8. Rencana Penuh Jebakan

1382 Words
"Wah, hari ini diantar langsung sama Mbak Noia.” Sambutan itu menyapa Noia tatkala dia melangkah memasuki lobi SleepCabin yang berlokasi di Jalan Riau untuk mengantarkan sarapan bagi para tamu. "Iya, Mbak Vira, kebetulan saya sekalian ada keperluan di daerah sini." Noia tersenyum ramah seraya menyerahkan satu box kecil pesanan untuk SleepCabin. "Silakan dicek dulu, Mbak. Kalau sudah sesuai, saya langsung pergi lagi." "Maaf, Mbak,” ujar Vira ragu-ragu. “Ini hanya satu dus?" "Iya, Mbak.” Noia mengangguk tenang. “Cukup semua di satu dus." Vira yang bertugas menjaga meja resepsionis pagi itu tampak kebingungan. Wajahnya jelas diliputi tanya saat memeriksa jumlah kotak makanan di dalam box yang Noia bawa. "Ini hanya ada delapan, Mbak." "Bukannya pesanan untuk hari ini memang delapan ya, Mbak?" balas Noia agak bingung. "Bukan, Mbak. Seharusnya 25." "Hah?” Noia tersentak kaget. “Banyak sekali?" Vira meringis seraya mengangguk. "Tamu yang menginap semalam memang banyak, Mbak. Semua kabin hampir penuh." "Waduh, kenapa saya bisa lalai begini ya?" gumam Noia panik. "Maaf, Mbak, mungkin saya juga salah info," ujar Vira sama paniknya. Kebetulan dia memang orang yang bertugas menginfokan pesanan harian dari SleepCabin Riau setiap harinya. Untuk SleepCabin Pajajaran, penanggung jawabnya orang lain. "Coba saya cek dulu di detail pesanan." Noia segera membuka obrolan grup khusus admin WrapFit Kitchen dan SleepCabin yang digunakan untuk urusan pesanan makanan. "Mbak, ini ada saya chat 25 pesanan kemarin sore,” ujar Vira hati-hati. “Siangnya memang hanya delapan, lalu sorenya mendadak ada rombongan yang pesan." "Aduh, saya benar-benar minta maaf, Mbak!” ujar Noia penuh rasa bersalah. “Sepertinya terlewat sama saya." "Jadi, bagaimana sekarang, Mbak?" tanya Vira bingung. Jam sudah hampir mendekati angka 06.30 dan sebentar lagi waktu sarapan dimulai. "Saya tidak mungkin sempat masak lagi dan mengantar ke sini," balas Noia sama bingungnya. "Aduh, gimana ya?" Tiba-tiba saja suara lain terdengar menyapa, "Ada apa, Vira?" "Eh, Pak Dirga!" seru Vira kaget. Dirga mengernyit heran melihat reaksi karyawannya. "Kenapa kamu panik begitu?" "Begini, Pak. Ini ada kesalahan …." Cepat-cepat Vira menjelaskan permasalahan yang terjadi kepada Dirga. "Mas, maaf sekali,” ujar Noia nyaris menangis. “Saya benar-benar minta maaf." "Udah, enggak apa-apa, Noia.” Melihat Noia sepanik itu, Dirga tentu tidak tega untuk marah. Lagi pula, baru kali ini Noia membuat kesalahan. Sebelumnya, tidak pernah ada masalah dalam urusan pesanan makanan. “Sekarang kita pikirkan aja solusinya." "Mas, bagaimana kalau saya masak di sini?" usul Noia cepat. "Jangan, itu terlalu repot," tolak Dirga cepat. "Lebih baik kita beli makanan aja di dekat sini." "Beli?" gumam Noia kaget. Dirga mengangguk yakin, lalu menjelaskan maksudnya dengan tenang, "Delapan pax yang ada biar untuk tamu yang memesan di awal. Selebihnya, kita belikan makanan aja. Kebetulan mereka beda rombongan. Jadi, seharusnya enggak masalah." Usul Dirga langsung direspon oleh Noia. "Kalau gitu saya pergi beli dulu, Mas." "Kita pergi sama-sama aja," sahut Dirga. Sejujurnya, Noia terharu melihat kebaikan Dirga. Pria itu sama sekali tidak marah akibat kelalaiannya, malah bersedia mencari solusi, bahkan membantu membereskan semua kekacauan pagi itu. Semuanya Dirga lakukan tanpa menunjukkan wajah kesal sama sekali. Untungnya, masalah itu bisa teratasi dengan baik dan cepat. "Mas, terima kasih banyak untuk hari ini ya," ujar Noia saat berpamitan. "Sama-sama, Noia." "Sekali lagi saya minta maaf ya, Mas." Noia menggeleng tidak percaya mengingat kelalaiannya hari ini. "Saya sendiri sampai heran, bisa-bisanya saya bikin kesalahan seperti ini, padahal biasanya enggak pernah." "Wajar manusia ada kesalahan, Noia,” sahut Dirga bijak. “Mungkin kamu terlalu lelah akhir-akhir ini." Tanpa sadar Noia mengembuskan napas perlahan. "Sepertinya memang begitu." Setelah mengetahui dirinya hamil, Noia merasa harus bekerja jauh lebih keras demi menyiapkan biaya untuk calon bayinya. Biaya yang dibutuhkan tidak sedikit dan Noia tahu dirinya tidak boleh membuang waktu dengan bermalas-malasan. "Jangan bekerja terlalu keras, Noia,” ujar Dirga mengingatkan. “Kamu perlu istirahat, bayi kamu juga." *** "Mbak Noia, ada tamu," ujar Neta yang baru saja kembali dari toilet. "Siapa, Net?" "Kata Putri kalau enggak salah ibu-ibu yang waktu itu datang sama Pak Dirga." Noia langsung tahu sosok yang dimaksud. "Oh, itu ibunya Pak Dirga." Neta segera mendekat, lalu mengambil sendok sayur di tangan bosnya. "Temuin dulu, Mbak, biar Neta yang lanjutin." "Makasih ya, Net." Noia bisa meninggalkan dapur dengan tenang karena semua masakan untuk jadwal pengiriman malam sudah selesai diolah. Tugas mereka hanya tinggal menakarnya ke dalam kotak makanan, lalu melakukan pengiriman. "Sore, Ambu," sapa Noia ramah saat menghampiri Ayunda di ruang tunggu. Wajah Ayunda langsung ceria melihat kehadiran Noia. "Neng, lagi sibuk enggak?" "Enggak kok, Mbu." Perlahan Noia beranjak duduk di sebelah Ayunda. "Sudah hampir selesai semuanya." "Ambu datang ke sini mau obrolin soal katering, Neng," ujar Ayunda tanpa basa-basi. "Ambu mau pesan?" tanya Noia senang. "Iya, Neng." Ayunda mengedip jail, lalu berbisik, "Ambu lagi malas masak." Noia tersenyum geli menanggapi ucapan Ayunda. "Ambu mau pesan buat sarapan, makan siang, atau makan malam?" "Makan malam aja." “Untuk berapa lama, Mbu?” “Sebulan dulu deh, Neng.” "Mau mulai kapan, Mbu?" "Mulai hari ini bisa?" "Eh?" Noia tampak terkejut mendengar keinginan Ayunda yang sangat mendadak. Melihat Noia terkejut, Ayunda jadi merasa bersalah. "Enggak bisa ya?" "Bisa kalau enggak ada permintaan khusus, Mbu." Segera saja Noia menjelaskan, "Misalnya jangan pakai bahan tertentu, atau mau minta yang garam gulanya sedikit karena semua masakan buat malam ini sudah selesai diolah, Mbu." "Oh, enggak ada." Berhubung kondisi kesehatan Ayunda dan Handi baik, sejauh ini mereka tidak ada pantangan makan. "Samain aja sama menu lainnya." "Baik, Mbu." Namun, tiba-tiba saja Ayunda menambahkan, "Oh, tapi ada permintaan khusus sih." "Apa itu, Mbu?" "Tiap hari biar Ambu yang ambil ke sini." "Wah, apa enggak repot, Mbu?" tanya Noia kaget. Jarak dari Setiabudi ke Muara cukup jauh, belum lagi kemacetannya. "Enggak kok." Ayunda menggeleng santai. Kemudian, dia bertanya penuh harap, "Boleh enggak Ambu datang setiap hari?" "Tentu boleh, Mbu, tapi saya takut Ambu repot. Jauh juga loh ke sini." "Tenang, jangan khawatirkan soal itu." Ayunda kembali menggeleng ceria. "Asal Ambu dikasih izin menunggu sebentar di sini sampai Aa jemput." Noia tersenyum lembut seraya mengangguk. "Tentu boleh, Mbu." "Ya udah, Neng lanjut lagi aja kerjaannya. Enggak usah temani Ambu," ujar Ayunda seraya menunjuk ke arah dapur. "Ambu nanti dijemput sama Aa." Pada kenyataannya, Ayunda benar-benar menunggu di WrapFit Kitchen hingga Dirga menjemput. "Ambu kenapa ke sini lagi?" tanya Dirga heran saat mereka sudah berada dalam mobil, sementara di hadapan Noia tadi, pria itu tidak menginterogasi ibunya. "A, mulai hari ini, tiap sore jemput Ambu di sini ya?" pinta Ayunda dengan wajah berbinar-binar. Dirga mengerjap kaget. "Tiap sore?" "Iya." Ayunda mengangguk penuh semangat. Entah mengapa Dirga menangkap sesuatu yang janggal dari tingkah ibunya dan refleks dia bertanya, "Buat apa, Mbu?" Ayunda mengulum senyum, tetapi tidak langsung menjawab. Ingatannya kembali pada momen obrolan bersama Handi perihal menjodohkan Dirga dengan Noia. "Ambu ada-ada aja. Aa sudah terlalu tua untuk dijodoh-jodohkan, Mbu," sahut Handi geli menanggapi usulan istrinya. "Justru karena sudah terlalu tua, tapi masih juga sendiri, makanya perlu dijodohkan," sahut Ayunda gemas. "Biar Aa menentukan pilihannya sendiri, Mbu." "Ambu juga enggak berniat maksa, Bah, tapi enggak ada salahnya kita kasih sedikit dorongan, 'kan?" ujar Ayunda persuasif. "Kasih dorongan gimana maksud, Mbu?" "Kita buat Aa lebih sering ketemu sama Noia," usul Ayunda cepat. "Urusan hati Aa nanti gimana, itu terserah Aa." Melihat antusiasme istrinya, sikap Handi berubah serius. "Mbu, memangnya Ambu serius mau menerima Noia?" "Bukannya Abah bilang enggak ada yang salah dengan masa lalunya Noia?" "Iya, Abah memang berpikir begitu." "Berarti enggak ada masalah, 'kan?" desak Ayunda tidak sabar. Perlahan Handi mengembuskan napas. "Abah rasa masalahnya mungkin akan datang dari Noia dan keluarganya." Ayunda menatap Handi penuh tanya sembari menunggu kelanjutan kata-kata suaminya. "Pasti enggak mudah memutuskan menikah lagi. Belum lagi pihak keluarga mendiang suami Noia belum tentu rela," ujar Handi berusaha realistis. "Buat sekarang, enggak usah dikhawatirkan dulu, Bah." Bagi Ayunda yang terbiasa aksi dulu dan pikir belakangan, terlalu mengkhawatirkan banyak hal di depan terasa melelahkan. "Kita coba dulu aja." Melihat tekad istrinya, Handi hanya bisa geleng-geleng kepala. "Ambu itu kalau sudah maunya." Melihat Ayunda diam saja, Dirga kembali mengulangi pertanyaannya, "Mbu, buat apa tiap sore minta jemput di sini?" "Ambu pesan katering sama Noia, buat makan malam kita." "Katering?" Dirga mengernyit heran. Selama ini ibunya jarang sekali memesan makanan dari luar. Ayunda selalu rela repot-repot memasak untuk mereka sekeluarga. "Ambu malas masak." Jawaban ibunya jelas membuat Dirga makin curiga. "Mbu, sebenarnya apa yang Ambu rencanakan?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD