Tamu Tak Terduga

1602 Words
Sekitar pukul 20.30 WIB. "Selamat malam, Annora!" Suara panggilan dan ketukan itu terdengar kuat dari pintu utama. Aneh rasanya, sebab aku sama sekali tidak mengenali suara perempuan di luar sana. Hal itu membuatku sangat berhati-hati. Aku tidak ingin, kejadian malam sebelumnya terulang kembali. Sembari mengintip dari kaca jendela yang disusun dari beberapa buah nako, aku memicingkan mata dan menajamkan penglihatanku. 'Siapa?' Tanyaku tanpa suara, setelah menyadari kehadiran seorang wanita cantik, berpakaian putih dengan alas kaki berwarna kuning keemasan. "Permisi, Annora!" panggilnya sekali lagi, seraya mengetuk. Dia, begitu jelas memanggil namaku. "Saya Asih, tantemu." Perempuan tersebut, menyambung perkataannya. Heran, namun penasaran. Aku memutuskan untuk membuka pintu rumah dan menyambanginya. Tapi, aku tidak berniat untuk keluar dan di tangan kanan, ada sebuah sapu untuk berjaga-jaga. "Maaf, ada yang bisa dibantu?" Aku membuka pintu dengan wajah yang kaku. Perempuan bertudung kuning menatapku lirih, lalu matanya memperlihatkan air bening yang membentuk kolam. "An-Annora!" panggilnya sekali lagi. Kali ini, ia terlihat lebih terkejut ketika menatap wajahku. Dari binar matanya itu, tampak jelas sesuatu yang dirasakan bergelora dan mendidih. Seperti, ia sangat ingin menghisap air kelapa murni dari cangkangnya di saat musim kemarau dan terik. Bahkan aku dapat melihat, ia menelan air liurnya yang tampak berat. Dia bagai seseorang yang begitu kehausan. Tapi aku tidak berniat untuk menawarkannya seteguk air mineral. "Maaf, siapa?" tanyaku sekali lagi karena belum mendapatkan jawaban darinya. "Saya tantemu, Asih." Kalimat ini, sudah aku dengarkan sebelumnya. "Boleh saya masuk?" Aku sama sekali tidak mengenali wanita ini. Jadi, aku memutuskan untuk mencurigainya karena hidupku penuh dengan teka-teki. Saat ini, tampaknya perempuan berwajah cantik yang berada dihadapanku, paham dengan cara dan tatapan mata ini. "Hah, saya mengerti. Kamu pasti bingung dengan kehadiran saya malam ini. Apalagi, kita tidak pernah berjumpa sebelumnya." Wanita itu menghela napas panjang. "Sebenarnya, saya adalah orang yang pertama kali menggendong kamu ketika baru dilahirkan di dunia ini," jelasnya dengan mata yang berkaca-kaca. "Maaf, aku benar-benar tidak mengenal Anda." Aku terus saja menolak dan menunjukkan rasa tidak suka di hadapannya. Perempuan tersebut mengangkat tangan kanannya dan menyentuh rambut bagian depan milikku. "Tidak apa, Sayang. Wajar saja, kita memang berjarak. Tapi, setelah eyangmu tiada dan papamu juga pergi ke luar kota, saya selalu memikirkan kamu. Makanya malam ini memutuskan untuk menjengukmu." Suara perempuan tersebut terdengar halus dan mendayu-dayu di telingaku. Ia seperti sosok yang penuh kasih sayang dan cinta kasih. Ketika menatap dan menyebut namaku dengan irama tersebut, hatiku luluh dan rasanya begitu ingin dimanja. "Apa papa mengatakannya?" tanyaku dingin dan kesal. "Iya," jawabnya dengan satu anggukan. "Dia keluar kota untuk selama-lamanya," bisik perempuan asing tersebut, hingga mampu menaikkan bulu-bulu halus di sekitar kudukku. "Baiklah, jika kamu masih tidak yakin kepada saya, itu semua tidak masalah. Saya akan datang lain kali dan mungkin bisa lebih menyakinkan kamu lagi. Tapi yang jelas, satu hal yang perlu kamu ketahui, saya adalah tante kamu, adik dari papa Prayuga." "Maaf," jawabku singkat karena tidak tahu harus mengatakan apalagi. "Aku sedang banyak tugas." "Iya. Tidak apa-apa, Sayang. Kalau begitu, Tante pamit dulu ya? Besok, mungkin akan datang lagi dengan membawa bukti-bukti bahwa saya adalah adik papamu yang sudah begitu lama ingin mendekapmu, namun tidak pernah diizinkan." "Silakan!" jawabku kaku dan semakin bingung. "Permisi, Annora. Selamat malam." "Malam." Entah apa yang ada di dalam otakku. Rasa curiga masih saja menghantui. Padahal, sudah jelas-jelas perempuan yang berada di hadapanku saat ini adalah manusia biasa. Semua tampak jelas dari jejak kakinya ketika melangkah pergi meninggalkanku seorang diri di rumah ini. Kedua telapak itu, menginjak tanah. Semua membuktikan bahwa ia adalah manusia tulen. Kedua mataku terus menatap perempuan yang sudah masuk ke dalam mobil pribadinya dan bergerak meninggalkanku. Penyesalan pun mulai tumbuh dan rasanya ingin sekali menjerit memanggil namanya dan memohon agar ia tinggal di sini bersamaku, untuk beberapa saat. Namun, baru saja niatku mencuat dari dalam hati. Tiba-tiba aku merasa ada seseorang yang mencengkram tangan kananku sangat kuat dan menutup mulutku rapat-rapat, hingga hanya mata ini saja yang bisa leluasa bergerak. 'Tidak! Tolong! Tante, tunggu aku!" pekikku sekuat tenaga, tetapi suara ini tidak tembus keluar. Sesaat setelah tinggal seorang diri, "Tante, tunggu aku!" Nada suaraku meninggi dan bebas. Tapi sayang, tante Asih sudah tidak lagi mendengarkan panggilanku. "Tante! Jangan tinggalkan aku!" pintaku dalam ratap dan mulai terisak dengan guguh. Aku menundukkan kepala dan lagi-lagi berpikir tentang apa? Ada apa? Dan kenapa? Rasanya, berat sekali menjalani hidup ini. 'Sebenarnya siapa kalian?' tanyaku tanpa suara. 'Kenapa menghukum dengan cara seperti ini? Aku hanya kesepian dan ingin berteman. Aku tidak ingin hidup seperti ini.' Tanyaku tanpa suara, seraya menundukkan kepala. Tak lama, angin dingin terasa sepoi-sepoi menyapa. Aku bagai berada di bibir pantai dan dapat merasakan percikan air dari lautan yang membentang luas. "Nora?!" panggil seseorang dari luar. Dengan cepat aku mengangkat wajah dan kembali menatap lurus ke depan. Awalnya aku pikir, dia adalah tante Asih. "Ida?" jawabku karena sangat mengenali sosok itu. "Kamu ... ." Ida adalah teman sebaya yang cukup sering bertegur sapa denganku. Kami beberapa kali berjumpa di warung kelontong dan ia anak yang sangat ramah. "Kenapa?" tanyanya terlihat perduli. Kemudian Ida mendekat dan menatapku dalam. "Tidak apa. Hanya saja ... ." Aku menghentikan ucapan karena tidak sanggup untuk melanjutkannya. "Kamu pasti kesepian, kan?" tanyanya sambil membawa kresek berwarna hitam. "Aku juga sering merasakannya." Tatapan matanya tampak sendu dan aku hanya fokus pada wajahnya. Aku mengangguk seraya menghapus air mata. "Bagaimana tidak?" tanyaku sambil menghela napas panjang. "Sabar ya!? Semua orang memiliki masalah, jalan hidup, cobaan, dan penderitaannya masing-masing," ucapnya terdengar bijaksana. "Meskipun, terkadang kita merasa tidak sanggup." "Iya," jawabku yang paham akan ucapannya. Tapi semua ini hanya mudah untuk diucapkan, tetapi begitu sulit untuk dijalankan. Bukan tanpa alasan, Ida terlahir dari keluarga kurang mampu. Ia tidak bisa melanjutkan sekolah, padahal kami sebaya. Selain itu, ia kerap kali membantu kedua orangtuanya dengan mengambil upah mencuci pakaian ataupun menyetrika di rumah-rumah orang berada. Jika Ida yang berbicara tentang cobaan hidup, maka aku pasti sangat percaya. Sebab, ia telah menjalani dan melaluinya dengan baik. Hingga detik ini, aku tidak pernah melihatnya mengeluh dan mengatakan bahwa Tuhan kejam terhadap dirinya. "Kamu mau masuk?" tanyaku yang masih ingin berteman. Ida tersenyum dengan wajah yang pucat, "Apa boleh?" tanyanya karena ragu. Mungkin, sebelumnya ia menyaksikan bahwa aku tampak cuek dan tidak mengizinkan tante Asih masuk. "Tentu saja. Bahkan aku pasti merasa senang jika kamu ada bersamaku, walaupun hanya untuk beberapa jam ke depan." Ida kembali tersenyum dengan bibirnya yang tampak kering. "Tapi dengan satu syarat!" ucapnya mengajakku bernegosiasi. "Apa?" Aku kembali bertanya karena apa pun syaratnya, pasti akan aku turuti. "Kalau aku pulang ke rumah, pastinya bapak dan ibu tidak akan mengizinkan aku keluar lagi. Jadi tolong, kamu antarkan obat ini untuk bapak dan aku akan menunggumu di sini. Aku akan menemanimu hingga batas yang kamu inginkan. Setelah itu, baru akan pulang. Bagaimana?" tanyanya tampak tulus dan aku langsung mengiyakan permintaannya. "Iya, baiklah. Lagian, itu tidak sulit bagiku. Apalagi rumahmu tidak terlalu jauh dari sini," ujarku yang langsung menyanggupi syarat dari Ida. "Nanti, setibanya di depan rumah. Kalau suara televisi sudah reda, sebaiknya kresek ini kamu sangkutkan saja ke pengait pintu depan. Mungkin, bapak dan ibu sudah beristirahat. Lebih baik tidak mengganggu mereka!?" "Iya, aku mengerti. Apalagi sejak bapakmu sakit-sakitan, ibumu juga terlihat lelah," jawabku yang tanpa sengaja sering memperhatikan keluarga Ida karena ketika berangkat sekolah, aku melewati rumah gubuk mereka di ujung g**g. "Iya, kamu benar sekali. Tolong ya!" ujarnya, lalu meletakkan kantong plastik berwarna hitam di atas meja. Kemudian ia duduk manis di kursi panjang di baliknya. "Ya sudah kalau begitu, aku antar ini dulu dan kamu jangan kemana-mana ya!" pintaku yang mulai merasa lapang d**a karena merasa memiliki teman. "Iya. Ternyata kamu sangat cerewet," katanya sambil tersenyum, tetapi tatapannya itu terus saja sayup. Tidak ingin membuatnya kecewa, aku langsung bergerak cepat mengantar kantong yang dipenuhi dengan obat-obatan tersebut. Seperti permintaannya, ketika tiba di depan pintu rumah yang terbuat dari kayu usang tersebut, aku tidak lagi mendengarkan suara siapa pun. Saat itu, aku langsung menggantung kresek hitam dan meninggalkan rumah Ida dengan senyum dan hati yang lega. Setibanya di rumah, Ida masih menungguku di teras. Aku pun mengatakan kepadanya bahwa sudah menjalankan misi yang ia berikan dan saat itu, Ida memintaku untuk makan malam sebelum melanjutkan obrolan apa pun tentang kehidupan ini. Aku kembali menyetujuinya. Namun sayang, ketika aku mengajak Ida untuk menikmati makanan hangat bersama, ia tidak bersedia dengan alasan, sudah makan di rumah mewah di mana ia bekerja. Malam ini, aku merasa lebih tenang. Apalagi gangguan kecil yang aneh tidak terdengar lagi. Aku pun meminta kepada Ida untuk lebih rajin main ke rumah ini dan menemaniku. Lagi-lagi, Ida setuju. Aku semakin merasa senang. Walaupun masih banyak tanya di relung hati ini, mengenai wanita yang baru saja singgah dan mengaku sebagai saudara papaku. Namun yang jelas, aku tidak lagi sendiri sesaat setelah Ida setuju untuk sering-sering datang berkunjung. Sebenarnya, kedekatan kami ini cukup terlambat. Kenapa tidak dari suku saja? Walaupun dia bekerja, tapi kan masih punya waktu untuk bersama. Sementara, aku. Eyang pasti akan mengizinkan gadis baik untuk menemaniku. "Apa yang kamu lamunkan?" Ida menatapku bersama senyumam. "Tidak ada. Hanya saja, aku sedang berharap." "Tentang apa?" Aku menggeleng, "Emh, Ida!" "Iya?" "Makasih ya untuk malam ini. Aku senang sekali. Maksudku, lain kali, mainlah ke sini! Jangan bosan!" pintaku tanpa henti. Ida mengangguk setuju dan ia sama sekali tidak membuat seisi rumah ini bereaksi, apalagi sampai mengusir. Berarti, semua setuju jika Ida menjadi temanku. Rasanya, atmosfer pun berbeda jika dibandingkan dengan saat kedatangan tante Asih sebelumnya. Sekarang, ketika bersama Ida, aku pun merasa nyaman. 'Tuhan, aku cuma berharap kalau semuanya bisa kembali normal. Memiliki teman, tersenyum dan tertawa sepuas yang aku suka, dan belajar hingga lulus sekolah. Aku ingin menjadi seseorang yang eyang harapkan.' Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD