Neng, kenapa?" tanya Ayunda khawatir. Dia sempat melihat Noia membungkuk kecil sembari menutupi mulutnya. Noia menggeleng cepat. "Enggak apa-apa, Mbu." Namun, Ayunda tahu Noia tidak sedang baik-baik saja. Alih-alih melepaskan Noia, Ayunda malah membimbing wanita itu ke dalam. "Neng, ayo, masuk dulu!" "Enggak usah, Mbu, saya langsung aja," tolak Noia sungkan. Maksud hati ingin membalas kebaikan, bisa-bisa malah berujung menyusahkan lagi. "Neng pasti lagi mual, 'kan?" tanya Ayunda yakin. Sebagai orang yang dibiasakan untuk selalu jujur, Noia tidak bisa berdusta. "Sedikit, Mbu." "Ayo, jangan bandel!” Setengah memaksa Ayunda membimbing Noia masuk. “Kalau dipaksain pergi sekarang juga, Neng bisa kenapa-napa di jalan nanti." Akhirnya, Noia pasrah. Rasa mual yang menyerangnya memang cukup mengganggu dan dia tidak yakin bisa menyetir sampai ke ruko dengan aman jika seperti ini. Namun, langkahnya berhenti di teras. "Saya ikut menunggu sebentar di sini aja, Mbu." "Jangan di sini!" Ayunda menggeleng tidak setuju. Dia sama sekali tidak melepaskan pegangannya dari lengan Noia dan terus membawa wanita itu masuk. "Ayo, ke ruang makan aja!" Lagi-lagi Noia terpaksa menurut. Serba salah sebenarnya. Menerima kebaikan dari Ayunda, Noia sungkan. Menolak keras, rasanya kurang sopan juga. Ayunda menarik kursi makan, lalu membimbing Noia untuk duduk. "Tunggi sini ya, biar Ambu buatkan sesuatu untuk Neng." "Jangan, Mbu!” Noia menggeleng panik. “Saya enggak mau tambah merepotkan." "Apanya yang repot?” balas Ayunda santai. “Cuma seduh teh, Neng." Seduhan teh yang Ayunda buatkan untuk Noia nyatanya ditemani oleh beberapa penganan kecil yang memang selalu tersedia di rumah. Namun, tidak hanya sampai di situ. Ayunda menahan Noia lebih lama lagi karena melihat wajah pucat wanita itu. Sampai akhirnya sore berganti malam, Noia masih tetap tertahan di sana. Untungnya, Hendra bisa menangani urusan di WrapFit Kitchen bersama yang lain. "Ambu, terima kasih suguhannya,” ujar Noia saat diajak untuk menyantap makan malam bersama. “Saya jadi enggak enak, niatnya hanya mengantarkan makanan, malah jadi disuguhi makanan sama Ambu." "Ambu sama Abah malah senang ada yang menemani kami makan," sahut Ayunda sambil tersenyum hangat. "Sepi rumah tuh setelah anak-anak pada besar." Tidak lama berselang, Dirga muncul dengan wajah penuh tanya. "Mbu, ada apa minta Aa cepat-cepat pulang?" "Eh, Aa sudah datang!” Ayunda melambai ke arah putranya. “Sini makan sama-sama, A, ada Noia juga." Cepat-cepat Dirga berjalan menuju meja makan. "Loh, Ambu panggil Noia ke sini?" "Enggak kok, Noia tadi datang antar makanan buat Abah sama Ambu," jawab Handi membela istrinya. "Aa habis ini enggak ada acara, 'kan?" tanya Ayunda penuh harap. "Iya, Mbu, sudah malam begini memangnya Aa mau ke mana?" balas Dirga geli. "Kalau gitu bisa antar Noia pulang, A?" Noia segera menggeleng panik mendengar ucapan Ayunda. "Eh, enggak usah, Mbu!" "Jangan bantah ya, Neng,” ujar Ayunda dengan nada membujuk. “Ambu tahu Neng lagi pusing dan badannya kerasa enggak enak, 'kan?" "Mana sudah gelap juga,” ucap Handi setuju. “Enggak baik ibu hamil naik motor malam-malam. Diantar aja sama Aa ya, Noia?" "Iya, biar saya antar aja ya?" imbuh Dirga. Diserang oleh tiga orang sekaligus, Noia kelabakan. Dia hanya bisa berbisik bingung, "Motornya …?" "Nanti Ambu minta supir di sini antar ke rumah Neng," jawab Ayunda cepat. Akhirnya, Noia tidak kuasa menolak lagi. Usai menikmati santap malam dan berbincang beberapa waktu lagi, Dirga mengantarnya pulang. "Bah, Noia itu baik sekali ya,” gumam Ayunda saat memandangi punggung Noia yang berjalan menuju mobil Dirga. “Manis, lembut, sopan." "Ambu jatuh hati sama Noia ya?" "Iya, Bah.” Ayunda mengangguk tanpa ragu. “Rasanya sudah tumbuh sayang walau baru kenal sebentar." "Ambu berharap Noia jadi menantu kita ya?" Ayunda menoleh terkejut. "Eh?" Handi mengulum senyum, lalu merangkul pundak istrinya. "Muka Ambu enggak bisa bohong." "Yah, Ambu sih berharap iya, tapi keadaannya apa memungkinkan?" ujar Ayunda lesu. "Kenapa enggak?" balas Handi santai. "Hm?" Ayunda menatap suaminya penuh tanya. "Kita enggak keberatan dengan kisah lama Noia. Aa juga enggak masalah dengan perempuan yang sudah pernah berkeluarga. Jadi, apa yang enggak mungkin?" "Benar juga …." Ayunda mengangguk kecil. Kemudian, sebuah ide tiba-tiba melintas di benaknya. "Bah, apa kita jodohkan aja mereka?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD